Tampilkan postingan dengan label pertahanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pertahanan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 Juni 2012

The War & Peace Show



UNTIL 7.30am on D-Day, Vic Longhurst (left),  who now lives at Orpington, Kent, had never been in action. Not yet 18, he had never really been to sea, until the Landing Craft Tank, on which he served, headed off across the Channel towards Juno Beach.
As the door went down and the vessel's cargo of tanks and Canadian infantrymen streamed ashore, all hell had broken loose.
Although he was a signalman, Vic was helping out on one of the landing craft's guns as they approached the beach.
"I noticed there was no No.2 on the gun, which made it difficult for the gunner to reload," he said. "When I reported that to the FO he said: ‘Well go down and do your best for me.'
"Heavy machine gun fire was being aimed at the bridge and the gun was alongside the bridge. I was behind the gun shield, but bullets were hitting the wheelhouse and ricocheting back. I got wounded in the right arm and a number of other places.
"The Coxswain inside the wheelhouse was killed instantly by a bullet through his head.
"On the way in we had hit a mine. I didn't know this at the time. It meant they couldn't lower the door in the normal way and had to let it down by hand."
Vic went back up to the wheelhouse and stood astride the coxswain's body to replace him at the wheel, as the craft backed off the beach.
On the day before D-Day he very nearly missed the boat altogether. As signalman he was sent from Southampton, where they were moored waiting to cross, to pick up some important messages. It was pouring with rain when he arrived back, and the LCT was no longer at its mooring.
The vessel had gone for some last minute repairs, and Vic had a long walk in pouring rain to find it.
"I was soaking wet and I'd had no food all day," he said. "The old man told me to go below and get some dry clothes but as I reached the hatchway, the vessel's intercom sounded ‘action stations', so I had to return to the bridge".
All the way across he was relaying messages by Aldis lamp, but only in the direction of the English coast, so the light would not be seen by the enemy. The messages went from ship to ship, but there was no way signallers in the leading ships could know if their messages had been picked up by vessels further back.vic_photographs_bring_back_memories_for_vic_longhurst_r.jpg
After the landing, and once the craft was out of harm's way, Vic was taken off to a Liberty ship to have his wounds dressed. He remembers feeling upset because regulations stipulated that the coxswain had to be buried at sea. "It would have been no problem to take him back to England for a proper burial," he said.
After recovering in hospital and being moved from one unit to another, Vic shipped to the Far East and helped with mopping up operations after the Japanese capitulated. On his return he toyed with the idea of signing on to continue his career with the Navy. Instead he demobbed, and found work in the building trade.
 

Senin, 11 Juni 2012

Amanat Presiden kepada rakyat Indonesia


.

 
Melacak Warisan Budaya Cina Di Lasem
Oleh : Titiek Suliyati


I.       Pendahuluan

Nama Lasem sudah terkenal dari sejak pertengahan abad XIV. Pertama tercatat sebagai kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit, yang diperintah oleh seorang ratu kerabat raja Hayam Wuruk yaitu Ratu Dewi Indu atau lebih dikenal dengan Bhre Lasem.[1] Kedua, Lasem sering disebut sebagai miniatur negeri Cina karena di sana terdapat beberapa kelenteng dan rumah-rumah  dengan arsitektur khas Cina dan aktivitas budaya masyarakatnya yang masih kental dengan pengaruh budaya Cina. Ketiga, masyarakat Cina di Lasem yang jumlahnya cukup besar mampu berasimilasi dan beradaptasi dengan masyarakat setempat dan  etnis lainnya serta mampu menciptakan karya-karya budaya yang khas.
            Terbentuknya komunitas Cina di Lasem melalui proses sejarah yang panjang. Diawali dengan hubungan dagang antara kerajaan Cina dengan kerajaan-kerajaan di  Indonesia pada sekitar awal abad ke-5 Masehi[2]. Hubungan dagang ini tentu melibatkan kota-kota pesisir yang ada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan yang berkuasa saat itu. Kota-kota di pesisir utara Jawa yang menjadi tempat persinggahan dan pemukiman para pedagang Cina  yang paling awal antara lain Tuban, Lasem, Rembang, Jepara, Demak, Semarang, Banten, Jakarta dan lain sebagainya[3].  Pada masa pemerintahan dinasti Ming yang berlangsung tahun 1368 – 1643, orang Cina dari Yunnan semakin banyak yang melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah di luar Cina termasuk Indonesia dengan tujuan untuk melakukan perdagangan. Pada perkembangannya kemudian kekuasaan Dinasti Ming berusaha memasukkan wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia dalam wilayah protektoratnya. Salah seorang yang mendapat mandat untuk memimpin armada  laut untuk melakukan perjalanan ke Indonesia adalah Cheng Ho. Dari tujuh kali pelayarannya ke Indonesia, Cheng Ho melakukan enam kali pelayaran ke Jawa.
Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia  pada umumnya dan di wilayah pesisir utara Jawa khususnya, sebagian besar berasal dari   propinsi  Fukien/Fujian dan Kwang Tung. Mereka ini terdiri dari berbagai  suku bangsa yaitu Hokkian, Hakka, Teociu dan Kanton. Mereka  mempunyai bidang keahlian yang berbeda-beda, yang nantinya  dikembangkan di tempat baru (Indonesia). Orang Hokkian merupakan orang Cina yang paling awal dan paling besar jumlahnya  sebagai imigran. Mereka mempunyai budaya dan tradisi dagang yang kuat sejak dari daerah asalnya. Orang Teociu  yang berasal dari daerah pedalaman Swatow di bagian timur propinsi Kwantung mempunyai keahlian di bidang pertanian, sehingga mereka banyak tersebar di luar Jawa. Orang  Hakka/Khek  berasal dari daerah yang tidak subur di propinsi Kwang Tung, sehingga mereka berimigrasi karena kesulitan hidup. Di antara orang-orang Cina yang datang ke Indonesia mereka merupakan golongan yang paling miskin. Orang-orang Hakka dan orang-orang Teociu sebagian besar bekerja di daerah-daerah pertambangan di Indonesia seperti Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Sumatra. Perkembangan kota-kota besar di Jawa seperti kota Jakarta dan dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Cina telah menarik minat orang-orang Hakka dan Teociu untuk pindah ke Jawa Barat [4].  Pada perkembangannya kemudian mereka menyebar dan menetap di kota-kota lain di Jawa. Orang Kanton yang mempunyai keahlian di bidang pertukangan dan industri datang ke Indonesia dengan modal finansial dan ketrampilan yang cukup, sehingga di tempat yang baru mereka dapat mengembangkan usaha di bidang pertukangan, industri, rumah makan, perhotelan dan lain sebagainya [5].
Selain suku-suku tersebut di atas, ada beberapa suku dari Cina yang lain dalam jumlah kecil seperti Ciangcu, Cuanciu, Hokcia, Hai Lu Hong, Hinghua, Hainan,  Shanghai, Hunan, Shantung, tersebar diberbagai daerah di Indonesia [6].  Ada beberapa suku yang walaupun jumlahnya kecil, tetapi menyebar  hampir di  setiap kota di Jawa yaitu suku Kwangsor, Hokchins dan Hokcia. Mereka ini mempunyai keahlian berdagang, sehingga di tempat yang baru mereka menguasai perdagangan tingkat menengah [7]. Masyarakat Cina Lasem diperkirakan sebagaian besar berasal Kabupaten Zhangzhou, propinsi Fujian, karena pemujaan pada beberapa tokoh yang dimuliakan di kelenteng-kelenteng tersebut mengikuti tata cara pemujaan seperti di kelenteng-kelenteng di propinsi Fujian.
Sejarah panjang keberadaan masyarakat Cina di Lasem memberikan warna dan keunikan terhadap bentuk dan struktur kota Lasem. Demikian pula adaptasi masyarakat Cina Lasem dengan penduduk setempat maupun dengan penduduk dari etnis lain telah memberi warna  terhadap budaya dan aktivitas masyarakat Cina khususnya dan masyarakat Lasem pada umumnya. Tulisan ini mengupas tentang perkembanagn budaya Cina di Lasem yang memiliki keunikan yang dapat dijadikan sebagai identitas daerah.