Terobosan dari Kabupaten Solok

Padang Ekspres • Rabu, 21/12/2011 12:02 WIB •
Menghadiri seminar
sehari
Penguatan Fungsi Musyawarah Tungku Tigo Sajarangan (MTTS) dan Tali Tigo
Sapilih di Minangkabau—Aplikasi di Kabupaten Solok, memunculkan
beberapa signifikasi: semangat para wali nagari/perwakilan Badan
Perwakilan Nagari (BPM)/ketua atau perwakilan Kerapatan Adat Nagari
(KAN)/perwakilan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)/Bundo
Kanduang/Pemuda, dan berbagai unsur lainnya, yang seakan memiliki begitu
banyak pemikiran untuk disampaikan—seakan-akan selama ini mereka tidak
memiliki mediasi untuk menyampaikan/menyalurkannya.
Seminar sehari, Senin (19/12) itu
menampilkan paparan Bupati Solok Drs H Syamsu Rahim, Ketua Umum Pucuk
Pimpinan LKAAM Drs H Sayuti Dt Rajo Pangulu MPd, dan Penangung Jawab
Operasional Padang Ekspres Group H Sutan Zaili Asril. Para peserta
seminar bertahan sampai acara usai. Juga, Rektor Universitas Mohammad
Yamin (UMY) Prof Elfi Sahlan Ben, Wakil Bupati Desra Ediwan Ananta Toer,
Kapolres Solok AKBP Bambang Ponco Sutiarso SH MH, staf ahli bidang
kemasyarakatan Gubernur Sumatera Barat Ir H Harmensyah, dan para
undangan lainnya.
Paparan Ketua Umum PP LKAAM Sayuti
Dt Rajo Pangulu menarik perhatian peserta seminar. Masalah yang
dikemukakan antara lain, bagaimana/kenapa kepemimpinan adat dan hukum
adat tidak diakui dan tidak berperan, tentang ada kegamangan terhadap
hukum positif yang memarjinalkan hukum adat, tentang ketidakharmonisan
antara hukum positif nasional dan hukum adat, tentang peranan angku kali
nagari agar dikembalikan, dan berbagai
keluh-kesah/kegamangan/kegelisahan pemangku adat lainnya.
Juga mengemuka ketidakkompetenan
para pemangku adat dan tantangan untrust/distrust kemenakan/warga
terhadap kemimpinan adat itu sendiri. Sebagian besar pemangku adat
dikatakan tidak mengetahui undang nan duopuluah/undang duobaleh/undang
salapan dan tambo. Bahkan, Sayuti mengatakan, sekitar 99 persen penghulu
dan pemangku adat tidak membaca dan menguasai tambo.
Jadi, untuk membentuk dan mendorong
MTTS nagari berperanan, Sayuti menyampaikan agar dilakukan pembekalan
kepada para pemangku adat nagari. Berkaitan dengan tersedia tambo dan
undang di setiap nagari, Bupati Solok Syamsu Rahim langsung merespons,
akan mengalokasikan anggaran tahun 2012 dan atau pada APBD
Perubahan 2012 Kabupaten Solok untuk pengadaan tambo, dan undang di nagari Kabupaten Solok.
Peserta seminar seakan
mendapat
kesempatan memperoleh pengulangan kembali pencerahan tentang segala
aspek mengenai adat Minang. Bahwa, keberadaan masyarakat adat/hukum
adat/kepemimpinan adat di dalam UUD 1945—bahkan juga keberadaan dari
tanah ulayat—sebetulnya diakui. Hanya saja, bagaimana
keberadaan/aplikasinya di lapangan masih harus disusun dan diperjuangkan
untuk mendapatkan pengakuan, dan kepastian sesuai dengan tingkatan
pengambilan kebijakan.
Sayuti memaparkan bahwa tahun 2006
diselenggarakan Musyawarah Besar (Mubes) Lembaga Adat Rumpun Melayu di
Pekanbaru. Mubes menyepakati bahwa dasar falsafah adat rumpun Melayu
Sumatera, adalah: Adat Basandi Syarak/Syarak Basandi Kitabullah;
mengakui ada tungku tigo sajarangan; kaum adat; kaum syarak; kaum cadiak
pandai; mempertahankan aset tanah ulayat sebagai sumber kesejahteraan
masyarakat hukum adat.
Tentang pengertian adat nan ampek,
yaitu adat nan sabana adat; adat nan diadatkan; adat istiadat; dan adat
nan teradat. Tentang kato nan ampek; kato pusako, kato mufakat, kato
daulu batapati, dan kato kudian kato bacari. Tentang undang nan ampek;
undang luhak dan rantau, undang nagari, undang di dalam nagari, dan
undang duopuluah. Tentang hukum nan ampek; hukum ilmu, hukum bainah,
hukum kurenah, dan hukum perdamaian.
Lalu, tentang bagaimana nagari
tumbuh dari taratak, dusun, koto, dan nagari. Tentang asal suku: Budi,
Caniago, Koto, dan Piliang. Tentang scope ajaran/nilai adat:raso,
pareso, malu, dan sopan. Tentang asal kebenaran: dari dalil kato Allah,
dari hadits nabi, dari kato pusako, dan dari kato mufakat. Tentang
ketokohan adat Minang ampek jinih; jinih nan Ampek; dan urang nan
bajinih. Tiga unsur kepemimpinan adalah adat Minang: ninik-mamak,
alim-ulama, dan cadiak-pandai. Gabungan dari ketiganya disebut tungku
tigo sajarangan (TTS).
Ninik-mamak membidangi urusan adat
yang bersumber dari tambo (yaitu adat nan ampek: adat nan sabana adat;
adat nan teradat; adat istiadat; adat nan diadatkan). Alim-ulama
membidangi syarak yang bersumber dari Al Quran—syarak mangato/adat
mamakai. Cadiak-pandai membidangi undang yang bersumber dari kitab
undang-undang.
Semua hal, dari sebagian tentang
adat, masyarakat adat, kepemimpinan adat, dan hukum adat, sebagaimana
dipaparkan Sayuti, kebanyakannya tidak dikuasai oleh pemimpin adat dan
masyarakat adat. Untuk dapat merealisasikan semangat babaliak banagari,
maka ada tantangan berat: bagaimana memberdayakan/menyiapkan
kepemimpinan adat agar menguasai bidangnya dengan baik.
Tentang kegamangan peserta seminar
ketakharmonisan antara hukum positif dengan hukum adat dan marjinalisasi
secara tidak langsung terhadap kepemimpinan adat. Sebaliknya, harapan
agar masyarakat adat/kepemimpinan adat/hukum adat diakui di
nagari-nagari di Provinsi Sumatera Barat, Sayuti menyampaikan hasil
Mubes LKAAM sehari sebelumnya, bahwa sepakat mengusulkan/memperjuangkan
agar nagari di Sumbar bersifat istimewa—yang akan memungkinkan pengakuan
terhadap masyarakat adat/kepemimpinan adat/hukum adat tersebut.
Peserta seminar mendukung penuh,
bilamana pengusulan ”nagari di Provinsi Sumbar bersifat istimewa” itu
dipersiapkan dan diperjuangkan. Insya Allah, pengusulan itu akan
mendapat dukungan dari semua wali nagari/ketua dan anggota KAN
se-Sumbar. Pengusulan itu, rencananya akan disampaikan melalui 14
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan empat
anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD-RI) asal Sumbar.
Termasuk, pengusulan itu,
direncanakan akan memanfaatkan pula saluran Mendagri Dr HC H Gamawan
Fauzi Dahlan Dt Rajo Nan Sati SH MM, dan Presiden Dr Susilo Bambang
Yudhoyono—rakyat Indonesia lazim memanggil/menyebut nama presiden dengan
SBY—sebagai mamak rang Minang yang bergelar Sri Maharaja Pamuncak
Sarialam. Apalagi saat ini pemerintah sedang mengusulkan perubahan UU No
32/2004 tentang Pemerintah Daerah ke DPR-RI. Prosedur formalnya tentu
melalui DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi, serta DPR-RI/DPD-RI asal
pemilihan Provinsi Sumatera Barat.
Memang tidaklah relevan gagasan yang
hendak mengusulkan Sumbar berganti nama dengan Provinsi Minangkabau dan
bersifat istimewa. Sebaliknya, agaknya lebih terbuka untuk menjadikan
nagari bersifat istimewa. Bilamana nanti nagari bersifat istimewa
diterima, maka peluang pengakuan masyarakat adat/kepemimpian adat/hukum
adat secara lebih maksimal sejauh masih tetap di bawah NKRI dan tidak
bertentangan dengan hukum nasional/hukum positif akan dapat
direalisasikan. (zas)
[ Red/Redaksi_ILS ]