Rabu, 11 Januari 2012

MARSINGGO - Nagari yang Bersifat Istimewa

Terobosan dari Kabupaten Solok
Padang Ekspres • Rabu, 21/12/2011 12:02 WIB • 
Syamsu Rahim
Menghadiri seminar sehari Penguatan Fungsi Musyawarah Tungku Tigo Sajarangan (MTTS) dan Tali Tigo Sapilih di Minangkabau—Aplikasi di Kabupaten Solok, memunculkan beberapa signifikasi: semangat para wali nagari/perwakilan Badan Perwakilan Nagari (BPM)/ketua atau perwakilan Kerapatan Adat Nagari (KAN)/perwakilan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)/Bundo Kanduang/Pemuda, dan berbagai unsur lainnya, yang seakan memiliki begitu banyak pemikiran untuk disampaikan—seakan-akan selama ini mereka tidak memiliki mediasi untuk menyampaikan/menyalurkannya.

Seminar sehari, Senin (19/12) itu menampilkan paparan Bupati Solok Drs H Syamsu Rahim, Ketua Umum Pucuk Pimpinan LKAAM Drs H Sayuti Dt Rajo Pangulu MPd, dan Penangung Jawab Operasional Padang Ekspres Group H Sutan Zaili Asril. Para peserta seminar bertahan sampai acara usai. Juga, Rektor Universitas Mohammad Yamin (UMY) Prof Elfi Sahlan Ben, Wakil Bupati Desra Ediwan Ananta Toer, Kapolres Solok AKBP Bambang Ponco Sutiarso SH MH, staf ahli bidang kemasyarakatan Gubernur Sumatera Barat Ir H Harmensyah, dan para undangan lainnya.

Paparan Ketua Umum PP LKAAM Sayuti Dt Rajo Pangulu menarik perhatian peserta seminar. Masalah yang dikemukakan antara lain, bagaimana/kenapa kepemimpinan adat dan hukum adat tidak diakui dan tidak berperan, tentang ada kegamangan terhadap hukum positif yang memarjinalkan hukum adat, tentang ketidakharmonisan antara hukum positif nasional dan hukum adat, tentang peranan angku kali nagari agar dikembalikan, dan berbagai keluh-kesah/kegamangan/kegelisahan pemangku adat lainnya.

Juga mengemuka ketidakkompetenan para pemangku adat dan tantangan untrust/distrust kemenakan/warga terhadap kemimpinan adat itu sendiri. Sebagian besar pemangku adat dikatakan tidak mengetahui undang nan duopuluah/undang duobaleh/undang salapan dan tambo. Bahkan, Sayuti mengatakan, sekitar 99 persen penghulu dan pemangku adat tidak membaca dan menguasai tambo.

Jadi, untuk membentuk dan mendorong MTTS nagari berperanan, Sayuti menyampaikan agar dilakukan pembekalan kepada para pemangku adat nagari. Berkaitan dengan tersedia tambo dan undang di setiap nagari, Bupati Solok Syamsu Rahim langsung merespons, akan mengalokasikan anggaran tahun 2012 dan atau pada APBD Perubahan 2012 Kabupaten Solok untuk pengadaan tambo, dan undang di nagari Kabupaten Solok.

Peserta seminar seakan mendapat kesempatan memperoleh pengulangan kembali pencerahan tentang segala aspek mengenai adat Minang. Bahwa, keberadaan masyarakat adat/hukum adat/kepemimpinan adat di dalam UUD 1945—bahkan juga keberadaan dari tanah ulayat—sebetulnya diakui. Hanya saja, bagaimana keberadaan/aplikasinya di lapangan masih harus disusun dan diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan, dan kepastian sesuai dengan tingkatan pengambilan kebijakan.

Sayuti memaparkan bahwa tahun 2006 diselenggarakan Musyawarah Besar (Mubes) Lembaga Adat Rumpun Melayu di Pekanbaru. Mubes menyepakati bahwa dasar falsafah adat rumpun Melayu Sumatera, adalah: Adat Basandi Syarak/Syarak Basandi Kitabullah; mengakui ada tungku tigo sajarangan; kaum adat; kaum syarak; kaum cadiak pandai; mempertahankan aset tanah ulayat sebagai sumber kesejahteraan masyarakat hukum adat.

Tentang pengertian adat nan ampek, yaitu adat nan sabana adat; adat nan diadatkan; adat istiadat; dan adat nan teradat. Tentang kato nan ampek; kato pusako, kato mufakat, kato daulu batapati, dan kato kudian kato bacari. Tentang undang nan ampek;  undang luhak dan rantau, undang nagari, undang di dalam nagari, dan undang duopuluah. Tentang hukum nan ampek; hukum ilmu, hukum bainah, hukum kurenah, dan hukum perdamaian.

Lalu, tentang bagaimana nagari tumbuh dari taratak, dusun, koto, dan nagari. Tentang asal suku: Budi, Caniago, Koto, dan Piliang. Tentang scope ajaran/nilai adat:raso, pareso, malu, dan sopan. Tentang asal kebenaran: dari dalil kato Allah, dari hadits nabi, dari kato pusako, dan dari kato mufakat. Tentang ketokohan adat Minang ampek jinih; jinih nan Ampek; dan urang nan bajinih. Tiga unsur kepemimpinan adalah adat Minang: ninik-mamak, alim-ulama, dan cadiak-pandai. Gabungan dari ketiganya disebut tungku tigo sajarangan (TTS).

Ninik-mamak membidangi urusan adat yang bersumber dari tambo (yaitu adat nan ampek: adat nan sabana adat; adat nan teradat; adat istiadat; adat nan diadatkan). Alim-ulama membidangi syarak yang bersumber dari Al Quran—syarak mangato/adat mamakai. Cadiak-pandai membidangi undang yang bersumber dari kitab undang-undang.

Semua hal, dari sebagian tentang adat, masyarakat adat, kepemimpinan adat, dan hukum adat, sebagaimana dipaparkan Sayuti, kebanyakannya tidak dikuasai oleh pemimpin adat dan masyarakat adat. Untuk dapat merealisasikan semangat babaliak banagari, maka ada tantangan berat: bagaimana memberdayakan/menyiapkan kepemimpinan adat agar menguasai bidangnya dengan baik.

Tentang kegamangan peserta seminar ketakharmonisan antara hukum positif dengan hukum adat dan marjinalisasi secara tidak langsung terhadap kepemimpinan adat. Sebaliknya, harapan agar masyarakat adat/kepemimpinan adat/hukum adat diakui di nagari-nagari di Provinsi Sumatera Barat, Sayuti menyampaikan hasil Mubes LKAAM sehari sebelumnya, bahwa sepakat mengusulkan/memperjuangkan agar nagari di Sumbar bersifat istimewa—yang akan memungkinkan pengakuan terhadap masyarakat adat/kepemimpinan adat/hukum adat tersebut.

Peserta seminar mendukung penuh, bilamana pengusulan ”nagari di Provinsi Sumbar bersifat istimewa” itu dipersiapkan dan diperjuangkan. Insya Allah, pengusulan itu akan mendapat dukungan dari semua wali nagari/ketua dan anggota KAN se-Sumbar. Pengusulan itu, rencananya akan disampaikan melalui 14 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan empat anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD-RI) asal Sumbar.

Termasuk, pengusulan itu, direncanakan akan memanfaatkan pula saluran Mendagri Dr HC H Gamawan Fauzi Dahlan Dt Rajo Nan Sati SH MM, dan Presiden Dr Susilo Bambang Yudhoyono—rakyat Indonesia lazim memanggil/menyebut nama presiden dengan SBY—sebagai mamak rang Minang yang bergelar Sri Maharaja Pamuncak Sarialam. Apalagi saat ini pemerintah sedang mengusulkan perubahan UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah ke DPR-RI. Prosedur formalnya tentu melalui DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi, serta DPR-RI/DPD-RI asal pemilihan Provinsi Sumatera Barat.

Memang tidaklah relevan gagasan yang hendak mengusulkan Sumbar berganti nama dengan Provinsi Minangkabau dan bersifat istimewa. Sebaliknya, agaknya lebih terbuka untuk menjadikan nagari bersifat istimewa. Bilamana nanti nagari bersifat istimewa diterima, maka peluang pengakuan masyarakat adat/kepemimpian adat/hukum adat secara lebih maksimal sejauh masih tetap di bawah NKRI dan tidak bertentangan dengan hukum nasional/hukum positif akan dapat direalisasikan. (zas)
[ Red/Redaksi_ILS ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar