Rabu, 20 Juni 2012

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (2)

In Historia, Politik, Sosial on June 13, 2012 at 1:01 AM
BUKANNYA tak pernah muncul nama-nama sebagai calon ‘rival’ menuju kursi RI-1, namun semua selalu kandas dengan sendirinya melalui ‘ketegangan kreatif’ itu. Mulai dari Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Soemitro sampai Jenderal Muhammad Jusuf. Sebenarnya di luar mereka dan di luar Jenderal AH Nasution –yang menjadi rival pertama dalam persaingan menuju kursi RI-1 menggantikan Soekarno– masih cukup banyak tokoh, terutama para jenderal, yang memendam keinginan menjadi number one. Tetapi para jenderal yang disebutkan terakhir ini, terlalu besar ketergantungan mati-hidupnya dari Soeharto, sehingga tak lebih tak kurang mereka hanya berani berada dalam penantian mendadak ketiban ‘wasiat’ Soeharto untuk naik ke kursi nomor satu itu. Ketergantungan mereka pada umumnya menyangkut karir, fasilitas dan akses keuangan. Rata-rata, untuk akses keuangan, mereka berhubungan ‘baik’ dengan Liem Soei Liong sang penjaga ayam petelur dan telur-telur emasnya.

LIEM SOEI LIONG – SOEHARTO. Siapa berani memerahi Liem Soei Liong? (foto download suara pengusaha)


Siapa berani memarahi Liem Soei Liong? Sejauh yang bisa diceritakan, di antara para jenderal, hanya dua di antaranya yang pernah menegur dan memarahi Liem Soei Liong, yaitu Letnan Jenderal HR Dharsono dan kemudian Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal HR Dharsono saat menjadi Dubes RI di Bangkok, memarahi Liem karena perilaku seenaknya ketika ia ini bertamu ke kedutaan untuk menemuinya. HR Dharsono tidak peduli Liem itu ‘sahabat’ Soeharto atau siapa. Jangankan Liem, Jenderal Alamsyah yang saat itu menjadi salah satu menteri di kabinet Soeharto pun pernah ditegur HR Dharsono, akibat perilaku anak-isteri sang menteri yang membuat masalah di Bangkok. Tetapi yang lebih seru adalah cerita mengenai teguran Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf kepada Liem yang datang ke kediaman Presiden Soeharto dengan pakaian seenaknya. Bahkan, diceritakan bahwa Jenderal Jusuf sampai melayangkan tamparan ke wajah taipan besar ‘sahabat’ Soeharto ini.
Mungkin Soeharto yang punya kebiasaan ‘ngopi’ bersama ‘sahabat’ lamanya itu di Cendana, hanya bisa diam dan kecut ketika Liem melaporkan insiden ini kepadanya. Sepanjang yang bisa diketahui, Soeharto tak pernah menyinggung soal ini kepada Jusuf. Adapun Jenderal Jusuf sendiri, dalam buku yang disusun Atmadji Soemarkidjo, ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’, hanya menyebutkan bahwa semasa menjadi Menteri Perindustrian ia beberapa kali bertemu Liem maupun puteranya, Anthony Salim, dan hubungan itu baik-baik saja.
Berbeda dengan Jenderal Jusuf, Jenderal LB Murdani tak pernah dicatat punya bad story dengan Liem. Hanya, Jenderal Soeharto pernah ngambeg kepadanya, ketika pada suatu kesempatan bermain bilyar bersama di Cendana ia mengingatkan tentang perilaku bisnis putera-puteri Soeharto. Sang Presiden, tanpa berkata apa-apa, balik badan meninggalkan Benny Murdani, pergi ke kamarnya sendiri. Benny menceritakan kepada Laksamana Sudomo, bahwa presiden nesu (marah) kepadanya. Sudomo yang kemudian melakukan pengecekan, mengkonfirmasi bahwa Soeharto memang nesu kepada Benny. Laksamana Sudomo juga menceritakan bahwa kemarahan Soeharto yang lain kepada Benny, sebab ia ini pernah mengusulkan Soeharto mengundurkan diri secara sukarela karena telah memerintah 20 tahun lebih, seraya mencontohkan Soekarno.
Benny merasa, dengan kemarahan-kemarahan Soeharto itu, karirnya akan berakhir sudah. Memang benar, Februari 1988 sebelum SU-MPR, Benny dicopot dari jabatan Panglima ABRI, yang menurut Julius Pour dalam buku ‘Benny, Tragedi Seorang Loyalis’, adalah berdasarkan laporan Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Tetapi ternyata setelah Sidang MPR, Presiden Soeharto masih menyertakan Jenderal LB Murdani sebagai Menteri Hankam. Ini mungkin ada kaitannya dengan peran suggestif dari Laksamana Sudomo.
Julius Pour menuturkan bahwa Laksamana Sudomo, menjelang penyusunan kabinet usai Sidang MPR 1988, menemui Presiden Soeharto. “Bapak ingat nasib Presiden Republik Korea, Jenderal Park Chung He?”, kata Sudomo sehati-hati mungkin. Presiden balik bertanya, “Ada apa dengan dia?”. Sudomo melanjutkan, “Bapak ingat, karena berselisih pendapat, Jenderal Park kemudian diundang makan oleh bekas Kepala Intel-nya. Mungkin dia menduga anak buahnya tersebut akan minta maaf, ternyata Jenderal Park langsung di-dor…”. Dalam mengutip kisah dari Korea Selatan itu, Sudomo tak sekalipun menyebut nama Benny. Tapi agaknya Presiden Soeharto mengerti.
Dalam peran dan momen yang penting. Selaku pemelihara ayam petelur dan penjaga telur-telur emas, Liem Soei Liong kerapkali memiliki keterlibatan cukup jauh dalam berbagai bagian penting dari peristiwa kekuasaan masa Soeharto. Salah satu di antaranya adalah dalam proses aneksasi separuh pulau bekas jajahan sebuah negara Eropa yang terletak hampir di ujung tenggara kepulauan Indonesia. Dua bersaudara yang kebetulan juga bermarga Liem, yaitu Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi) dan Liem Bian Koen (Sofyan Wanandi) yang ‘bekerja’ di bawah koordinasi politik Jenderal Ali Moertopo, bersama Harry Tjan Silalahi dari CSIS, menjadi produsen berbagai konsep untuk Jenderal Soeharto. Di belakang mereka ada peran rohaniwan Katolik, Pater Beek, yang ahli strategi politik dan inteljen.
Salah satu ‘proyek’ mereka adalah proses aneksasi tersebut di atas dengan memanfaatkan perang saudara di sana setelah penguasa kolonial, sebuah negara kecil dari Eropa, meninggalkan wilayah tersebut. Theodore Friend menyebutkan bahwa untuk operasi aneksasi itu, Bian Kie-Bian Koen dan Harry Tjan, yang dulu ikut aktif dalam pergerakan 1966, bekerja keras menghimpun dana dari sejumlah pengusaha keturunan perantau dari daratan China, terutama dari William Suryajaya (Astra Group) dan Liem Soei Liong (Salim Group). Akademisi Jepang, Shiraishi Takashi menuliskan, “The biggest secret project that special planning group did was the East Timor annexation plan”. Tak lain,yang dimaksud adalah aneksasi Timor Timur, bekas jajahan Portugal, sebuah negara Eropa yang berpostur ‘tubuh’ kecil namun termasuk negara pelopor kolonialisme di dunia.
Rencana aneksasi itu dilaksanakan pertengahan tahun 1975, hanya sesaat setelah kunjungan Presiden Ford dari Amerika Serikat ke Indonesia. Jenderal LB Murdani sebagai pemimpin operasi militer, sempat membicarakan hal itu dengan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger yang mendampingi kunjungan Ford. Kissinger sempat menanyakan “senjata apa yang akan anda gunakan” dalam operasi itu, yang dijawab Benny Murdani, bahwa yang ada dan bisa diandalkan adalah peralatan militer buatan Amerika. “Mau pakai apa lagi?”. “Baik”, kata Kissinger, “tetapi jangan lakukan itu, selama Presiden AS masih sedang berkunjung di Indonesia”.
Dan kemudian, sekali lagi, saat akan naik ke Air Force One di Halim Perdanakusumah, Kissinger berbalik dan menghampiri Jenderal Benny Murdani. “Silahkan lakukan”, katanya, “tapi ingat, tunggu sampai pesawat kami sudah keluar dari wilayah udara Indonesia”. Jadi Amerika sebenarnya tahu rencana itu dan tidak melarang, yang penting tangan mereka tak kena percikan. Hal yang sama sebenarnya, dengan pemerintah Australia. Tetapi setelah Timor Timur bergolak dalam upaya memerdekakan diri dari Indonesia, kedua pemerintah Barat itu cuci tangan dan berbalik mengecam Indonesia. Australia malah aktif di ‘belakang layar’ membantu kaum pro-kemerdekaan di sana. Sungguh mengherankan sebenarnya, bahwa dalam argumentasi pembelaan dirinya, para pemerintah Indonesia pasca Soeharto tak pernah ‘berani’ mengungkapkan kebenaran tentang keterlibatan Amerika Serikat dan Australia tersebut dalam proses aneksasi Timor Timur yang memiliki hak atas separuh Timor Gap yang kaya minyak di dasar lautnya.
PERAN ‘figuran’ namun penting, serta kehadiran Liem Soei Liong, juga tampil dalam suatu peristiwa lainnya.
“Meskipun presiden selalu berusaha memancarkan aura raja-raja Jawa kuno yang sabar, menahan diri, bijaksana, tenang dari dalam, dan mudah mengendalikan diri, pada waktu tertentu emosinya meledak. Dalam keadaan demikian ia akan menyerang dengan tiba-tiba, hampir membabi-buta pada mereka yang berseberangan dengan dirinya”, tulis David Jenkins. Apa yang ditulis Jenkins itu terbukti, ketika Soeharto menghadapi kritik sejumlah pensiunan jenderal dan beberapa tokoh lainnya –dikenal sebagai Kelompok Petisi 50 di kemudian hari. Kelompok Petisi 50 ini antara lain mengecam Soeharto telah menciptakan polarisasi di tengah masyarakat dengan kutub bertentangan, antara yang “hendak mempertahankan Pancasila” dengan yang “hendak mengganti Pancasila”. Dalam pertemuan dengan DPP Golkar pada 14 Maret 1980, Soeharto menjawabnya dengan melontarkan ucapan bahwa para jenderal pensiunan itu –Jenderal AH Nasution, Letjen Ali Sadikin, Jenderal Hugeng, Jenderal Mokoginta dan Jenderal Jasin– yang bersama sejumlah tokoh militer dan sipil lainnya ikut dalam Petisi 50, adalah pembelot.
Ledakan kemarahan Soeharto berlanjut 13 hari kemudian, 27 Maret, melalui pidato di depan Rapim ABRI di Pakanbaru, Riau. Presiden Soeharto menuduh adanya kelompok-kelompok ideologi di luar Pancasila yang begitu merasa kuat, ingin memaksakan kehendaknya. ABRI, menurut Soeharto harus menyukseskan dwifungsi-nya, dan sepanjang belum berhasil membawa partai atau kelompok-kelompok yang belum mempercayai Pancasila 100 persen menuju kesadaran, “kita harus selalu tetap dalam keadaan waspada”. “Memilih mitra dan kawan-kawan yang betul-betul mempertahankan Pancasila dan tidak punya keraguan apapun terhadap Pancasila”. Ia dikutip mengatakan, bahwa dua pertiga dari anggota MPR dapat mengubah UUD 1945 dan Pancasila, bila mereka menghendaki. Tapi, “ABRI tidak ingin mengubahnya, dan jika terjadi perubahan, menjadi tugasnya untuk menggunakan senjata”. Lalu menambahkan, “Daripada menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 1945 dan Pancasila, kami lebih baik menculik seorang dari dua pertiga anggota yang menghendaki perubahan, karena dua pertiga minus satu tidak sah menurut UUD 1945”.
Pidato tanpa teks itu sarat nuansa arogansi dan mengandung ‘ancaman’. Dan pada sekitar momentum yang sama, juga di Pakanbaru, dalam satu acara lainnya, Presiden Soeharto mengumumkan suatu niat ambisius: Mengambilalih suatu proyek kilang minyak terapung di Dumai yang dalam jangka panjang akan bernilai 850 milyar dollar. Akan ditangani konglomerat kepercayaan utamanya, Liem Soei Liong. Padahal, seharusnya proyek itu ditangani oleh Pertamina. Ini suatu arogansi lainnya lagi dari seorang penguasa yang sudah merasa sangat kuat.(sociopolitica's blog)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar