Tampilkan postingan dengan label demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label demokrasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Mei 2014

INILAH FAKTA SEBENARNYA TENTANG PRABOWO SUBIANTO YANG TIDAK TERUNGKAP MEDIA


Inilah Fakta Sebenarnya Tentang Prabowo Subianto Yang Tidak Terungkap Media - Jika kita bicara tentang sosok Prabowo Subianto, mungkin bagi yang tahu pasti akan di kaitkan dengan tragedi kerusuhan Mei 1998 dimana Prabowo Subianto menjadi salah satu aktornya. Itu yang di gemborkan media yang mungkin Anda tahu. Tapi tahukah Anda bahwa sebenarnya faktanya tidak seperti itu, sebenarnya Prabowo Subianto lah yang di jadikan kambing hitam dalam tragedi Mei 1998. Anda penasaran ?, mari kita simak ulasannya tentang fakta tentang Prabowo Subianto yang  sebenarnya seperti yang ditayangkan oleh Kompas TV. Artikel ini cukup panjang sekali, jadi harap dibaca dengan sabar dan seksama ya.



Jum’at 14 Maret 2014, Kompas TV menayangkan Prabowo Subianto dalam acara Aiman Dan…. Prabowo adalah salah satu nama yang maju dalam pemilihan presiden Republik Indonesia. Karena posisi presiden di RI, sesungguhnya lebih berkuasa daripada presiden Amerika Serikat maupun Rusia, presiden RI haruslah yang terbaik dari yang ikut bertarung. Tulisan ini bukan sebagai kampanye, karena saya bukan kader Partai Gerindra, namun hanya untuk mengulas mengenai sosok Prabowo Subianto yang kontroversial dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Tujuannya adalah agar masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang tentang calon pemimpin yang akan dipilihnya termasuk Prabowo. Mengingat begitu krontroversial dan banyaknya disinformasi mengenai tokoh yang satu ini.

Prabowo lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Beliau adalah mantan Danjen Kopasus (Komandan Jenderal Komando Pasukan Kuhusus), pengusaha sukses, politisi, dan calon presiden 2014. Prabowo adalah putra dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Beliau juga cucu dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang merupakan anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan juga merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari silsilahnya tampak bahwa Prabowo memiliki “darah biru” elit pemimpin Indonesia. Bahkan jauh sebelum republik ini lahir.

Prabowo menikahi Titiek, putri Presiden Soeharto. Saat ini, Titiek sendiri menjadi calon anggota legislatif dari Partai Golongan Karya (Golkar). Keputusan yang tampak prospektif saat itu namun menjadi blunder dalam hidupnya dikemudian hari. Dengan latar belakang keluarga intelektual, Prabowo mewarisi kecerdasan ayahnya. Beliau dikenal sangat cerdas di sekolah maupun di AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Meski beliau adalah alumnus AKABRI (1974), namun tidak banyak yang tahu bahwa setelah lulus SMA, Prabowo juga diterima di American School In London, Britania Raya.

Karirnya dibidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan. Karir militer Prabowo termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Prabowo bahkan sempat disebut sebagai “The Brightest Star”. Dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun.

Sebagai sesama orang militer, Prabowo bisa dianggap sebagai “antitesa” dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan Prabowo cenderung cepat, take action. Saat keputusan sudah dibuat Prabowo akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.

Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang telah mencoreng nama baik dan menjadi penyebab kehancuran karir militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak pernah mngungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak juga kepada Prabowo yang notabene menjadi tertuduhnya. Tampaknya Wiranto sengaja mengambil manfaat agar prasangka publik menghukum Prabowo lebih berat daripada “dosanya”. Meski Prabowo berikeras mengatakan tak pernah perintahkan. Namun beliau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. “Saya ambil alih tanggung jawabnya.” Begitu kata beliau saat itu. Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir militer yang gilang gemilang, namun juga menunjukkan kualitas kepemimpinan Prabowo. Jika Prabowo benar bersalah, mengapa justru korban-korban penculikan seperti Pius L Lanang dan Desmond J Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?

Meski begitu, kualitas kepemimpinan Prabowo justru sudah teruji di saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri ini. Bagi mereka yang lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, selalu terkesan ragu-ragu tampaknya Prabowo adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak dengan pemimpin yang sibuk selamatkan diri sendiri saat ada masalah maka Prabowo adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Dibanding memilih mengorbankan anak buahnya, Prabowo memilih untuk ambil alih tanggung jawab dan menanggung sendiri resikonya. Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama selamatkan diri saat kapal tenggelam, tetapi justru yang terakhir. Seperti terlihat dalam film Titanic, ketika kapal sudah mulai tenggelam, kapten kapal memastikan semua penumpang selamat, dan akhirnya dirinya sendiri gagal selamat. Sayang, karir militer Prabowo yang gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan memilukan.

Prabowo bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun 1998. Berbicara tentang Prabowo kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei 1998 yang mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya. Sebagai pihak yang kalah Prabowo menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian tersebut. Seperti kata pepatah, tinta sejarah adalah milik pemenang. Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya. Stigma sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan Prabowo. Jika memang benar Prabowo adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu maka dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan Prabowo yang karir gemilangnya di dunia militer yang begitu dicintainya itu harus berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib. Lalu bagaimana jika semua itu tidak benar? Layakkah Prabowo tersandera oleh prasangka tanpa bukti? Lantas layak pulakah bangsa Indonesia kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh putra terbaiknya?

Jauh sebelum peristiwa Mei 98 proses penghancuran nama baik Prabowo sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara Prabowo dan Wiranto. Ketidak harmonisan Prabowo dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak lama. Mungkin karena latar belakang keduanya yang jauh berbeda. Prabowo yang kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka. Sementara Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih tertutup. Namun Prabowo yang terbiasa dengan persaingan terbuka sejak kanak-kanak menganggap rivalitas semacam itu sebagai hal biasa dan tidak dijadikan personal. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang sangat “Jawa Tradisional” itu, dia lebih mirip dengan Soeharto dalam menyikapi suatu rivalitas. Lihat saja nasib yang menimpa pesaing-pesaing Soeharto yang mengganggu karir militer atau politiknya di masa lalu. Jika tidak mati, membusuk di penjara. Salah satu contohnya adalah kawan saja, Fadjroel Rachman, yang sempat mendekam di Nusa Kambangan dan kehilangan teman-temannya. Fadjroel sendiri akhirnya bebas ketika Habibie menjadi presiden.

Indikasi ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya beliau sebagai Pangab (Panglima ABRI) dalam acara serah terima Pangkostrad Letjen Soegiono kepada Prabowo. Begitu juga saat pemberhentian secara hormat Prabowo sebagai perwira militer. Beliau mencopot tanda-tanda pangkat Prabowo dengan satu tangan saja. Proses berakhir secara paksanya karir militer Prabowo memang tidak bisa dilepaskan dari rivalitas perwira muda dan perwira tua. Prabowo sebagai gambaran perwira muda tentu saja menjadi sasaran tembak utama saat itu. Posisi Prabowo saat itu benar-benar terjepit. Di satu sisi dia adalah menantu penguasa yang sedang menjadi sasaran sentimen negatif rakyat. Di sisi lain akibat manuver Wiranto dkk, Soeharto yang masih punya pengaruh justru membencinya sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai kepada penggantinya Habibie, beliau menyampaikan pesan khusus untuk “mengamankan” Prabowo. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Semua tidak terlepas dari peristiwa Mei yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga kini masih menghantui republik ini.

Ada 3 tuduhan utama yang diarahkan kepada Prabowo, yaitu: Penculikan akitivis, penembakan mahasiswa Trisakti, dan dalang kerusuhan Mei 1998. Tidak satupun tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya Prabowo bersalah bukankah Pangab saat itu Wiranto? Bukankah sebagai panglima beliau yang seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa hingga saat ini Prabowo tidak pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP sehingga tidak bisa membela diri? Mengenai penembakan mahasiswa Trisakti, Wiranto juga terkesan sengaja ‘buying time’ dengan tidak mengusut kasus ini secara cepat. Akibatnya tuduhan kembali ke Prabowo, yang jadi bulan-bulanan opini publik, dicurigai sebagai orang dibalik penembakan itu. Meski banyak sekali keanehan terhadap tuduhan ini namun fitnah sudah mencapai sasaran. Dan sekali lagi Prabowo terlanjur menjadi pesakitannya. Tuduhan mengarahkan Prabowo di balik penembakan, dengan konspirasi anggota kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku penembakan snipper. Teori konspirasi ini tidak pernah terbukti, karena peluru snipper diatas 7 mm dan proyektil peluru tertanam di korban kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih secara acak. Kalau snipper akan memilih misalnya pemimpin demo atau target pilihan. Lima hari setelah insiden Trisakti, Prabowo datang ke rumah Herry Hartanto. Di bawah Alquran dia bersumpah. Di depan Syaharir Mulyo Utomo orang tua korban, “Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian mahasiswa.”

Perihal keterlibatan Prabowo atas penembakan mahasiswa Trisakti, tanggal 14 Mei terjadi pertemuan di Makostrad (Markas Komanda Staf Angkatan Darat) atas inisiatif Setiawan Djodi. Pertemuan antara Prabowo dan tokoh masyarakat, antara lain: Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Fahmi Idris, Bambang Widjoyanto. Dalam pertemuan itu Prabowo ditanya tentang keterlibatannya. Prabowo menjawab, “Demi Allah saya tidak terlibat, saya di set-up.” Menurut Buyung terlihat jujur. Peristiwa selanjutnya semakin memperkuat ketidak terlibatan Prabowo atas peristiwa penembakan mahasiswa tersebut. Puspom ABRI Sjamsu Djalal menghadapi kesulitan memaksa Kapolri Dibyo Widodo untuk menyerahkan anggotanya yang dicurigai terlibat. Disinilah peran Wiranto terlihat.

17 hari setelah insiden itu berlalu baru Wiranto memanggil Dibyo untuk memerintahkan untuk menyerahkan anggota. Itupun anggota diserahkan ke Polda bukan ke POM ABRI. Padahal Polri saat itu masih menjadi bagian ABRI dan Pangabnya adalah Wiranto. Sementara senjata sebagai barang bukti baru diserahkan tanggal 19 Juni 98. Hampir satu bulan sejak peristiwa terjadi. Kelak tahun 2000, uji balistik di Belfast, Irlandia membuktikan bahwa peluru berasal dari anggota Polri unit gegana. Siapa sesungguhnya dibalik pristiwa itu? Siapa yang beri perintah? Jelas bukan Prabowo yang sebagai Pangkostrad tidak punya jalur komando ke Polri. Dalam militer, garis komando benar-benar diterapkan. Bagaimana dengan tuduhan Prabowo sebagai otak dibalik kerusuhan Mei 98? Benarkah dia yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut? Atau kembali lagi beliau dikorbankan akibat proses perebutan kekuasaan terselubung diantara para elit militer saat itu? Apakah benar kerusuhan tersebut terjadi karena spontanitas atau ‘crime by omission’ (kejahatan karena pembiaran) atau bahkan ‘terror by design’ (teror yang didesain)?

Mari kita kembali ke zaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang untuk mencari kebenaran sejarah kita butuh “mesin waktu”. Tampaknya kita harus memanggil Doraemon ke sini sekarang. Kita juga membutuhkan testimoni para pelakunya yang saat ini masih hidup bahkan sedang berkuasa. Sedikit dari kita yang mengetahui apa peran SBY dalam proses pergantian kekuasaan saat itu. Padahal beliau juga cukup berperan. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa penembakan mahasiswa Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-besaran. Benarkahkah demikian? Bukti-bukti menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 98 itu bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.

Satu peristiwa yang bisa dijadikan kunci keterlibatan Wiranto pada peristiwa tersebut adalah kepergiannya ke Malang saat ibukota sedang genting-gentingnya. Sebab Wiranto sudah tahu akan ada kerusuhan di ibukota, tetapi tetap bersikukuh untuk pergi ke Malang. Acara di Malang adalah serah terima PPRC dari Divisi I ke Divisi II. Wiranto menjadi Inspektur upacara (irup) nya. Sebenarnya itu adalah acara rutin yang bisa diwakilkan. Bayangkan, untuk serah terima Pangkostrad saja dia bisa berhalangan hadir. Bagaimana mungkin dalam kondisi ibukota yang genting dia sebagai pemegang kunci komando lebih memilih jadi irup acara seremonial seperti itu? Sangat tidak bisa diterima akal sehat. Apalagi mengingat tanggal 13 Mei malam Wiranto memimpin rapat Garnisun Jakarta untuk menanyakan situasi terakhir. Lebih mencurigakan lagi bahwa Kasum TNI Fahariur Razi saat itu sudah ditunjuk Pangkostrad Prabowo menjadi irup di Malang. Tetapi sekonyong-konyong diambil alih oleh Wiranto. Suatu kebetulan atau kesengajaan? Mungkinkah Wiranto sebagai Pangab tidak tahu menahu kondisi Jakarta? Dalam kondisi ibukota terjadi kerusuhan Wiranto malah pergi ke Malang dengan mengajak komandan-komandan seperti Danjen kopasus, komandan Marinir, dll. Lebih mencurigakan lagi sebenarnya Prabowo sudah brulang kali menghubungi Wiranto untuk membatalkan kepergiannya. Wiranto menjawab “Show must goon”. Ini mirip dengan Soeharto tahu akan gerakan 30 September namun sengaja tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya.

Sebelumnya, saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998 Panglima TNI Wiranto tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas permintaan Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes ABRI, Pangkostrad Prabowo kemudian membantu pengamanan ibukota. Pangkostrad Prabowo kemudian membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar, dan Malang untuk membantu Kodam. Tetapi sekali lagi Wiranto tidak mau memberi bantuan pesawat Hercules sehingga Prabowo mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala. Seharusnya jika negara dalam keadaan genting seperti itu panglima wajib mengambil alih komando dan secara fisik wajib berada di lokasi. Tetapi yang terjadi justru tidak terlihat sedikitpun i’tikad baik Wiranto untuk mencegah terjadinya kekacauan yang menelan korban hingga ribuan orang tersebut. Anehnya justru belakangan kubu Wiranto yang melemparkan kesalahan kepada Prabowo yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu. Bukankah Wiranto sudah menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei untuk menanyakan situasi terakhir? Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai ketua Badan Intelijen ABRI tidak pernah mengingatkan Wiranto akan ada kerusuhan? Bukankah Prabowo sendiri sudah mengingatkan Wiranto akan terjadi kerusuhan dan mencegahnya pergi ke Malang? Mengapa Wiranto tidak bergeming? Lantas apa sebenarnya tujuan Wiranto membentuk Pam Swakarsa?

Pam Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan kalangan sipil terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Untuk Pam Swakarsa sendiri, memiliki produk “unggulan” yaitu Front Pembela Islam (FPI) yang kemudian direspon oleh hadirnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun belakangan dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu penyulut kerusuhan Mei tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei terjadi, mantan Kakostrad Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan Wiranto untuk membentuk Pam Swaraksa. Mengapa Wiranto menolak permohonan bantuan Hercules Prabowo sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala? Mengapa saat Prabowo mengerahkan pasukan untuk berusaha menghentikan penjarahan “sistematis” toko-toko, justru Panglima TNI melalui Kasum Fahariur Razi malah melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan yang sudah siap saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang tidak kunjung datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya ribuan nyawa melayang sia-sia, ratusan wanita diperkosa, aset-aset pribadi dibumi hanguskan.

Bukti lain semakin mengarah kepada Wiranto sebagai dalang sesungguhnya dari kerusuhan Mei 98 dari pengakuan mantan Ka Puspom ABRI Sjamsu Djalal. Melihat kondisi ibukota yang semakin tidak terkendali, beliau menyarankan untuk memberlakukan jam malam. Namun Wiranto tidak bergeming. Artinya ada lebih dari satu orang yang memberi peringatan kepada Wiranto saat itu. Jadi keputusannya berangkat ke Malang adalah bagian dari “rencana”. Makin terkuak disini bahwa Prabowo yang justru berupaya mengamankan situasi malah dijadikan kambing hitam sebagai pelaku kudeta.

Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah kerusuhan Mei itu murni spontanitas warga atau karena rekayasa dalam kaitan perebutan kekuasaan saat itu? Mengenai pembentukan Pam Swakarsa, Kivlan Zein sudah memberi testimoni bahwa itu adalah bentukan Wiranto. Dia yang ditugasi perintah pembentukan Pam Swakarsa diberikan oleh Wiranto. Dia panggil Kivlan Zein untuk meminta dana dari Setiawan Djodi. Pertemuan ini diatur oleh Jimmly Asshidiqie. Dalam pertemuan tersebut Wiranto mengatakan ini perintah Habibie. Jimmly akrab dengan Habibie dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Kerusuhan yang terjadi karena spontanitas biasanya meluas dengan menjalar. Tidak serempak dimulai di seluruh penjuru kota dalam waktu yang bersamaan. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima akal sehat adalah bahwa kerusuhan itu terjadi “by design”, dimulai berdasarkan komando pihak-pihak tertentu. Mengapa pada pagi hari tanggal 14 Mei ada pasukan dari Solo diterbangkan ke Jakarta dan mendarat di Halim? Disaat yang sama kerusuhan terjadi bersamaan antara Jakarta dan Solo. Semua terjadi pada pagi hari di waktu yang persis bersamaan. Tidak ada jeda. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa kerusuhan di kedua kota ini sudah direncanakan matang sebelumnya dan dibawah komando yang sama. Disaat massa mulai menjarah di Jakarta disaat yang sama kejadian serupa terjadi di Solo. Modusnya sama persis. Jika kerusuhan itu spontanitas, mengapa dimulai secara serempak di berbagai penjuru Jakarta sekaligus Solo?

Di salah satu pertokoan, ada kesaksian seorang ibu yang mencari anaknya yang ikut masuk ke Jogja Plaza karena disuruh seseorang. Tetapi dilantai 2 ditampar dan disuruh keluar dan akhirnya keluar sebelum pintu ditutup dari luar. Kita tahu akhirnya Jogja Plaza dibakar. Mungkinkah mahasiswa atau penduduk urban sengaja memasukkan massa ke dalam gedung lalu membakarnya dari luar? Atau ada pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa supaya terjadi kondisi kekacauan yang memungkinkan pihak-pihak tertentu ambil peranan? Sebagaimana yang kita ketahui selanjutnya, kondisi kacau itu sendiri akhirnya mempercepat proses jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Lalu siapakah yang diuntungkan dari jatuhnya Soeharto? Adakah Wiranto dkk atau Prabowo? Yang jelas sesaat setelah lengsernya Soeharto, Wiranto sebagai Pangab dengan mudahnya menghancurkan karir militer Prabowo.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada aktivis mahasiswa 98, disini disampaikan bahwa sesungguhanya kejatuhan Soeharto bukan karena demo. Tetapi lebih karena pengkhianatan para elit, baik sipil maupun militer yang mana mereka sesungguhnya bagian dari kroni Soeharto sendiri. Peristiwa jatuhanya Soeharto dari kekuasaanya itu sendiri lebih tepat dikatakan hasil dari sebuah kudeta halus (soft coup) yang memanfaatkan demonstrasi mahasiswa yang merebak dimana-mana sebagai “pemicu”nya.

Rupanya dalam suasana genting jatuhanya kekuasaan Soeharto itu diwarnai pula oleh rivalitas yang muncul ke permukaan diantara para perwira ABRI. Akibat lemahanya kepemimpinan Wiranto sebagai Pangab ditambah suasana yang tidak menentu. Masing-masing perwira berusaha mencari manfaat atas situasi tersebut. Para perwira berusaha “berinvestasi” pada masa depan masing-masing, setidaknya mengamankan posisi mereka masing-masing. Pada saat itu terlihat jelas di tubuh ABRI sendiri tidak solid dibawah satu komando. Masing-masing punya agenda sendiri-sendiri dan saling curiga satu sama lain.

Salah satu contohnya adalah adanya siaran pers dari puspen (pusat penerangan) ABRI menjelang berakhirnya kekuasaan Soeharto. Siaran pers yang walau dibantah langsung oleh Wiranto namun turut mempercepat proses lengsernya Soeharto. Salah satu isi dari rilis tersebut adalah dukungan terhadap sikap PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) yang mendukung Presiden Soeharto lengser. Sebenarnya itu bukan merupakan rilis resmi ABRI karena tidak memakai kop surat dan tidak ditanda tangani. Menurut Makodongan, siaran pers dukungan terhadap sikap PBNU itu dibuat oleh Mardianto dan Kasospol saat itu, SBY. Meski tengah malam itu juga Wiranto membangunkan seluruh perwira untuk menarik rilis itu dari seluruh media massa agar tidak diterbitkan. Namun sudah terlanjur beredar dan Soeharto yang tahu tentang ini semakin kehilangan perspektif terhadap kondisi lapangan, terutama mengenai dukungan ABRI. Kejadian ini semakin memperburuk hubungan Prabowo dan Wiranto karena dia menganggap Prabowo-lah yang mengadukan ini ke Presiden.

Tanggal 18 Mei Harmoko yang selalu menjilat Soeharto akhirnya menjadi “Brutus” dengan meminta beliau secara arif dan bijaksana untuk mundur. Sikap Harmoko ini cukup mengejutkan mengingat keberadaannya sebagai Ketua DPR/MPR adalah semata-mata untuk mengamankan kekuasaan Soeharto. Sebelumnya dia selalu langganan dipilih sebagai menteri oleh Soeharto. Bisa dikatakan dia memperoleh segala-galanya karena Soeharto. Namun karena desakan mahasiswa dan tokoh masyarakat akhirnya dia memilih untuk menyelamatkan diri sendiri. Namun begitu pernyataan pemimpin DPR/MPR itu, disambut gegap gempita oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR dan masyarakat seluruh Indonesia. Tetapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama karena sekitar pukul 23:00 WIB Wiranto menyampaikan bahwa ABRI menolak pernyataan Harmoko itu.

Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan kekuasaannya sebenarnya Soeharto sudah berniat mundur dari jabatannya. Namun dia ingin memastikan pasca mundurnya dia sebagai presiden tidak ada kekacauan yang membuka peluang bagi militer untuk berkuasa. Tanggal 19 Mei dibuatlah pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat, seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, dll, minus Amien Rais. Dalam pertemuan tersebut Soeharto menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi yang akan menyiapkan pemilu. Sementara itu menjelang rencana Amien Rais yang akan mengumpulkan massa di Monas tanggal 19 Mei, Wiranto mengadakan rapat di Mabes. Dalam rapat yang dihadiri para perwira tinggi militer itu kembali muncul perbedaan antara Prabowo dan Wiranto. Dalam rapat itu Wiranto mengatakan bahwa perintah yang dibuat adalah mencegah masuknya pendemo dengan segala cara (at all cost). Prabowo bertanya berulang-ulang apa maksud perintah itu? Apakah akan digunakan peluru tajam? Pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan jelas oleh Wiranto. Kivlan Zein menggelar tank dan panser dengan perintah, “Lindas saja mereka yang memaksa masuk Monas!” Kivlan Zein meminta Prabowo agar Amien Rais membatalkan rencana demo sejuta umat di Monas. “Dari pada saya dimusuhi umat Islam lebih baik saya tangkap Amien Rais” kata Kivlan. Akhirnya Amien Rais membatalkan rencana demo di Monas.

Saat menghadapi Habibie, Prabowo berkata, “Pak, bapak sepuh mungkin akan lengser siapkah anda menggantikannya?” Bapak sepuh adalah sapaan Prabowo kepada Soeharto yang saat itu menjadi mertuanya. Selanjutnya Prabowo meminta Habibie untuk mempersiapkan diri. Disini terlihat bahwa Prabowo merasa tidak punya masalah dengan Habibie. Jika kita membaca ulang berita-berita media jauh sebelumnya, juga tampak jelas hubungan kedua tokoh ini sangat akrab. Berulang kali Prabowo menyampaikan kekagumannya pada Habibie, begitu juga sebaliknya. Prabowo yang berhasil meredakan situasi merasa akan mendapat pujian. Maka datanglah dia ke Cendana. Tapi celaka, disitu sudah ada kelompok Wiranto yang duduk bersama-sama dengan Soeharto dan putra-putrinya. Rupanya disitu Wiranto “mengadukan” tentang manuver Prabowo yang mengindikasikan dia runtang-runtung dengan Habibie dan para aktivis. Saat dia tiba, Mamiek langsung menghardik Prabowo dengan kasar sambil mengacungkan telunjuk hanya satu inci dari hidung Prabowo. Sambil berkata, “Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!” Prabowo keluar menunggu sambil bilang, “Saya butuh penjelasan”. Titiek –istri Prabowo- hanya bisa menangis, lalu dia pulang. Saat itu sesungguhnya Prabowo sudah dikalahkan, kalah oleh lobi dan pendekatan Wiranto yang meyakinkan. Dalam kondisi gamang seperti itu memang Soeharto sangat rentan menerima informasi yang dipelintir. Hal yang sama akan terulang kembali pada Habibie. Kali ini Wiranto sendiri mengakui ada informasi yang salah ditangkap Habibie dari dirinya.

Sementara itu Habibie yang merasa terancam dengan rencana pembentukan Kabinet Reformasi mengeluarkan kartu As-nya. Dia dan 14 menteri ekuin di bawah Ginandjar Kartasasmita menyampaikan keberatannya untuk menjadi bagian dari Kabinet Reformasi. Soeharto merasa benar-benar terpukul atas kejadian terakhir ini karena merasa ditinggalkan. Apalagi diantara mereka ada yang dianggap sebagai orang-orang yang dia “selamatkan”. Malam itu Soeharto terlihat gugup dan bimbang. Suatu kejadian langka. Namun disaat-saat penuh kekecewaan itu hadir sahabat-sahabat sejati yang menunjukkan kesetiaannya. Malam itu hadir di Cendana para mantan wapres menyampaikan dukungannya; Umar Wirahadikusuma, Sudharmono, Try Sutrisno. Sekitar pukul 23:00 WIB Soeharto memanggil Yusril Ihza Mahendra, Saadilah Mursayaid, dan Wiranto. Beliau menyampaikan bahwa besok akan menyerahkan kekuasaan kepada Habibie. Esok paginya, Harmoko, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, dan Ismail Hasan Metareum menemui Soeharto di ruang Jepara.

“Ada dokumen lain lagi?” Tanya Soharto.

“Tidak Pak.” jawab Harmoko.

“Baik kalian tunggu saja disini, saya akan melaksanakan pasal 8 UUD 45.” Tutur Soeharto.

Di Credential Room Soeharto bertemu Habibie tetapi Soeharto melengos. Soeharto sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Habibie dan kembali ke ruang Jepara. Kepada para pimpinan DPR/MPR itu dia berkata, “Saya sudah bukan presiden lagi”. Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo. Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis menjelang ajalnyapun Habibie dilarang menemui Soeharto.

Hubungan Soeharto dan Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah Habibie saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya Soeharto tidak segan-segan menunjukkan kepercayaan dan rasa sayangnya terhadap Habibie. Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. Bagaimana demi kedudukan hubungan umat manusia yang begitu dalam mampu dikorbankan.

Sekitar pukul 23:00 WIB Prabowo dan Muhdi bertemu dengan Habibie di kediamannya untuk memberi dukungan pada presiden baru. Namun keesokannya pada tanggal 22 Mei, selesai Sholat Jumat Prabowo mendapat kabar mengejutkan. Bagai petir di siang bolong, Prabowo di Makostrad ditelepon Mabes AD, diminta menanggalkan benderanya. Perintah itu tak lain artinya bahwa jabatannya dicopot. Prabowo mengingat perkataan Habibie jauh sebelumnya, “Prabowo, kapan pun kamu ragu temui saya, jugan pikirkan protokoler!” Maka Prabowo menemui Habibie yang sudah menjadi presiden dan berkata, “Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya.” Habibie menjelaskan kalau dia mendapatkan laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan istana. Prabowo minta setidaknya 3 bulan di Kostrad. Habibie menolak. “Tidak, sampai matahari terbenam anda harus menyerahkan semua pasukan!” Dari sini kembali terlihat, untuk kedua kalinya Prabowo dikalahkan oleh lobi dan pendekatan Wiranto. Kelak, Wiranto sendiri mengakui bahwa ada kemungkinan informasi yang diberikan diterima secara salah oleh Habibie. Namun kesalahpahaman apapun itu, Prabowo sudah terlanjur menjadi pihak yang dirugikan. Hancurlah karir militer yang begitu gilang gemilang.

Kita tidak pernah tahu apakah baik Soeharto maupun Habibie sama-sama salah mengartikan informasi yang disampaikan Wiranto, atau memang ada kesengajaan melakukan miss-informasi terhadap Prabowo mengingat persaingan internal ABRI saat itu. Demikian akhir tulisan singkat mengenai Sang Jenderal Terbuang. Semoga menambah wawasan dan menjadi pelajaran bagi kita semua.

Semoga artikel diatas bisa menambah wawasan Anda semua.
http://adainfounik.blogspot.com/

Rabu, 20 Juni 2012

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (2)

In Historia, Politik, Sosial on June 13, 2012 at 1:01 AM
BUKANNYA tak pernah muncul nama-nama sebagai calon ‘rival’ menuju kursi RI-1, namun semua selalu kandas dengan sendirinya melalui ‘ketegangan kreatif’ itu. Mulai dari Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Soemitro sampai Jenderal Muhammad Jusuf. Sebenarnya di luar mereka dan di luar Jenderal AH Nasution –yang menjadi rival pertama dalam persaingan menuju kursi RI-1 menggantikan Soekarno– masih cukup banyak tokoh, terutama para jenderal, yang memendam keinginan menjadi number one. Tetapi para jenderal yang disebutkan terakhir ini, terlalu besar ketergantungan mati-hidupnya dari Soeharto, sehingga tak lebih tak kurang mereka hanya berani berada dalam penantian mendadak ketiban ‘wasiat’ Soeharto untuk naik ke kursi nomor satu itu. Ketergantungan mereka pada umumnya menyangkut karir, fasilitas dan akses keuangan. Rata-rata, untuk akses keuangan, mereka berhubungan ‘baik’ dengan Liem Soei Liong sang penjaga ayam petelur dan telur-telur emasnya.

LIEM SOEI LIONG – SOEHARTO. Siapa berani memerahi Liem Soei Liong? (foto download suara pengusaha)

Jumat, 08 Juni 2012

CAPRES 2014: Nasdem diminta selektic jaring kandidat


Oleh John Andhi Oktaveri

JAKARTA: Partai NasDem seharusnya lebih selektif dalam menjaring calon presiden dengan mempertimbangkan sistem regenerasi politik sehingga memunculkan wajah baru yang lebih memberi harapan.
 
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI)  Boni Hargens mengatakan regenerasi politik sangat diperlukan saat ini di tengah masih banyaknya wajah-wajah lama yang tampil sebagai capres. 
 
Akan tetapi, katanya, kalaupun belum ada wajah baru yang mumpuni, Partai NasDem bisa mencari figur lama yang sekelas Jusuf Kalla, yang sampai saat ini masih memiliki kans politik yang besar.
 
“Regenerasi politik adalah syarat bagi pembangunan politik. wajah lama sudah saatnya disimpan dalam album. Tampilkan wajah baru. Banyak tokoh muda dari internal NasDem bisa diusung jadi capres dan cawapres,” ujarnya. 
Boni menyebutkan di antara tokoh muda di NasDem yang bisa ‘dijual’ termasuk Jeffrie Geovanie atau Harry Tanoe yang dinilainya punya rekam jejak yang bagus.
 
Menurut Boni, selain di Partai NasDem, banyak juga capres muda di parpol lain, tetapi terpendam karena partainya tidak memberikan ruang. Hal itu terjadi, katanya, karena regenerasi politik tidak berjalan baik di partai tersebut.
 
“Partai Golkar dan PDI-P bermasalah dalam hal ini. Demikian juga dengan Partai Demokrat dan PKS, keduanya punya banyak tokoh muda, tetapi kedua partai ini mengalami krisis kepercayaan publik terkait skandal korupsi dan praktik politik yang kontroversial,” ujarnya.
 
Terkait soal sistem penjaringan capres, lebih jauh Boni mengatakan untuk menjaring capres yang representatif, mekanisme konvensi merupakan jalan paling ideal. 
 
“Saya beberapa kali mengusung ide primary election  seperti di Amerika Serikat (AS) agar diterapkan di Indonesia. Partai-partai harus berani melakukan itu. Partai baru seperti  NasDem perlu mempelopori gerakan semacam ini,” ujarnya. 
 
Sebelumnya, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan,  popularitas dan gagasan perubahan yang disampaikan NasDem akan mengancam partai-partai lain, terutama Partai Golkar dan Partai Demokrat.
 
"Karena semua insfrastruktur partai itu digunakan oleh NasDem. Yang terancam juga Partai Demokrat dengan berbagai persoalan yang mendera," kata Siti. 
 
Menurutnya, proses transisi politik saat ini sudah masuk tahap jenuh. Reformasi partai yang belum tuntas membuat para pemilih beralih ke partai baru yang prospektif, yang memiliki basis ideologi kuat dan mencerminkan pluralitas. (sut)
 

Rabu, 04 April 2012

Catatan Penting untuk Demonstrasi


ISU kenaikan harga BBM telah berhasil membuat tegang suasana Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh guncangan gelombang demonstrasi dengan segala pernak-perniknya mulai dari pemblokiran jalan hingga keanarkisan. Dampak yang sangat terasa adalah sulitnya banyak warga untuk mengakses jalanan yang menjadi arena demonstrasi. Alasannya bukan sekadar karena jalan yang ditutup, melainkan juga khawatir akan adanya tindakan kekerasan yang dapat membahayakan mereka ketika melintasi arena itu. Bukan fiktif belaka, memang, ketika demonstrasi memanas, alias massa dan petugas kemanan telah sama-sama memijaki titik ricuh, lemparan batu dan peluru akan melayang ke sembarang arah dan jatuh bebas ke mana pun, termasuk pada kendaraan umum dan penumpang di dalamnya. Walhasil, beberapa instansi memulangkan stafnya lebih awal sebelum demo menjadi anarkis, atau bahkan meliburkannya dengan alasan keamanan. Bahkan, tanpa dimungkiri, ada juga orangtua yang melarang anaknya pergi ke sekolah atau kuliah. Demikian, Jakarta di satu sisi menjadi begitu ngeri, menakutkan, akibat demonstrasi yang terjadi.

Mari menilik puncak sementara demonstrasi kenaikan harga BBM pada 30 Maret lalu. Disebut ‘puncak sementara’ karena ada kemungkinan gelombang demo ini bergulir lagi dan mencapai puncak-puncak selanjutnya. Hal itu disebabkan oleh konsekuensi dari keputusan hasil sidang paripurna yang sekadar menunda kenaikan harga BBM dengan bahasa revisi pada pasal 7 UU tentang APBN 2012 dengan penambahan ayat 6a. Pasal 7 ayat 6a tersebut  berbunyi Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu berjalan selama enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, maka pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya’. Ayat ini, seperti dilansir Metro TV, merupakan sebuah tiket bagi pemerintah untuk tetap menaikkan harga BBM.  Jika harga BBM dinaikkan, meskipun diisukan ‘tidak’ kecuali setelah enam bulan ke depan, para demonstran hanya akan merasa dikhianati. Mereka akan merasa apa yang mereka suarakan sama saja tidak didengar, tuntutan mereka tidak ditanggapi. Lantas, demonstrasi pun bisa terjadi kembali, dengan gelombang yang sama, atau bahkan lebih besar lagi. Tentu, misi utama yang dibawa oleh para demonstran adalah membela hak rakyat kecil. Kenaikan harga BBM sangat memengaruhi kenaikan harga kebutuhan lainnya dan berarti akan semakin mempersulit rakyat kecil yang selama ini sudah menderita dalam keterbatasan daya beli. Tiket itu memungkinkan demonstrasi akan terjadi lagi. Jakarta akan kembali menjadi kota yang mengerikan dan menegangkan bagi sebagian penduduknya, terutama yang tidak pro dengan demo.
 
Lalu, apakah demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi agar harga BBM tidak dinaikkan masih diperlukan? Toh, demonstrasi yang kemarin terjadi tidak lantas membuat keinginan mereka, demonstran, lugas dikabulkan. Justru, dampak negatif seperti ketakutan massal dan ketegangan kota kian dirasakan bagi mereka yang tidak terlibat dalam demo.

Jawabnya, ‘YA’, demonstrasi dalam hal menyikapi kebijakan atau dalam rangka menyampaikan aspirasi pada pemerintah masih diperlukan. Ada tiga catatan penting yang perlu dipahami dalam hal ini, yaitu pemahaman bagi pihak yang tidak terlibat atau bahkan kontra demo, pemahaman bagi para pelaku demo, dan bagi pihak yang menjabat sebagai wakil rakyat, petinggi negara, maupun pemerintah Indonesia.

Bagi pihak masyarakat yang tidak terlibat demo, atau bahkan kontra terhadap demo, memiliki kecenderungan negatif menanggapi demo yang terjadi. Aksi para demonstran, terutama yang besar-besaran seperti 30 Maret 2012 lalu hanya membuat mobilitas terganggu, bikin macet. Selain itu, demonstrasi hanya mampu meneriakkan suara ‘perlawanan’ terhadap kebijakan pemerintah seperti “Bela rakyat kecil! Turunkan harga BBM! Turunkan SBY-Boediono!” dan lain sebagainya, tanpa memberikan usulan solusi konkrit kepada pihak yang mereka teriaki. Demonstrasi yang diangap-anggap sebagai jalan penyelesaian masalah krusial malah menyebabkan masalah lain melalui rusaknya pintu tol, merobohkan pagar dan pintu gerbang gedung DPR, membakar kendaraan, dan bermacam aksi keras maupun anarkis lainnya. Demonstran, khususnya mahasiswa, sering dicap telah kehilangan intelektualnya karena melakukan aksi-aksi yang tidak berhubungan dengan materi apa yang sedang diperjuangkan. “Mahasiswa kok main otot. Harusnya otak dong!” Ya, begitulah kira-kira tanggapan pihak yang tidak terlibat, atau bahkan kontra, demonstrasi.

Namun, perlu dipahami bahwasannya demonstrasi merupakan salah satu cara yang efektif dalam menyampaikan aspirasi. Memang, sekilas terkesan sia-sia ketika ternyata hasil tak sebanding dengan kekacauan yang telah disebabkan. Akan tetapi, inilah perjuangan. Demonstrasi memegang fungsi penting sebagai kontrol pemerintah, penggertak pemerintah bahwa ada banyak masyarakat yang menanti keadilan dan siap melawan kesemena-menaan. Meskipun sebagian dari kita menganggap demonstrasi bukan solusi masa kini karena aspirasi bisa disampaikan melalui aksi yang lain semacam tulisan, namun, tulisan pada dasarnya hanyalah aksi individu. Tulisan hanyalah gagasan dan hasil pemikiran yang disampaikan oleh orang per orang. Banyak masyarakat akan membaca, dan mungkin juga presiden dan para pejabat negara. Tapi, tak ada efek yang cukup kuat dari tulisan sebagai penggertak pemerintah. Dalam kasus-kasus ketidakadilan sebuah kebijakan penting, tulisan yang merupakan aksi individu sebaiknya disertai tindakan kebersamaan semacam demonstrasi. Sebab, analogi klasik sebatang lidi berlaku di sini. Sendiri tak akan lebih mampu membersihkan sampah di halaman dibandingkan jika lidi-lidi itu diikat menjadi satu, menjadi sapu.

Mengenai kerugian yang disebabkan oleh demonstran seperi perusakan pagar DPR, harusnya ini justru menjadi bahan telaah kritis bagi kita. Alangkah mudahnya pagar elite milik para pejabat itu dirobohkan. Apakah konstruksi yang digunakan benar-benar kuat? Apakah selama ini korupsi juga terjadi dalam pembiayaan pembuatan pagar dengan menggunakan sebagian kecil saja uang dari anggaran pembetulan pagar dan sisanya dinikmati sendiri. Ya, ini memang sekadar asumsi. Namun, setidaknya kita harus mampu menelaah dengan lebih kritis lagi.

Kepada para pelaku aksi, hendaknya demonstrasi diimbangi dengan aksi nyata lainnya. Demontrasi memang media juang untuk mewujudkan tujuan. Namun, bukan satu-satunya media. Misalnya saja dalam isu kenaikan harga BBM ini, demonstran, khususnya mahasiswa, seharusnya mampu memberikan solusi alternatif bagi rakyat kecil. Contohnya, pemanfaatan sumber daya alam lain untuk bahan bakar, atau peningkatan kualitas sumber daya manusia agar memiliki daya beli yang lebih baik. Dengan demikian, masyarakat tidak akan terpengaruh lagi dengan kenaikan harga BBM karena mereka sudah tidak bergantung padanya, dan mereka sudah memiliki daya beli yang baik. Program ini tentunya tidak mudah karena beraliran ‘pemerataan kesejahteraan’. Oleh karena itu, kita butuh metode aksi besar-besaran. Organisasi, khususnya pemuda dan mahasiswa, yang memiliki cabang di seluruh Indonesia seperi Aliansi BEM Seluruh Indonesia, KAMMI, HMI, dll. menyeragamkan gerakan untuk melakukan upaya tersebut di setiap wilayahnya. Bukan hanya ketika berteriak menantang pemerintah saja yang perlu bersatu, tapi dalam melakukan upaya dan solusi alternatif juga perlu persatuan agar hasilnya maksimal. Dengan kata lain, aksi perlu dimodifikasi, demo dilengkapi aksi nyata yang solutif.

Kepada pemerintah dan pejabat negara, sebaiknya mau dan mampu mendengar apa yang menjadi suara rakyatnya, juga mampu berpihak pada rakyat yang diwakilinya di gedung mewah DPR RI. Jadikan aspirasi rakyat sebagai masukan, kontrol atas kerja yang telah dilakukan. Bersyukurlah bahwa Bapak Ibu Pejabat semua masih memiliki rakyat yang peduli dengan negaranya. Bersikaplah dengan baik karena Bapak Ibu sekalian menjadi sorotan. Bersidanglah dengan kritis namun santun karena Bapak Ibu pun menjadi tontonan rakyat. Jika merasa lelah, ingatlah bahwa rakyat akan tetap mendukung selama Bapak Ibu ada di jalan yang benar. Jangan semena-mena karena demonstrasi bisa terjai kapan saja, kontrol mahasiswa dan rakyat bisa dalam bentuk apa saja. Karena pada Bapak dan Ibu lah kami wakilkan suara kami bagi kesejahteraan Indonesia.

Demonstrasi, sampai kini, masih perlu dilakukan. Sebab, demo merupakan salah satu cara yang efektif sebagai media penyampai aspirasi dan penggertak pemerintah akan kebijakan yang tidak adil. Namun dengan catatan, para demonstran, khususnya mahasiswa, juga harus melakukan aksi besar-besaran dalam bentuk yang lain, yang bersifat peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dan bagi pemerintah, jangan pandang negatif demo yang terjadi karena inilah kontrol bagi kerja Bapak Ibu untuk negara. Demo, tetap perlu dilakukan.

Endang Sriwahyuni
Mahasiswa Sampoerna School of Education
(//rfa)

Senin, 27 Februari 2012

Marsinggo - Hubungan Mesra Jejaring Sosial dengan Jurnalisme

Juni Soehardjo, PENGAMAT REGULASI MEDIA DIGITAL  
Sumber : SINDO, 25 Februari 2012
Setiap hari dalam 24 jam pengguna jejaring sosial melakukan interaksi dengan pemberitaan media massa. Interaksi bisa dilakukan dengan memberikan komentar, kritik, dukungan, bahkan memberikan sudut pandang baru.
Tidak sedikit jurnalis dan media yang memanfaatkan input untuk pengembangan berita. Ini fenomena global,tidak terkecuali di Indonesia. Pekan lalu Dewan Pers menggelar diskusi dengan tajuk Penggunaan Konten Media Sosial oleh Jurnalis. Di antara hasil yang menarik, sebanyak 32% jurnalis responden menggunakan akun jejaring sosial untuk menulis informasi personal, 40% untuk menulis informasi mengenai berita menarik di media masing-masing, 41% tentang kegiatan kerja yang tengah dilakukan.

Selain itu, sebanyak 58% responden memanfaatkan Facebook sebagai sumber berita, sedangkan 46% memanfaatkan konten percakapan di Twitter dalam peliputannya. Kemesraan antara jejaring sosial dan jurnalisme di Indonesia memiliki beberapa faktor kuat yang mendukung hubungan tersebut. Pertama, Indonesia adalah negara pengguna jejaring sosial dengan peringkat yang tinggi di dunia— baik melalui Twitter maupun Facebook maupun brand jejaring sosial lainnya.

Data dari www.socialbakers.com menunjukkan pada Januari 2012 ini, pemilik akun Facebook di Indonesia sebanyak 43,1 juta,di atas Brasil, tetapi di bawah India yang secara mengejutkan melampaui Indonesia. Kedua, larisnya penjualan gadget seperti smartphoneyang memungkinkan orang Indonesia untuk masuk ke dalam jejaring sosial yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa.

Smartphoneyang berada pada tingkat harga mahal seperti Blackberry maupun pada harga murah seperti Nexian terjual semakin banyak.Kondisi ini diperkuat dengan telendesitas telekomunikasi Indonesia yang hampir mencapai 90% dari populasi di Indonesia apabila dilihat dari kartu SIM yang beredar. Kadin Indonesia memperkirakan pada 2014 penetrasi sebuah smartphone yang sangat terkenal akan mencapai 30% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 252 juta orang.

Menurut Jeffrey I Cole, Direktur Centre for Digital Future, dalam lima tahun ke depan penggunaan komputer meja (desktopPC) serta laptop akan digunakan hanya sekitar 4-6% dari keseluruhan pengguna komputer. Hal ini karena tablet merupakan suatu alat yang lebih nyaman dan mudah dibawa daripada komputer meja dan laptop.

Dia memperhitungkan bahwa tablet sebagai alat penggunaan komputer akan menjadi pilihan utama sejak pertengahan dasawarsa 2010-an ini. Mengapa topik ini penting untuk diperhitungkan dalam perhitungan jurnalistik masa depan,alasannya adalah tak lain karena dominasi tablet akan menciptakan perubahan besarbesaran dalam bagaimana, kapan, dan mengapa orang (Amerika Serikat) masuk ke internet.

Walaupun dia menggunakan Amerika Serikat sebagai contoh, pola yang sama juga berlaku di Asia dan Eropa. Masih menurut perhitungan Kadin Indonesia, penjualan komputer di Indonesia hingga 2015 diperkirakan akan mencapai 43,9 juta yang berarti penetrasi nasional komputer akan mencapai 18.3%. Angka tersebut baru merupakan perkiraan penjualan komputer, belum gadget lainnya.

Dengan menggunakan perhitungan Cole, secara sederhana dapat dibayangkan kemungkinan meledaknya penggunaan tablet dan smartphone di Indonesia dalam tiga tahun ke depan. Mengingat Indonesia sudah mencanangkan masterplan percepatan perluasan pembangunan ekonomi, penyediaan infrastruktur telekomunikasi yang merupakan platform internet di mana gadgetini beroperasi akan segera dibangun dalam waktu dekat ke daerah-daerah terpencil dan merambah ke Indonesia sebelah timur.

Pada saat yang sama, Cole juga memperhitungkan bahwa dalam lima tahun media massa dalam bentuk cetak akan mengalami penyusutan besarbesaran. Yang bertahan dari penyusutan besar-besaran ini adalah media massa cetak yang saat ini memiliki sirkulasi terbesar atau terbit mingguan. Kaum jurnalis memahami kondisi genting tersebut dan segera mencari jalan keluar antara lain dengan menjangkau komunitas yang mereka layani.

Dahulu persebaran berita berpola satu arah yakni dari jurnalis kepada masyarakat dalam bentuk tercetak maupun elektronik. Namun, dengan berkembangnya teknologi yang memungkinkan warga biasa melaporkan apa yang terjadi di sekitarnya atau setidaknya meneruskan berita yang didapatnya dari orang lain dengan shared-link dan video, pola persebaran berita berubah menjadi interaktif atau dua arah.

Jurnalis mengendus kesempatan ini dan sekarang mencari serta menerima feedback dari komunitas yang menggunakan jejaring sosial dan mempelajari apa yang menjadi kecenderungan masyarakat melalui jejaring sosial sehingga berita yang ia turunkan menjadi lebih update dan relevan dengan komunitasnya.

Dalam kapasitas pelaporan suatu peliputan bersifat realtime, jejaring sosial mempertajam gerakan protes seperti Occupy Wall Street ataupun Arab Spring sehingga menjamin setiap perkembangan dari protes ini tetap dapat diliput. Pada waktu polisi atau aparat keamanan memblokir akses dan menahan para jurnalis profesional,para pemrotes bersama- sama dengan para mahasiswa mengawal gerakan ini melalui sosial.

Di sini terlihat kecenderungan masa depan di mana jurnalisme atau pers akan lebih terdesentralisasi, bersifat real-time,berkarakteristik kerja sama,serta di bawah pengampuan (curate) warga. Hubungan mesra antara jejaring sosial dan jurnalisme ini juga menimbulkan pertanyaan baru: di manakah posisi jurnalis sebagai penyedia informasi di dalam masyarakat yang sudah pandai menggunakan gadget dan karenanya melek informasi ini?

Bagaimana dengan penerapan prinsip jurnalistik yang bersifat imparsial, tepat, dan akurat dalam menggunakan jejaring sosial sebagai sumber informasi? Bagaimana cara baru persebaran konten ini akan memengaruhi kualitas dan kedalaman dari kualitas jurnalisme? Apakah jejaring sosial dapat dikategorikan sebagai perusahaan media massa? Semoga kemesraan antara jurnalisme dan jejaring sosial ini dikawal oleh para pemangku kepentingan sehingga memberikan nilai tambah bagi dunia. ●

Selasa, 31 Januari 2012

MARSINGGO - Perpecahan Makin Jelas, Pengganti Anas Diusulkan dari Luar Partai

 
Senin, 30 Januari 2012 14:14 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perpecahan di internal Partai Demokrat makin jelas tercium. Desakan pencopotan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat juga semakin kuat.
Setelah sebelumnya beberapa petinggi parti berlambang bintang mercy itu membantah perihal pencopotan Anas, kini kubu kontra terhadap Anas membongkar, bahwa usaha 'pencopotan' memang terjadi.
Bahkan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ajeng Ratna Suminar mengungkapkan, partainya telah menyiapkan empat nama untuk menggantikan Anas Urbaningrum dari posisi ketua umum. Dari empat nama itu, ada yang berasal dari internal partai, tapi ada juga dari luar partai demokrat.
"Orang luar itu berasal dari menteri tapi bukan kader partai. Dari luar partai tapi dia pro ke Demokrat. Kan bisa ditebak sendiri," ungkap Ajeng di gedung DPR, Jakarta, Senin (30/1).
Ajeng menceritakan, pengusulan nama-nama itu dilakukan pada 23 Januari 2012 lalu pukul 13.00 WIB bertepatan dengan perayaan Imlek di Kemayoran, Jakarta. Saat itu, lanjut Ajeng, rapat penentuan nama-nama dipimpin langsung Wakil Dewan Pembina Partai Demokrat, Marzuki Alie dan diikuti lebih dari 20 anggota dewan pembina.
Anas, kata dia, tidak dilibatkan dan tidak dilaporkan mengenai adanya rapat tersebut. Sehari setelahnya, baru dibawa ke rapat dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kediamannya di Cikeas. Setelah dilaporkan, Ajeng menambahkan, SBY hanya mengatakan akan memikirkan usulan-usulan tersebut.
Mengenai mekanisme pengangkatan ketua umum dari luar partai, dijelaskan Ajeng, boleh-boleh saja sebagai upaya penyelamatan partai. AD/ART partai pun memungkinkan untuk melakukan itu.
"Hanya definitif. Apa bagusnya dari orang dalam? Nanti malah berebut. Biar tidak berebutan, makanya justru ada bagusnya, jadi netral," jelas dia.
Redaktur: Ramdhan Muhaimin
Reporter: Mansyur Faqih

Rabu, 11 Januari 2012

MARSINGGO - Mendagri Dorong Partai Aceh Bisa Ikut Pemilukada

Hari Ini Ajukan Gugatan ke MK
JPNN  Berita Pemerintahan  Selasa, 10/01/2012 - 20:23 WIB  jpnn  
mendagri
JAKARTA -- Pemerintah berubah sikap. Jika pada Rakor Polhukam 4 Januari 2012 lalu disepakati hari pemungutan suara pemilukada Aceh tetap digelar sesuai jadwal, yakni 16 Februari 2012, Selasa (10/1) beda lagi.

Mendagri Gamawan Fauzi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pasal di UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang tahapan pemilukada.

Gamawan berharap MK memberikan perlakukan khusus untuk pemilukada di Aceh, dimana dimungkinkan ada pendaftaran calon susulan, meski pada 2 Januari 2012 tahapan pemilukada sudah masuk tahap pengundian nomor urut empat pasangan cagub-cawagub Aceh.

"Yang saya gugat KPU agar KPU memberi waktu kepada partai-partai yang berhak ikut, sehingga diperpanjang waktunya," ujar Gamawan Fauzi kepada wartawan di kantornya, Selasa (10/1).

Seperti diberitakan, pada Rakor Polhukam 4 Januari 2012, Ketua DPR Aceh menyampaikan kabar mengenai keinginan Partai Aceh (PA) untuk ikut mendaftarkan calon. Lantas disepakati bahwa bisa tidaknya Partai Aceh menyusul ikut mendaftar, merupakan kewenangan KPU dan Bawaslu, bukan pemerintah. Namun, KPU dan Bawaslu tidak berani memutuskan karena tidak ada cantelan hukumnya. (sam/jpnn

Sabtu, 07 Januari 2012

Marsinggo - Dahlan Iskan Dinilai Dapat Gantikan SBY

  
Riski Adam
07/01/2012
Liputan6.com, Jakarta: Nama Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan kian meroket setelah berhasil mengangkat nama PLN. Terlebih Dahlan Iskan piawai dalam membangun opini positif di media massa. Sosok Dahlan pun dinilai cocok untuk menggantikan posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu 2014.

"Untuk 2012 ke depan kemungkinan nama Dahlan juga akan muncul. Jika nanti kalau Dahlan Iskan terus membaik maka dia dapat menjadi pengganti SBY di tahun 2014," ungkap Direktur Riset Developing Countries Studies Center (DCSC) Abdul Hakim saat ditemui usai menggelar laporan tahunannya di Kantor DCSC, Jakarta, Sabtu (7/1).

Lebih lanjut Hakim mengatakan, selama ini baru ada satu partai besar yang melirik Dahlan untuk dijagokan sebagai Capres 2014 yakni Partai Keadilan Sejahtera meski tidak secara terang-terangan. Jika popularitas Dahlan terus meroket maka pada akhirnya Dahlan juga akan ditetapkan sebagai kandidat yang patut diperhitungkan.

"Saya pikir kalau PKS perolehan suaranya bisa mencalonkan sendiri dan popularitas Dahlan terus membaik juga akan dicalonkan juga. Karena manuver Dahlan dalam dua bulan terakhir ini juga luar biasa," jelasnya. "Jadi tahun 2014 itu bukan siapa-siapa, bisa jadi nama-nama baru ini bisa muncul dan dijagokan," pungkas Hakim.(JUM)

Marsinggo - Khofifah Indar Parawansa yang Kini Masuk ”Bursa” Pilpres


  Padang Ekspres •
Rabu, 04/01/2012 13:28 WIB • Dian Wahyudi—
Sejumlah partai politik mulai gemar menggulirkan ke publik nama-nama calon presiden atau calon wakil presiden yang berpotensi diusung pada Pemilu 2014 nanti. Nama Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa ikut menggelinding di antara mereka.

SEBAGAI ibu, Senin (2/1), hampir seharian penuh Khofifah menemani sang bungsu, Ali Mannagalli, di rumah. Putra keempat yang dikandung saat dia masih menjabat menteri pemberdayaan perempuan pada era Presiden Abdurrahman Wahid itu baru saja dikhitan.

”Nanti kalau dengar ada anak nangis atau ngrengek, jangan heran ya,” kata Khofifah di kediamannya, kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Momen Khofifah punya banyak waktu untuk menemani anak-anaknya seperti itu tidak berlangsung setiap hari. Maklum, ibu empat orang anak tersebut punya segudang aktivitas dan tanggung jawab di luar rumah.

Pada malam sebelum mengkhitankan putranya, misalnya, Khofifah baru sampai di rumah menjelang tengah malam. Sebab, perempuan kelahiran Surabaya, 19 Mei 1965, itu masih harus menjalani live di salah satu stasiun TV swasta. Dia didapuk menjadi salah seorang juri pemilihan dai muda. Acara tersebut baru selesai pukul 22.00 WIB.

Kegiatan di layar kaca itu hanya bagian kecil kesibukannya. Di luar aktivitas sebagai ketua umum PP Muslimat, Khofifah juga menyandang tanggung jawab sebagai wakil ketua umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin). Itu merupakan sebuah lembaga nonpemerintah yang menjadi wadah gerakan koperasi di tanah air.

”Dekopin ini agak banyak juga menyita energi saya,” ujar Khofifah. Setidaknya, dalam tiga tahun terakhir, dia harus menjalani sejumlah lawatan ke luar negeri. Bahkan, intensitasnya semakin meningkat beberapa waktu terakhir. Itu berkaitan dengan penetapan 2012 sebagai tahun koperasi dunia.

Banyak negara di Eropa, Timur Tengah, Afrika, hingga Asia akan terlibat dalam gerakan menghidupkan dan menyemarakkan gerakan koperasi tersebut. Tak terkecuali sejumlah negara maju di dunia. Misalnya, Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.

”Lewat Dekopin, saya ingin ikut mendorong adanya kebijakan ekonomi di Indonesia yang bisa menyeiringkan secara setara kebijakan pro poor dan pro bisnis, bukan lagi bertingkat seperti sekarang,” terang Khofifah.

Dengan panjang lebar, dia lantas membeberkan kondisi koperasi di Indonesia jika dibandingkan dengan koperasi di negara-negara lain. Dari situ tampak bahwa istri Indar Parawansa itu cukup menguasai bidang tersebut.

Menurut Khofifah, kebijakan ekonomi di Indonesia masih belum berpihak secara sungguh-sungguh terhadap koperasi, usaha kecil, dan mikro. Padahal, sebagai penggerak ekonomi masyarakat bawah, pemerintah seharusnya lebih memberikan prioritas.
”Negara kaya saja pro koperasi, tidak semuanya free market. Kenapa Indonesia masih belum menerapkan kesetaraan perlakuan, masih lebih melindungi perusahaan besar?” sesalnya, sambil membeberkan sejumlah alasan.

Aktivitas tinggi Khofifah itu tentu saja harus juga dijalan kan beriringan dengan tanggung jawabnya di beberapa tempat lain. Terutama di Muslimat NU. Sebagaimana diketahui, pada pertengahan 2011 lalu, dia kembali dipercaya memimpin organisasi di bawah NU yang mewadahi kalangan perempuan tersebut untuk periode ketiga.

Bahkan, terpilihnya Khofifah tidak melalui pemilihan secara voting. Dia ditetapkan sebagai ketua umum lewat proses aklamasi. ”Menurut saya, karena terpilih lewat aklamasi, bukan voting, beban amanat yang harus saya emban sekarang lebih berat daripada sebelumnya,” ujarnya.

Meski tetap berbagi tugas dengan jajaran pimpinan lain, energi dan pikiran Khofifah juga tetap tercurah besar untuk terus menggerakkan dan mengembangkan organisasi. Bagaimana tidak, hingga saat ini, selain kepengurusan mulai dari tingkat wilayah (provinsi), cabang (kabupaten/kota), hingga ranting (desa), Muslimat NU juga harus merawat sejumlah asetnya yang tersebar di seluruh Indonesia.

”Semua yang saya lakukan sekarang, konsentrasinya adalah layanan umat, berusaha memberikan makna bagi umat, tidak ada tendensi politik,” tegas mantan politikus PPP yang kemudian sempat bergabung dengan PKB itu.

Penegasan tersebut juga disampaikan Khofifah untuk menyikapi mulai disebut-sebutnya nama dirinya oleh sejumlah parpol sebagai bakal capres atau cawapres 2014 nanti. ”Sudahlah, kita sekarang bicara umat saja dulu,” elak ketua Yayasan Khadijah Surabaya itu. (*)
[ Red/Redaksi_ILS ]

Minggu, 20 November 2011

Marsinggo - Resolusi Perjuangan Marsinah Sebagai Pahlawan Buruh Nasional

Selasa, 21 Juni 2011

Resolusi Pengajuan Marsinah Sebagai Pahlawan Buruh Nasional

Marsinah adalah buruh perempuan yang bekerja di PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo, seorang aktivis dalam pemogokan kerja secara massal pada 3-4 Mei 1993 untuk menuntut kenaikan upah 20% dari gaji pokok sesuai dengan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur., No. 50/Th. 1992 . Dilahirkan pada 10 April 1969 di Nganjuk dan kemudian ditemukan jasadnya oleh anak-anak pada 8 Mei 1993 di desa Jegong, Wilangan, Nganjuk. Menurut otopsi yang pertama dan kedua jenazah Marsinah oleh Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Peristiwa Marsinah tersebut menyentak perasaan terdalam masyarakat dan terutama mendorong berbagai elemen gerakan demokrasi pada masa itu untuk menuntut keadilan. Sampai sekarang, setelah 18 tahun kemudian, peristiwa Marsinah lenyap dalam pasang surut reformasi. Kita tak pernah tahu siapa pelaku pembunuhan Marsinah, sedangkan tuduhan terhadap managemen PT CPS pada masa itu hanya suatu rekayasa yang tak terbukti dan telah dianulir oleh Mahkamah Agung.

Namun demikian, Marsinah telah tertanam dalam ingatan kolektif masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Timur, dan setiap 8 Mei digelar peringatan untuk Marsinah. Belum pernah ada seorang buruh –apalagi perempuan, di Indonesia, yang masih dikenang oleh masyarakat –hampir 20 tahun lamanya. Ada banyak teladan dan semangat kejuangan yang ditunjukkan rakyat Indonesia dalam pembangunan negara dan bangsa selama ini, namun hanya Marsinah yang tidak lenyap dalam memori kolektif masyarakat sebagai martir atas kejuangannya untuk keadilan. Marsinah adalah martir industrialisasi di Indonesia. Marsinah adalah pengingat bersama tentang keadaan buruh kita saat ini, termasuk buruh-buruh yang kita sanjung sebagai 'pahlawan devisa negara' –yang mengucurkan keringat dan darah di negara-negara penerima tenaga kerja namun tanpa perlindungan negara yang serius.

Pada saat memperingati Marsinah, 8 Mei 2010, sebuah jaringan perempuan yang terhimpun dalam Barisan Perempuan Indonesia (BPI) bekerjasama dengan FORI (Front Oposisi Rakyat Indonesia) mengundang Menakertrans, Muhaimin Iskandar, dalam diskusi publik mengenai “Marsinah dan Problem Perburuhan Saat Ini” yang diselenggarakan di kantor KONTRAS, di Jakarta Pusat. Pada waktu itu, Menaker tak bisa hadir namun diwakili oleh staf ahli Kemenakertrans untuk membacakan pidato Menakertrans, Muhaimin Iskandar. Betapa girang kami mendengar pidato tersebut, yang menurut penilaian kami merupakan pandangan yang rendah hati dan sangat maju atas persetujuanya menjadikan Marsinah sebagai Pahlawan Buruh Nasional.

Kami kutipkan butir-butir dari pidato Menakertrans, sebagai berikut:

(2) Marsinah membela keyakinannya bahwa buruh bukan komoditi. Marsinah membela keyakinannya bahwa hak buruh adalah hidup buruh, maka siapa pun yang melanggarnya berarti membunuh hidup mereka. Marsinah membela keyakinannya bahwa hanya buruh yang bisa mengubah nasib mereka. Marsinah membela keyakinannya bahwa buruh akan selalu menjadi duri bagi pengusaha yang lalim.

(3) Oleh karena itu atas nama pemerintah, dalam hal ini selaku Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, saya ingin meminta maaf atas semua yang telah terjadi di masa lalu yang ahirnya menyebabkan Marsinah menjadi korban. Saya juga meminta maaf kepada keluarga yang selama ini telah mengalami penderitaan

(4) Marsinah adalah pahlawan dan selalu menajdi pahlawan di hati kita, kaum buruh dan semua insan yang berkaitan dengan pekerja. Saya akan mendukung sepenuhnya untuk menjadikan Marsinah sebagai pahlawan buruh.

Dukungan Menakertrans tersebut memperkuat tekat kami untuk mewujudkan harapan bersama mengangkat Marsinah sebagai Pahlawan Buruh Nasional, dengan mengajukannya secara resmi ke pemerintah untuk memperoleh gelar kepahlawanan nasional. Untuk itu kami telah membentuk Solidaritas Nasional untuk Marsinah (SNM) guna pengupayaan gelar dari negara sebagai Pahlawan Buruh Nasional. Marsinah telah menjadi pahlawan bagi buruh dan perempuan, dan masyarakat secara keseluruhan, maka sungguh tepatlah jika pengakuan masyarakat tersebut memperoleh pengakuan resmi negara.

Pada hari ini kami datang ke Menakertrans untuk menindaklanjuti dukungan yang pernah dikemukakan dalam pidatonya setahun yang lalu. Dukungan yang serius kami butuhkan guna memproses pengajuan gelar kepahlawanan Marsinah. Arti kepahlawanan Marsinah sangat tinggi nilainya bagi masyarakat Indonesia yang 70% adalah pekerja/buruh baik di dalam maupun di luar negeri. Marsinah dapat menjadi teladan bagi pekerja/buruh di mana pun berada untuk berani melawan ketidakadilan. Sebab, sampai saat ini ketidakadilan bagi buruh makin menjadi-jadi, eksekusi hukuman pancung bagi Ruyati di Arab Saudi pada Sabtu, 18 Juli 2011, menandaskan perlindungan negara yang sangat lemah terhadap ketidakadilan buruh.

Demikianlah Resolusi kami. Semoga dapat mengingatkan Menakertrans, Muhaimin Iskandar, untuk menindaklanjuti dukungannya terhadap pengusulan gelar pahlawan buruh nasional kepada Marsinah.



Terimakasih



Jakarta, 20 Juni 2011



Koordinator Nasional
Solidaritas Nasional untuk Marsinah (SNM)



(Ruth Indiah Rahayu)



Lampiran



Kronologi Peristiwa Marsinah

· 2 Mei, Marsinah dan aktivis buruh lainnya mengadakan rapat untuk melaksanakan pemogokan kerja demi menuntut kenaikan upah sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur.

· 3 Mei 1993, buruh PT Catur Putra Surya shift 1 sampai dengan shift 3 mogok kerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

· 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

· Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

· Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.

· Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.



Pencarian Keadilan

· Setelah Marsinah ditemukan tewas, pihak Kodim menangkap, menyiksa dan menjatuhkan vonis terhadap sejumlah management PT Catur Putra Surya atas tuduhan telah membunuh Marsinah.

· Pihak management perusahan tersebut naik banding hingga Pengadilan Tinggi, dan kemudian Mahkamah Agung membebaskan mereka

· Terdapat dugaan bahwa penanganan peradilan terhadap pihak managemen tersebut hanya sebuah rekayasa

· Tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM). KSUM adalah komite yang didirikan oleh 10 LSM. KSUM merupakan lembaga yang ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah oleh Aparat Militer.

· Sampai saat ini matinya Marsinah merupakan peristiwa gelap yang belum dapat diketahui siapa pelaku pembunuhnya. Kasus Marsinah dibekukan tanpa tindak lanjut penyelidikan



Penghargaan

· Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1993

· Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.



Solidaritas Nasional untuk Marsinah (SNM)



Sekretariat Jakarta: Jl Siaga I, No 2 B, Pejaten-Pasar Minggu, Jakarta Selatan; Sekretariat Jawa Barat: Jl Ciheulang 2/21, Bandung; Sekretariat Banten: Jl Kalimantan Blok B No 2, Komplek Cimone Permai, Tangerang; Sekretariat Jawa Timur: Jl Lempung Utama no 18A, Lontar-Tandes, Surabaya; Sekretariat Sulawesi Selatan: Jl. Perintis Kemerdekaan, Kompleks SMK Teknologi Komputer Makassar Maju, Tamalanrea, Makassar
Reaksi: 

Kamis, 17 November 2011

Marsinggo - Jalan Baru

Penyebab utama mengapa Indonesia tidak pernah bangkit, walaupun telah memiliki kemerdekaan dan kebebasan politik, adalah karakter feodal dari para pemimpin. Para pemimpin kebanyakan berasal dari kalangan priyayi, tradisional maupun modern, yang merasa tidak punya kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam sistem feodal atau neofeodalisme, kekuasaan berasal dari hubungan biologis dan romantisme historis, dan legitimasi pencitraan semu, di mana rakyat hanya diperlukan pada saat pemilu dan sekedar penggembira. Dalam budaya feodal/neofeodalisme ini, pemimpin tidak memiliki kewajiban sakral, tidak memiliki noblesse oblige dan tidak memiliki semangat bushido untuk berjuang dan berkorban guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsanya.

Di negara-negara yang maju di Asia Timur, para pemimpinnya memiliki kewajiban sakral dan semangat bushido untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, baik karena alasan ideologis (China), semangat nasionalisme dan kemandirian (Jepang dan Malaysia), dan alasan survival (Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan).

 ***

Alasan kedua, mengapa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyatnya adalah karena adanya the creeping back of neocolonialism atau kembalinya neokolonialisme. Para pejuang kemerdekaan kita sejak tahun 1908 dan para pendiri Republik Indonesia, berjuang dan berkorban melawan berbagai bentuk imperialisme dan kolonialisme. Bung Karno dalam pidatonya di depan Pengadilan Negeri Bandung tahun 1930 (“Indonesia Menggugat”) dan Bung Hatta dalam bukunya “Indonesie Vrij” secara rinci menjelaskan bahaya dan kerusakan yang diakibatkan oleh sistem imperialisme dan kolonialisme. Karena perjuangannya, Bung Hatta ditahan dan diadili di Negeri Belanda, Bung Karno bahkan pernah dipenjara selama beberapa tahun di Penjara Sukamiskin, Bandung.

Dalam kurun yang lebih pendek, hanya satu tahun, dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pengorbanan para pejuang kemerdekaan, saya diberikan kesempatan oleh sejarah, ditahan di penjara Sukamiskin karena menentang rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1978/1979.

Kembalinya neokolonialisme tersebut dipersiapkan secara matang oleh kekuatan di luar Indonesia sejak akhir tahun 1950-an, dan dibantu oleh orang Indonesia sendiri, yaitu kelompok ekonom Mafia Berkeley atau Mafia Orde Baru. Sangat memprihatinkan ternyata puluhan tahun kemudian, kolonialisme itu kembali dalam bentuk yang baru dan bahkan dengan sengaja dibantu oleh orang-orang Indonesia sendiri yang membuka pintu bagi penetrasi neokolonilisme.

Pada saat Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Belanda, Soekarno-Hatta menyetujui pembayaran utang Hindia Belanda oleh Indonesia, asalkan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Tetapi persetujuan itu hanya taktik, karena dalam kenyataannya pemerintah Soekarno-Hatta tidak pernah melaksanakan pembayaran utang tersebut karena bertolak belakang dengan prinsip keadilan.

Namun sangat disayangkan, setelah Soekarno jatuh, pemerintah Orde Baru melalui Mafia Berkeley melakukan negosiasi ulang tentang utang-utang Indonesia pada tahun 1969. Mereka sepakat untuk mencicil utang warisan pemerintah Hindia Belanda. Artinya, mereka sepakat untuk membayar biaya penjajahan pemerintah Hindia Belanda, termasuk untuk menumpas gerakan-gerakan perlawanan para pahlawan seperti Cik Ditiro dan rakyat Aceh, oleh Pattimura dan rakyat Ambon dan biaya untuk menindas rakyat Indonesia.

Sejak saat itulah, tidak peduli siapa Presidennya, siapa partai yang berkuasa, Mafia Ekonom Orde Baru dengan sengaja mendesain kebijakan ekonomi Indonesia sekedar menjadi subordinasi dan alat dari kepentingan internasional. Itulah yang kami sebut sebagai neokolonialisme.

Padahal Indonesia merupakan negeri yang sangat kaya, baik dari segi sumber daya alam, keragaman budaya dan sumber daya manusia. Indonesia memiliki banyak sekali cawan-cawan emas (golden bowls) dalam bentuk kekayaan sumber daya alam bernilai ratusan miliar dolar. Tetapi karena para pemimpinnya bermental orang terjajah (inlander), cawan-cawan emas itu cuma dipakai untuk mengemis uang pinjaman recehan kepada lembaga multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Uang pinjaman harus “ditukar” dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang sesuai dengan garis neoliberal dan kebijakan Washington Consensus -- kebijakan yang dirancang oleh IMF-Bank Dunia untuk kepentingan negara-negara maju. Undang-Undang Migas, Undang-Undang Privatisasi Air dan Undang-Undang Privatisasi BUMN adalah contoh Undang-Undang yang dibuat dengan iming-iming uang pinjaman dari lembaga multilateral. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi Indonesia telah “diijonkan” dan “digadaikan” demi uang pinjaman. Tidak ada lagi kedaulatan dalam bidang ekonomi. Itulah bentuk baru dari neokolonialisme.

***

Penyebab ketiga mengapa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat dan semakin tertinggal dari negara lain adalah kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif. Kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif tersebut adalah cerminan dari visi dan karakter yang lemah, sehingga mudah goyang dan berubah-ubah hanya karena adanya perubahan kepentingan taktis, perubahan opini, dan respons pencitraan situasional.

Kita telah berulang kali menggantungkan harapan pada janji-janji para pemimpin, namun kita juga telah berulang kali kecewa karenanya. Ketika berkampanye, calon-calon pemimpin dengan bersemangat menyatakan pro-rakyat, pro-peningkatan kesejahteraan dan pro-kepentingan nasional. Tetapi begitu mereka terpilih untuk berkuasa, pemimpin-pemimpin tersebut langsung “balik badan” untuk kemudian merangkul kembali pikiran-pikiran lama dan oligarki lama yang tidak akan pernah membawa rakyat Indonesia lebih sejahtera dan bangsa kita menjadi bangsa besar di Asia.

Begitu berkuasa, “perubahan dan terobosan” ke arah yang lebih baik segera ditukar dengan “kesinambungan dan stabilitas status quo”. Dengan demikian, mereka hanya sekedar meneruskan “Jalan Lama” yang selama 40 tahun telah mengantarkan Indonesia menjadi negara gagal (failed state) dan sekedar menjadi subordinasi kepentingan internasional. Hasil akhirnya, bukan projobs (peningkatan lapangan kerja), bukan progrowth (pertumbuhan), dan bukan propoor (pengentasan kemiskinan), melainkan  “prosotan” (kemerosotan) kesejahteraan rakyat.

Indonesia gagal menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun didukung rezim otoriter selama 32 tahun. Selain ketinggalan dari segi pendapatan per kapita, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, serta memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh. Padahal negara-negara seperti Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, China, dan Thailand tidak memiliki sumber daya alam yang besar seperti Indonesia.

Di bawah pengaruh dan kekuasaan Mafia Ekonom Orde Baru, utang yang besar dan habisnya kekayaan alam dan hutan yang rusak, ternyata hanya menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$ 1.000 dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat minimal serta ketergantungan mental maupun finansial terhadap utang luar negeri.

Jika “Jalan Lama” yang terbukti gagal tersebut diteruskan, jangan bermimpi bahwa mayoritas rakyat Indonesia akan sejahtera dan Indonesia akan menjadi bangsa besar di Asia. Tidak usah berharap Indonesia akan menjadi The Next Malaysia atau The Next Korea atau bahkan The Next China. Tetapi justru sebaliknya, besar kemungkinan Indonesia hanya akan menjadi The Next Filipina. Hanya Indonesia dan Filipina yang selalu mengikuti dengan patuh resep-resep gagal ala Washington Consensus, di samping negara-negara di Amerika Latin pada tahun 1970-2000.

Negara-negara Asia Timur yang mampu tumbuh tinggi (double digit), berhasil menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, justru mengambil jalan yang tidak selalu sejalan, bahkan sering bertentangan dengan Washington Consensus. Pertanyaannya, masihkah ada harapan untuk meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat kita dan membawa Indonesia menjadi salah satu negara besar di Asia? Apakah jika ada pemimpin baru otomatis akan terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dan Indonesia akan menjadi negara besar di Asia?

Pemimpin baru yang memiliki karakter dan visi yang kuat dan kepemimpinan yang efektif jelas sangat dibutuhkan. Tetapi jika pemimpin baru tersebut tetap menempuh “Jalan Lama”, jalan yang telah gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat selama 40 tahun, maka akhirnya rakyat akan kembali “dikhianati” dan “ditinggalkan” hanya untuk menyenangkan kelompok status quo, oligarki lama, dan kepentingan penguasa Adidaya. Pemimpin baru dengan “Jalan Lama” hanyalah pemimpin yang akan memperkokoh neokolonialisme, memicu proses kemerosotan dan kemiskinan struktural.

Tanpa “Jalan Baru”, pemimpin baru tidak lebih dari sekedar pengendara mobil bekas yang akan berlomba di sirkuit balap dunia Formula-1 di Asia Timur yang sangat kompetitif.

Komite Bangkit Indonesia dibentuk untuk memperjuangkan “Jalan Baru”, jalan anti neokolonialisme, jalan yang lebih mandiri, yang akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan mayoritas rakyat Indonesia.

Kedaulatan ekonomi harus kita rebut. Sebagai negara berdaulat, Undang-Undang dan kebijakan ekonomi tidak akan kita “gadaikan” dan “ijonkan” demi utang recehan. Hanya dengan kedaulatan dan kemandirian, kita akan berdaulat dalam bidang pangan dan energi, serta menarik manfaat sebesar-besarnya dari kekayaan sumber daya alam, keragaman budaya, dan sumber daya manusia Indonesia.

“Jalan Baru” adalah jalan yang akan berlandaskan pada kebhinekaan, keragaman budaya, dan pluralisme. Dengan landasan itu, Komite Bangkit Indonesia akan mendorong renaissance kebudayaan Indonesia sehingga tercipta suatu masyarakat yang lebih kreatif dan inovatif (innovative and creative society), bukan hanya sekedar masyarakat terbuka (open society) yang sering hanya menjadi korban dari globalisasi. Masyarakat yang lebih kreatif dan inovatif akan mampu menarik manfaat sebesar-besarnya dari kekuatan dan kejayaan masa lalu, serta menarik pengalaman dan manfaat dari kebudayaan antar bangsa.

Masyarakat yang lebih kreatif dan inovatif hanya mungkin terbentuk melalui pembaharuan dan perbaikan kualitas pendidikan formal maupun informal. Kebangkitan Jepang (reformasi Meiji), kebangkitan Korea, Malaysia, dan China dimulai dengan investasi besar-besaran dalam sumber daya manusia. Merekalah yang kemudian menjadi motor dari perubahan, kemajuan dan kebangkitan negara-negara tersebut. Mereka kemudian didukung dengan sistem yang sangat kompetitif di dalam negeri, tetapi saling mendukung ketika menghadapi persaingan global. Dalam kaitan itu, akses terhadap pendidikan yang berkualitas harus terbuka terhadap semua lapisan masyarakat yang cerdas dan potensial, tidak hanya bagi kelompok yang mampu.

Komite Bangkit Indonesia akan berjuang agar demokrasi Indonesia membawa manfaat bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bukan hanya sekedar demokrasi “pilih-memilih” (prosedural). Akibat pilihan “Jalan Lama” yang terbukti gagal dan kelemahan kepemimpinan pasca reformasi, anasir-anasir lama dan status quo ingin mencoba mendaur ulang sistem otoriter dengan iming-iming peningkatan kesejahteraan. Iming-iming tersebut hanya ilusi dan fatamorgana karena pengalaman di bawah sistem otoriter, Indonesia justru ketinggalan dibandingkan negara Asia Timur lainnya, memiliki distribusi pendapatan yang paling timpang, stok utang paling besar serta memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh.

Komite Bangkit Indonesia tidak akan membalikkan putaran jarum sejarah, karena daur ulang sistem otoriter hanyalah ilusi yang sangat menyesatkan. Komite Bangkit Indonesia akan melawan setiap upaya untuk mengembalikan sistem otoriter, dan justru sebaliknya, akan memperjuangkan agar demokrasi semakin kokoh dan membawa manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Komite Bangkit Indonesia akan memperjuangkan penegakan hukum yang adil, tanpa pilih kasih, serta berpihak kepada kepentingan publik dalam hal pemberantasan KKN, penegakan Hak Asasi Manusia, dan pelestarian lingkungan. Dalam kaitan dengan itu, Komite Bangkit Indonesia menilai bahwa reformasi birokrasi, bukan hanya sekedar kenaikan gaji – tetapi juga mencakup perbaikan sistem rekrutmen, struktur insentif, sanksi hukum dan administratif, serta sistem promosi dan training. Semua itu merupakan prasyarat utama untuk meningkatkan efektivitas pemerintah dan melawan korupsi dan nepotisme.

***

Komite Bangkit Indonesia akan menentang dominasi negara yang melahirkan sistem dan pemerintahan otoriter. Namun pada saat yang bersamaan, Komite Bangkit Indonesia menentang dominasi sektor swasta yang dapat menciptakan monopoli/oligopoli baru dalam bidang ekonomi. Dominasi sektor swasta yang oligopolistik sama berbahayanya dengan dominasi negara, terutama dalam hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Neoliberalisme dan fundamentalisme pasar bebas tidak ada tempatnya dalam “Jalan Baru” kebangkitan Indonesia. Ekonomi pasar bebas harus diimbangi dengan dukungan sistem sosial bagi yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan cita-cita founding fathers Republik Indonesia.

Dengan memanfaatkan momentum 100 tahun kebangkitan Indonesia (1908-2008), Komite Bangkit Indonesia akan melakukan rangkaian program penyadaran, diskusi publik, dengar pendapat dengan meninggalkan “Jalan Lama” yang telah gagal setelah 40
tahun, menuju “Jalan Baru” kebangkitan Indonesia. Rangkaian program tersebut akan mencakup berbagai bidang, termasuk ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan.

Marilah kita hapuskan segala bentuk neokolonialisme dari bumi Indonesia!
Tinggalkan “Jalan Lama”, yang gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan!
Kita rebut kembali kedaulatan politik dan ekonomi!
Hanya dengan “Jalan Baru”, kemakmuran dan kesejahteraan akan kita capai!
Hanya dengan “Jalan Baru”, Indonesia akan segera bangkit