Tampilkan postingan dengan label bbm. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bbm. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 April 2012

PKS Menghitung Hari


JAKARTA -- Sikap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berbuah isu pemecatan dari koalisi Sekretariat gabungan (Setgab). Staf Khusus Presiden Daniel Sparingga mengatakan PKS tinggal menunggu waktu saja.

Menurutnya, tidak ada isu rumit tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, karena semua anggota setgab tahu apa yang sedang terjadi.

"Ini hanya soal waktu saja sampai akhirnya menjadi jelas di depan publik," ujar Daniel Sparingga, melalui pesan singkat, Jumat (6/4).

Menemukan waktu bagi Presiden SBY memang menjadi isu yang penting, karena banyak prioritas lain yang juga menyita perhatiannya. Namun, menurutnya, tidak perlu ada kegelisahan dari pihak mana pun mengenai kejelasan dari status PKS.

Sejak awal semua pihak tahu memelihara posisi yang berseberangan dengan pemerintah merupakan posisi yang penuh paradoks dan kontradiksi, karena PKS merupakan bagian dari koalisi.

"Semua pasti sudah tahu, hal tersebut akan berakhir seperti yang saat ini proses ceritanya sedang kita lihat," jelas Daniel.

Lebih lanjut, ia menyarankan agar proses menunggu waktu itu harus dibiarkan dengan menjaga kehormatan semua pihak yang terlibat. Sehiongga tidak perlu membuat keadaan menjadi lebih buruk.

Rabu, 04 April 2012

Catatan Penting untuk Demonstrasi


ISU kenaikan harga BBM telah berhasil membuat tegang suasana Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh guncangan gelombang demonstrasi dengan segala pernak-perniknya mulai dari pemblokiran jalan hingga keanarkisan. Dampak yang sangat terasa adalah sulitnya banyak warga untuk mengakses jalanan yang menjadi arena demonstrasi. Alasannya bukan sekadar karena jalan yang ditutup, melainkan juga khawatir akan adanya tindakan kekerasan yang dapat membahayakan mereka ketika melintasi arena itu. Bukan fiktif belaka, memang, ketika demonstrasi memanas, alias massa dan petugas kemanan telah sama-sama memijaki titik ricuh, lemparan batu dan peluru akan melayang ke sembarang arah dan jatuh bebas ke mana pun, termasuk pada kendaraan umum dan penumpang di dalamnya. Walhasil, beberapa instansi memulangkan stafnya lebih awal sebelum demo menjadi anarkis, atau bahkan meliburkannya dengan alasan keamanan. Bahkan, tanpa dimungkiri, ada juga orangtua yang melarang anaknya pergi ke sekolah atau kuliah. Demikian, Jakarta di satu sisi menjadi begitu ngeri, menakutkan, akibat demonstrasi yang terjadi.

Mari menilik puncak sementara demonstrasi kenaikan harga BBM pada 30 Maret lalu. Disebut ‘puncak sementara’ karena ada kemungkinan gelombang demo ini bergulir lagi dan mencapai puncak-puncak selanjutnya. Hal itu disebabkan oleh konsekuensi dari keputusan hasil sidang paripurna yang sekadar menunda kenaikan harga BBM dengan bahasa revisi pada pasal 7 UU tentang APBN 2012 dengan penambahan ayat 6a. Pasal 7 ayat 6a tersebut  berbunyi Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu berjalan selama enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, maka pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya’. Ayat ini, seperti dilansir Metro TV, merupakan sebuah tiket bagi pemerintah untuk tetap menaikkan harga BBM.  Jika harga BBM dinaikkan, meskipun diisukan ‘tidak’ kecuali setelah enam bulan ke depan, para demonstran hanya akan merasa dikhianati. Mereka akan merasa apa yang mereka suarakan sama saja tidak didengar, tuntutan mereka tidak ditanggapi. Lantas, demonstrasi pun bisa terjadi kembali, dengan gelombang yang sama, atau bahkan lebih besar lagi. Tentu, misi utama yang dibawa oleh para demonstran adalah membela hak rakyat kecil. Kenaikan harga BBM sangat memengaruhi kenaikan harga kebutuhan lainnya dan berarti akan semakin mempersulit rakyat kecil yang selama ini sudah menderita dalam keterbatasan daya beli. Tiket itu memungkinkan demonstrasi akan terjadi lagi. Jakarta akan kembali menjadi kota yang mengerikan dan menegangkan bagi sebagian penduduknya, terutama yang tidak pro dengan demo.
 
Lalu, apakah demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi agar harga BBM tidak dinaikkan masih diperlukan? Toh, demonstrasi yang kemarin terjadi tidak lantas membuat keinginan mereka, demonstran, lugas dikabulkan. Justru, dampak negatif seperti ketakutan massal dan ketegangan kota kian dirasakan bagi mereka yang tidak terlibat dalam demo.

Jawabnya, ‘YA’, demonstrasi dalam hal menyikapi kebijakan atau dalam rangka menyampaikan aspirasi pada pemerintah masih diperlukan. Ada tiga catatan penting yang perlu dipahami dalam hal ini, yaitu pemahaman bagi pihak yang tidak terlibat atau bahkan kontra demo, pemahaman bagi para pelaku demo, dan bagi pihak yang menjabat sebagai wakil rakyat, petinggi negara, maupun pemerintah Indonesia.

Bagi pihak masyarakat yang tidak terlibat demo, atau bahkan kontra terhadap demo, memiliki kecenderungan negatif menanggapi demo yang terjadi. Aksi para demonstran, terutama yang besar-besaran seperti 30 Maret 2012 lalu hanya membuat mobilitas terganggu, bikin macet. Selain itu, demonstrasi hanya mampu meneriakkan suara ‘perlawanan’ terhadap kebijakan pemerintah seperti “Bela rakyat kecil! Turunkan harga BBM! Turunkan SBY-Boediono!” dan lain sebagainya, tanpa memberikan usulan solusi konkrit kepada pihak yang mereka teriaki. Demonstrasi yang diangap-anggap sebagai jalan penyelesaian masalah krusial malah menyebabkan masalah lain melalui rusaknya pintu tol, merobohkan pagar dan pintu gerbang gedung DPR, membakar kendaraan, dan bermacam aksi keras maupun anarkis lainnya. Demonstran, khususnya mahasiswa, sering dicap telah kehilangan intelektualnya karena melakukan aksi-aksi yang tidak berhubungan dengan materi apa yang sedang diperjuangkan. “Mahasiswa kok main otot. Harusnya otak dong!” Ya, begitulah kira-kira tanggapan pihak yang tidak terlibat, atau bahkan kontra, demonstrasi.

Namun, perlu dipahami bahwasannya demonstrasi merupakan salah satu cara yang efektif dalam menyampaikan aspirasi. Memang, sekilas terkesan sia-sia ketika ternyata hasil tak sebanding dengan kekacauan yang telah disebabkan. Akan tetapi, inilah perjuangan. Demonstrasi memegang fungsi penting sebagai kontrol pemerintah, penggertak pemerintah bahwa ada banyak masyarakat yang menanti keadilan dan siap melawan kesemena-menaan. Meskipun sebagian dari kita menganggap demonstrasi bukan solusi masa kini karena aspirasi bisa disampaikan melalui aksi yang lain semacam tulisan, namun, tulisan pada dasarnya hanyalah aksi individu. Tulisan hanyalah gagasan dan hasil pemikiran yang disampaikan oleh orang per orang. Banyak masyarakat akan membaca, dan mungkin juga presiden dan para pejabat negara. Tapi, tak ada efek yang cukup kuat dari tulisan sebagai penggertak pemerintah. Dalam kasus-kasus ketidakadilan sebuah kebijakan penting, tulisan yang merupakan aksi individu sebaiknya disertai tindakan kebersamaan semacam demonstrasi. Sebab, analogi klasik sebatang lidi berlaku di sini. Sendiri tak akan lebih mampu membersihkan sampah di halaman dibandingkan jika lidi-lidi itu diikat menjadi satu, menjadi sapu.

Mengenai kerugian yang disebabkan oleh demonstran seperi perusakan pagar DPR, harusnya ini justru menjadi bahan telaah kritis bagi kita. Alangkah mudahnya pagar elite milik para pejabat itu dirobohkan. Apakah konstruksi yang digunakan benar-benar kuat? Apakah selama ini korupsi juga terjadi dalam pembiayaan pembuatan pagar dengan menggunakan sebagian kecil saja uang dari anggaran pembetulan pagar dan sisanya dinikmati sendiri. Ya, ini memang sekadar asumsi. Namun, setidaknya kita harus mampu menelaah dengan lebih kritis lagi.

Kepada para pelaku aksi, hendaknya demonstrasi diimbangi dengan aksi nyata lainnya. Demontrasi memang media juang untuk mewujudkan tujuan. Namun, bukan satu-satunya media. Misalnya saja dalam isu kenaikan harga BBM ini, demonstran, khususnya mahasiswa, seharusnya mampu memberikan solusi alternatif bagi rakyat kecil. Contohnya, pemanfaatan sumber daya alam lain untuk bahan bakar, atau peningkatan kualitas sumber daya manusia agar memiliki daya beli yang lebih baik. Dengan demikian, masyarakat tidak akan terpengaruh lagi dengan kenaikan harga BBM karena mereka sudah tidak bergantung padanya, dan mereka sudah memiliki daya beli yang baik. Program ini tentunya tidak mudah karena beraliran ‘pemerataan kesejahteraan’. Oleh karena itu, kita butuh metode aksi besar-besaran. Organisasi, khususnya pemuda dan mahasiswa, yang memiliki cabang di seluruh Indonesia seperi Aliansi BEM Seluruh Indonesia, KAMMI, HMI, dll. menyeragamkan gerakan untuk melakukan upaya tersebut di setiap wilayahnya. Bukan hanya ketika berteriak menantang pemerintah saja yang perlu bersatu, tapi dalam melakukan upaya dan solusi alternatif juga perlu persatuan agar hasilnya maksimal. Dengan kata lain, aksi perlu dimodifikasi, demo dilengkapi aksi nyata yang solutif.

Kepada pemerintah dan pejabat negara, sebaiknya mau dan mampu mendengar apa yang menjadi suara rakyatnya, juga mampu berpihak pada rakyat yang diwakilinya di gedung mewah DPR RI. Jadikan aspirasi rakyat sebagai masukan, kontrol atas kerja yang telah dilakukan. Bersyukurlah bahwa Bapak Ibu Pejabat semua masih memiliki rakyat yang peduli dengan negaranya. Bersikaplah dengan baik karena Bapak Ibu sekalian menjadi sorotan. Bersidanglah dengan kritis namun santun karena Bapak Ibu pun menjadi tontonan rakyat. Jika merasa lelah, ingatlah bahwa rakyat akan tetap mendukung selama Bapak Ibu ada di jalan yang benar. Jangan semena-mena karena demonstrasi bisa terjai kapan saja, kontrol mahasiswa dan rakyat bisa dalam bentuk apa saja. Karena pada Bapak dan Ibu lah kami wakilkan suara kami bagi kesejahteraan Indonesia.

Demonstrasi, sampai kini, masih perlu dilakukan. Sebab, demo merupakan salah satu cara yang efektif sebagai media penyampai aspirasi dan penggertak pemerintah akan kebijakan yang tidak adil. Namun dengan catatan, para demonstran, khususnya mahasiswa, juga harus melakukan aksi besar-besaran dalam bentuk yang lain, yang bersifat peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dan bagi pemerintah, jangan pandang negatif demo yang terjadi karena inilah kontrol bagi kerja Bapak Ibu untuk negara. Demo, tetap perlu dilakukan.

Endang Sriwahyuni
Mahasiswa Sampoerna School of Education
(//rfa)

Minggu, 11 Maret 2012

Marsinggo - Berapa Biaya Produksi Bensin di Indonesia?


Posted on Mei 21, 2008 by A Nizami
Berapa biaya produksi bensin dari memompa dari perut bumi hingga sampai di SPBU/Pom Bensin?

Berikut rincian produksi minyak menjadi bensin dari Statistik Energi Resmi Pemerintah AS

Pada tanggal 12 Mei 2008 biaya Distribusi, Marketing, dan keuntungan US$ 2,52/barrel untuk Branded dan US$ 1,26/barrel untuk NonBranded.
Ada pun Ongkos Pengilangan dan Keuntungan US$ 9,57/barrel untuk Branded dan US$ 10,94/barrel untuk Unbranded. Total biaya pengilangan dan distribusi terendah jadi US$ 10,94/barrel. Ini di AS yang tarif Marketing dan gaji pegawainya puluhan kali lipat dari di Indonesia. Menurut saya di Indonesia harusnya tidak lebih dari US$ 7/barrel.
Untuk Crude oil cost mereka memakai harga NYMEX (Pasar Komoditas New York) saat itu US$ 124,5/barrel

Setelah itu biaya memompa minyak dari dalam bumi menurut BP Migas US$ 1/barrel. Secara kasar jika kita asumsikan biayanya US$ 1-3/barrel maka dengan memakai biaya kilang dan distribusi AS saja biayanya paling mahal US$ 13,4/barrel.

Kwik Kian Gie menghitung biayanya US$ 10/barrel sementara Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy antara US$ 2-12/barrel.

Di AS harga Bensin tanpa pajak per tanggal 12 Mei 2008 Rp 7.960/liter. Ditambah pajak sekitar 16,5% (Rp 1.582/liter) harganya menjadi Rp 9.541/liter.

Dari data lembaga yang sama, pada tahun 2006 konsumsi minyak Indonesia 1,2 juta bph dan produksi 1,1 juta bph. Sehingga sisanya (0,1 juta bph) harus impor. Agar biaya impor lebih murah, akan lebih baik jika Indonesia beli langsung ke negara-negara Timur Tengah ketimbang harus beli dari AS atau Singapura.

Jika ada yang punya link rincian biaya produksi bensin di Indonesia silahkan beri linknya. Kalau bisa situs pemerintah atau media massa yang credible.

Referensi:
http://www.energy.ca.gov/gasoline/margins/index.html
WWW.ENERGY.CA.GOV / GASOLINE / MARGINS

Senin, 05 Maret 2012

Marsinggo - Tolak BBM Naik, Gerindra Galang Kekuatan di DPR

 
 POLITIK - LEGISLATIF
Senin, 05 Maret 2012
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Gerindra di DPR, Ahmad Muzani mengatakan fraksinya sudah beketetapan untuk menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Selain menolak kenaikan harga BBM, Fraksi Gerindra juga memutuskan untuk aktif melakukan lobi menolak kenaikan BBM kepada fraksi-fraksi partai politik di DPR yang tidak tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Pendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

"Gerindra menolak kenaikan harga BBM dan melakukan lobi terhadap fraksi-fraksi di luar koalisi agar juga mengambil sikap serupa," kata Ahmad Muzani, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Senin (5/3).

Menurut Muzani, kalau usulan kenaikan harga BBM diloloskan DPR pasti membawa konsekuensi buruk bagi 135 juta warga negara yang hidup dalam kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp 486 ribu per orang per bulan.

"Jika BBM bersubsidi dicabut hingga harga eceran premium menjadi Rp 6.000, 135 juta warga negara tersebut di atas akan mengalami inflasi antara 15 sampai 20 persen sebagai konsekuensi dari naiknya biaya transportasi 30 persen dan makanan naik 15 persen. Kondisi ini sangat mencekik kelompok masyarakat dengan penghasilan Rp486 ribu per orang per bulan," ujarnya.

Ahmad Muzani mengatakan wacana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang akan dinaikan menjadi Rp150 ribu per KK per bulan selama sembilan kepada 17,5 KK (sekitar 70 juta jiwa) dipastikan tidak akan banyak menolong karena ada sekitar 65 juta jiwa yang tidak masuk dalam daftar dengan hidup semakin tercekik.

Ia lantas membandingkan subsidi BBM dengan alokasi belanja birokrasi dalam tujuh tahun terakhir. "Kenaikan belanja birokrasi membengkak 400 persen dari Rp187 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp733 triliun dalam APBN 2012," ujar Muzani.

Padahal, lanjutnya, jumlah birokrasi Indonesia itu hanya sekitar 4,6 juta orang. Artinya setiap aparat birokrasi dapat porsi belanja di APBN sebesar lebih dari Rp150 juta per tahun.

Sementara subsidi BBM dalam tahun 2005 hingga 2012 hanya naik sekitar 29 persen. "Pada 2005 subsidi BBM di APBN berjumlah Rp95,6 triliun dan menjadi Rp123,6 triliun pada tahun 2012. Ini sebuah fakta yang sangat menyakiti kita semua karena naiknya belanja birokrasi itu hanya akan dinikmati oleh sekitar 4,6 juta birokrat, imbuhnya. (fas/jpnn)