Putra Gobah: Negera Merdeka: Pekikan tangis sedu sedan menyeruak telinga . Hati tergetar menyaksikan layar kaca . Gubuk mereka digusur tangan berkuasa . Tiada punya ...
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 02 Februari 2013
Negera Merdeka
Putra Gobah: Negera Merdeka: Pekikan tangis sedu sedan menyeruak telinga . Hati tergetar menyaksikan layar kaca . Gubuk mereka digusur tangan berkuasa . Tiada punya ...
Kamis, 21 Juni 2012
PEREMPUAN PEREMPUAN ACEH TEMPO DULU YANG PERKASA
Perempuan millenium Indonesia masih berjuang menegakkan kesamaan haknya – yang terinspirasi oleh “gerutuan” R.A. Kartini. Namun, 7 abad lalu perempuan Aceh telah menikmati hak-haknya sebagai manusia yang setara tanpa perdebatan.
Di Matangkuli, Kecamatan Minye Tujoh,Aceh Utara, terdapat sebuah makam kuno yang nisannya bertuliskan bahasa Arab dan Jawa Kuno. Di nisan itu, tertoreh nama Ratu Ilah Nur yang meninggal tahun 1365. Siapa Ilah Nur ? Ilah Nur adalah seorang Ratu yang memerintah Kerajaan Pasai. Keterangan itu juga terdapat dalam kitab Negara Kertagama tulisan Mpu Prapanca dan buku Hikayat Raja-Raja Pasai. Tidak banyak keterangan yang didapat oleh peneliti tentang masa pemerintahan Ratu Ilah Nur ini.
Perempuan Aceh memang luar biasa.Mereka mampu mensejajarkan diri dengan kaum pria. Bahkan, dalam peperangan pun, yang biasanya dilakukan kaum pria, diterjuni pula.Mereka menjadi komandan, memimpin ribuan laskar di hutan dan digunung-gunung. Para perempuan Aceh berani meminta cerai dari suaminya – bila suaminya berpaling muka kepada Belanda. Kaum pria Acehpun bersikap sportif. Mereka dengan lapang hati memberikan sebuah jabatan tertinggi dan menjadi anak buahnya. Diantara mereka menjadi amat dikenal bahkan melegenda, seperti Cut Nayk Dien, Laksamana Kumalahayati, dan sebagainya.
Beberapa preode, Kerajaan Aceh Besar yang berdaulat, pernah dipimpin oleh perempuan. Selain Ratu Ilah Nur,ada Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah. Sementara yang terjun ke medan pertempuran, ada Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren dan Pocut Meurah Intan. Ada pula yang menjadi ullebalang (penguasa lokal).
Ratu Nahrasiyah
Dr.C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang demikian indah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai di AcehUtara. Makam yang terbuat dari pualam itu, adalah makam Nahrasiyah,seorang Ratu, putri dari Sultan Zain al-Abidin. Ia memerintah lebih dari 20 tahun. Nama Sultan Zain al-Abidin dalam berita –berita Tiongkokdikenal dengan Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti Ming (1368-1643)menyebutkan, Ratu ini mengirimkan utusan-utusannya yang ditemani olehsida-sida China Yin Ching kepada mahararaja China, Ch’engtsu(1403-1424). Pada tahun 1415 Laksamana Cheng Ho dengan armadanya datang mengunjungi Kerajaan Samudera Pasai. Ratu yang dimaksud dalam berita China itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah.
Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675)
Bersyukur bahwa catatan tentang Sultanah Safiatuddin Syah cukup banyak sehingga dapat memberikan gambaran yang memadai tentang kiprahnya memimpin.Syafiatuddin Syah lahir tahun 1612 dan anak tertua Sultan Iskandar Muda. Puteri Syafiatuddin gadis yang rupawan, cerdas dan berpengetahuan. Setelah dewasa, dia dinikahkan dengan Iskandar Thani,putera Sultan Pahang yang dibawa ke Aceh setelah dikalahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama 35 tahun(1641 – 1675), pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC dengan Potugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab. Ia meninggal 23 Oktober 1675.
Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah
Sultanah Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syah. Hal penting dan fundamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melakukan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Acehdan Adat Meukuta Alam. Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam negari-negari yang terbagi Tiga Sagi itu. Untuk situasi sekarang, sistem pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah. Masa pemerintahannya singkat(1675-1678).
Ratu Inayat Zakiatuddin Syah
Naqiatuddin Syah meninggal, digantikan oleh Inayat Zakiatuddin Syah. Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya ditolak Ratu dengan mengatakan,Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri. Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama El. Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Ratu meninggal 3 Oktober 1688, lalu ia digantikan oleh Kamalat Zainatuddin Syah.
Ratu Kamalat Zainatuddin Syah
Silsilah ratu ini tidak banyak diketahui. Ada dua versi tentang asal usulnya.Perkiraan pertama ia anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan lain pihak mengatakan ia adik Ratu Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga. Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja, adalah Panglima Sagi. Ia turun tahta pada bulan Oktober1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjungan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, East IndianCompany.
Cut Nyak Dien
Nama Cuk Nyak Dien bagai sebuah legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup atau mati di hutan belantara dari pada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai sesuap nasipun. Ia melakukan itu selama 6 tahun. Ia lahir tahun 1848. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan bangsawan. Cut Nyak Dien aktif di garis depan. Akibatnya ia jarang berkumpul dengan suami dan anaknya. Persembunyian Cut Nyak Dien ditemukan oleh Belanda. Dalam keadaan buta dan lemah, ia ditangkap.Dengan tandu, Cut Nyak Dien dibawa oleh pasukan Belanda. Tanggal 11Desember 1906, Pemerintah Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien dan kemanakannya ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 9 November 1908 ia meninggal.
Cut Meutia
Memegang pedang yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, rambut terurai, tanpa ada keraguan sedikit pun, Cut Meutia menyongsong pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mosselman. Satu peluru di kepala dan dua di tubuhnya merubuhkan wanita yang digambarkan berparas cantik, kulit kuning berambut panjang. Ia tewas tangal 25 Oktober 1910 di hulu Sungai Peutoesetelah pengejaran yang melelahkan oleh pasukan elit Belanda. Cut Muetia lahir tahun 1870. Ayahnya, Teuku Ben Daud, seorang uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ibunya bernama Cut Jah. Pesonanya sesuai dengan namanya Muetia yang diartikan mutiara. Ia menikah dengan Teuku Syamsarif seorang uleebalang tahun1890 dalam sebuah pernikahan yang agung sebagai anak uleebalang.Bercerai dari suaminya, gelora jiwanya terlepas bebas sudah. Ia punikut bergerilya bersama ayah dan saudara-saudaranya. Kemudian iadinikahkan dengan Teuku Cut Muhammad (Chik Tunong) dan barulah ia benar-benar ikut angkat senjata.
Pocut Baren
Pocut Baren lahir di Tungkop. Ia putri seorang uleebalang Tungkop bernama Teuku Cut Amat. Daerah uleebalang Tungkop terletak di Pantai Barta Aceh. Suaminya juga seorang uleebalang yang memimpin perlawanan di Woyla. Pocut Baren merupakan profil wanita yang tahan menderita,sanggup hidup waktu lama dalam pengembaraan di gunung dan hutan belantara mendampingi suaminya. Ia disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga musuh. Ia berjuang sejak muda dari tahun 1903 hingga tahun1910. Ia memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut NyakDien ketika masih aktif dalam perjuangan. Suatu penyerangan besar-besaran dibawah pimpinan Letnan Hoogers, meluluh lantahkankan benteng pertahanan Pocut Baren. Kaki Pocut Baren tertembak dan ia dibawa ke Meulaboh. Sebagai penghargaan atas dirinya, Belanda menghadiahkan sebuah kaki palsu untuknya yang didatangkan khusus dariBelanda. Ia wafat tahun 1933.
Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan seorang puteri bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh.Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Ia menikah dengan Tuanku Abdul Majid, salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh,yang gigih menantang kehadiran Belanda. Belanda mencatat, bahwa PocutMeurah salah satu figur dari Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda.Dalam laporan kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1905, sampai tahun1904 satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti Belanda adalah Pocut Meurah Intan.
Intensitas patroli Belanda yang semakin meningkat, membuat Pocut Meuran Intan bersama kedua putranya tertangkap marsose. Namun sebelum tertangkap, ia masih melakukan perlawanan yang mengagumkan pihak lawan. Ia mencabut rencongya menyerbu brigade tempur Belanda. Terbaring di tanah digenangi darah dan lumpur, Veltman mengira ia tewas lalu meninggalkannya. KataValtman, biar dia meninggal ditangan bangsanya sendiri. Pocut Meuran Intan ternyata masih hidup. Ia diselamatkan. Valtman, pemimpin pasukanBelanda yang berpengalaman dan baik hati, menyebutnya sebagai heldhaftig (gagah berani). Veltman kemudian mengirim dokter untuk merawat luka-lukanya. Pocut Meurah Intan yang pincang dengan kedua putranya 6 Mei 1905 kemudian diasingkan ke Blora, Jawa. Pada 19 Septembar 1937 Pocut Meurah Intan meninggal. (Wanita Utama Aceh / Rizal Bustami) (http://kabarinews.com/)
Jumat, 15 Juni 2012
The War & Peace Show
UNTIL 7.30am on D-Day, Vic Longhurst (left), who now lives at Orpington, Kent, had never been in action. Not yet 18, he had never really been to sea, until the Landing Craft Tank, on which he served, headed off across the Channel towards Juno Beach.
As the door went down and the vessel's cargo of tanks and Canadian infantrymen streamed ashore, all hell had broken loose.
Although he was a signalman, Vic was helping out on one of the landing craft's guns as they approached the beach.
"I noticed there was no No.2 on the gun, which made it difficult for the gunner to reload," he said. "When I reported that to the FO he said: ‘Well go down and do your best for me.'
"Heavy machine gun fire was being aimed at the bridge and the gun was alongside the bridge. I was behind the gun shield, but bullets were hitting the wheelhouse and ricocheting back. I got wounded in the right arm and a number of other places.
"The Coxswain inside the wheelhouse was killed instantly by a bullet through his head.
"On the way in we had hit a mine. I didn't know this at the time. It meant they couldn't lower the door in the normal way and had to let it down by hand."
Vic went back up to the wheelhouse and stood astride the coxswain's body to replace him at the wheel, as the craft backed off the beach.
On the day before D-Day he very nearly missed the boat altogether. As signalman he was sent from Southampton, where they were moored waiting to cross, to pick up some important messages. It was pouring with rain when he arrived back, and the LCT was no longer at its mooring.
The vessel had gone for some last minute repairs, and Vic had a long walk in pouring rain to find it.
"I was soaking wet and I'd had no food all day," he said. "The old man told me to go below and get some dry clothes but as I reached the hatchway, the vessel's intercom sounded ‘action stations', so I had to return to the bridge".
All the way across he was relaying messages by Aldis lamp, but only in the direction of the English coast, so the light would not be seen by the enemy. The messages went from ship to ship, but there was no way signallers in the leading ships could know if their messages had been picked up by vessels further back.

After the landing, and once the craft was out of harm's way, Vic was taken off to a Liberty ship to have his wounds dressed. He remembers feeling upset because regulations stipulated that the coxswain had to be buried at sea. "It would have been no problem to take him back to England for a proper burial," he said.
After recovering in hospital and being moved from one unit to another, Vic shipped to the Far East and helped with mopping up operations after the Japanese capitulated. On his return he toyed with the idea of signing on to continue his career with the Navy. Instead he demobbed, and found work in the building trade.
Selasa, 12 Juni 2012
Kontroversi kaum Paderi :Jika bukan karena Tuanku nan Renceh
Keterangan foto: Benteng Fort de Kock di Bukittinggi (1826). Seorang panglima Paderi dengan pedang dan al-Qur'an dalam kantong kain yang digantungkan di leher mengawasi benteng itu dari kejauhan.
Sumber: H.J.J.L. Ridder de Stuers, De vestiging en uitbreiding den Nederlanders ter Westkust van Sumatra, Deel 1, Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849: menghadap hlm. 92
Oleh Suryadi
Masyarakat Minangkabau masa lampau pernah merasakan pengalaman pahit akibat radikalisme agama. Di awal abad ke-19, demikian catatan sejarah, dekadensi moral masyarakat Minang sudah tahap lampu merah. Golongan ulama kemudian melancarkan gerakan kembali ke syariat, membasmi bid’ah dan khurafat. Mereka melakukannya dengan pendekatan persuasif melalui dakwah dan pengajian. Namun, kemudian muncullah seorang yang radikal dan militan di antara mereka: ia bersama pengikutnya memilih jalan kekerasan. Akibatnya, pertumpahan darah antara sesama orang Minangkabau tak terhindarkan, yang menorehkan lembaran hitam dalam sejarah Minangkabau. Siapa lagi ulama yang radikal itu kalau bukan Tuanku Nan Renceh.
Ingat nama Tuanku Nan Renceh, ingat pada Perang Paderi. Dialah panglima Paderi yang paling militan dan ditakuti. Sosoknya tidak sejelas namanya yang sudah begitu sering disebut dalam buku-buku sejarah. Tak banyak data historis mengenai dirinya. Hanya ada catatan-catatan fragmentris yang terserak di sana-sini. Tulisan ini mencoba merekonstruksi sosok Tuanku Nan Renceh berdasarkan berbagai catatan tersebut, baik yang berasal dari sumber asing (Belanda) maupun dari sumber pribumi sendiri.
Tuanku Nan Renceh berasal dari Kamang Ilia, Luhak Agam. Kurang jelas kapan persisnya ia dilahirkan, tapi pasti dalam paruh kedua tahun 1870-an. Tak ada catatan historis mengenai masa mudanya. Namun, sedikit banyak dapat direkonstruksi melalui satu sumber pribumi, yaitu Surat Keterangan Syekh Jalaluddin (SKSJ) karangan Fakih Saghir, salah seorang ulama Paderi dari golongan moderat (lihat transliterasi SKSJ oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir: Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: DBP, 2002).
Menurut SKSJ (yang ditulis sebelum tahun 1829), di masa remaja Tuanku Nan Renceh, di darek (pedalaman Minangkabau) muncul seorang lama berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Angkat. Banyak orang belajar agama kepadanya, yang datang dari berbagai nagari di Minangkabau, termasuk pemuda (Tuanku) Nan Renceh. Murid-murid Tuanku Nan Tuo yang sebaya dengan Tuanku nan Renceh antara lain Fakih Saghir. Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya yang kontroversial, Tuanku Rao ([Djakarta]: Tandjung Pengharapan, [1964]:129) mengatakan bahwa Tuanku Nan Renceh juga belajar agama Islam ke Ulakan.
Tahun-tahun terakhir abad ke-18 Tuanku Nan Renceh sudah aktif berdakwah bersama sahabatnya, Fakih Saghir. Mereka “berhimpun...dalam masjid Kota Hambalau di nagari Canduang Kota Lawas” (Kratz & Amir: 23). Mereka telah berdakwah selama empat tahun lamanya sebelum kemudian Haji Miskin (salah seorang pencetus Gerakan Paderi) pulang dari Mekah pada tahun 1803 (ibid.:25). Berarti, paling tidak Tuanku Nan Renceh, yang waktu itu masih seorang ulama muda, sudah aktif berdakwah sejak tahun 1799, beberapa tahun sebelum gerakan Paderi resmi dimulai oleh Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang.
Tampaknya bintang Tuanku Nan Renceh cepat bersinar, dan itu karena satu hal: sikapnya yang sangat radikal dan militan. Ia segera melibatkan diri sepenuh hati dan jiwa ke dalam Gerakan Paderi. Ini mungkin karena berita tentang Negeri Mekah yang didengarnya dari tiga haji yang baru pulang dari sana. Tak ada bukti bahwa Tuanku Nan Renceh pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Tapi sudah biasa terjadi dalam soal Islam bahwa pendengar jadi lebih fanatik daripada yang mengalami sendiri pergi ke Mekah.
Di awal tahun 1820-an Tuanku Nan Renceh sudah menjadi salah seorang komandan perang Kaum Paderi yang menguasai lima nagari, yaitu Kamang, Bukik, Salo, Magek, dan Kota Baru. Ia dan pasukannya sangat ditakuti: bila mereka menyerang suatu nagari dapat dipastikan bahwa nagari itu menderita. Tarup (lumbung padi) dan rumah dibakar, penduduk yang melawan dibunuh atau ditawan. Fakih Saghir dalam SKSJ menggambarkan aksi bengis pasukan Tuanku Nan Renceh ketika menyerang nagari Tilatang: “Maka sampailah habis nagari Tilatang dan banyaklah [orang] berpindah dalam nagari; dan sukar menghinggakan ribu laksa rampasan, dan orang terbunuh dan tertawan lalu kepada terjual, dan [wanita] dijadikannya gundi’nya [gundiknya]”. Yang melakukan perbuatan kejam itu kebanyakan pengikut Tuanku Nan Renceh dari Salo, Magek, dan Kota Baru, sehingga pihak lawan menghina mereka dengan istilah “kerbau yang tiga kandang” (Kratz & Amir: 37), sebab perbuatan mereka dianggap sudah sama dengan perilaku binatang.
Fakih Saghir menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh “kecil tubuhnya” (Kratz & Amir: 24), yang memang bersesuaian dengan namanya (kata Minang renceh berarti kecil, lincah, dan bersemangat). H.A. Steijn Parvé dalam “De secte der Padaries in de Padangsche Bovenlanden” (Indisch Magazijn [selanjutnya IM]1, 1e Twaalftal, No.4:21-40) menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh bertubuh kecil, kurus, bertabiat beringasan, dan memiliki sinar mata yang berapi-api—cerminan dari sifat radikal dan keras hatinya. Pakaiannya mungkin seperti pakaian kebanyakan pengikut Paderi, seperti yang dideskripsikan oleh P.J. Veth dalam “De Geschiedenis van Sumatra,” (De Gids 10e Jrg., Januarij: 1850, hal. 21), Thomas Stamford Raffles dalam Memoir of of the Life and the Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles editan Lady Sofia Raffles (Singapore: Oxford University Press, 1991 [reprinted ed.]: 349-50), atau sketsa visual oleh [E.] Francis dalam “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” (Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië [selanjutnya TNI] 2-1, 1839: 28-45, 90-111, 131-154, hal. [141]): rambut dicukur, jenggot dipanjangkan, tasbih dan pedang selalu jadi ‘pakaian’, sorban dan jubah panjang hingga bawah lutut berwarna putih, membawa Al-Quran yang ditaruh dalam kantong merah yang digatungkan di leher (ini hanya khusus buat ulama/panglima Paderi) (lihat ilustrasi).
Tak ada riwayat apapun tentang keluarga Tuanku Nan Renceh. Nama kecilnya juga tidak diketahui. Hanya ada sedikit kisah tragis bahwa ia memulai jihadnya dengan cara sadis: ia menyuruh bunuh bibinya sendiri—menurut Mangaraja Onggang Parlindungan (op cit.:134) ibu Tuanku Nan Renceh sendiri yang bergelar “orang kaya” (urang kayo)—yang tidak mau mengikuti perintahnya berhenti makan sirih, yang dianggap kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam. Mayatnya tidak dikuburkan tapi dibuang ke hutan karena dianggap kafir (lihat: Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K., 1954:18-19; Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dan Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847, terj. Lilian D. Tedjasudhana. Jakarta INIS, 1992: 158). Dengan begitu, Tuanku Nan Renceh cepat mendapat pengikut dari mereka yang berjiwa militan.
Naskah SKSJ mencatat bahwa akhirnya Tuanku Nan Renceh memusuhi Tuanku Nan Tuo yang tetap memegang sikap moderat dalam memperjuangan cita-cita Gerakan Paderi. Tuanku Nan Tuo mengecam cara-cara di luar peri kemanusiaan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya terhadap penduduk nagari-nagari yang mereka taklukkan. Tuanku Nan Renceh menghina ulama kharismatik yang dituakan di darek itu dengan menyebutnya sebagai “rahib tua” dan Fakih Saghir, sahabat dan bekas teman seperguruannya, digelarinya “Raja Kafir” dan “Raja Yazid” (Kratz & Amir: 41).
Senin, 11 Juni 2012
Amanat Presiden kepada rakyat Indonesia
.
Melacak
Warisan Budaya Cina Di Lasem
Oleh : Titiek Suliyati
I.
Pendahuluan
Nama Lasem sudah terkenal dari sejak pertengahan abad
XIV. Pertama tercatat sebagai kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan
Majapahit, yang diperintah oleh seorang ratu kerabat raja Hayam Wuruk yaitu
Ratu Dewi Indu atau lebih dikenal dengan Bhre Lasem.[1]
Kedua, Lasem sering disebut sebagai miniatur negeri Cina karena di sana
terdapat beberapa kelenteng dan rumah-rumah dengan arsitektur khas Cina dan aktivitas
budaya masyarakatnya yang masih kental dengan pengaruh budaya Cina. Ketiga,
masyarakat Cina di Lasem yang jumlahnya cukup besar mampu berasimilasi dan
beradaptasi dengan masyarakat setempat dan
etnis lainnya serta mampu menciptakan karya-karya budaya yang khas.
Terbentuknya
komunitas Cina di Lasem melalui proses sejarah yang panjang. Diawali dengan
hubungan dagang antara kerajaan Cina dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada sekitar awal abad ke-5 Masehi[2].
Hubungan dagang ini tentu melibatkan kota-kota pesisir yang ada di bawah
kekuasaan kerajaan-kerajaan yang berkuasa saat itu. Kota-kota di pesisir utara
Jawa yang menjadi tempat persinggahan dan pemukiman para pedagang Cina yang paling awal antara lain Tuban, Lasem,
Rembang, Jepara, Demak, Semarang, Banten, Jakarta dan lain sebagainya[3].
Pada masa pemerintahan dinasti Ming yang
berlangsung tahun 1368 – 1643, orang Cina dari Yunnan semakin banyak yang
melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah di luar Cina termasuk Indonesia dengan
tujuan untuk melakukan perdagangan. Pada perkembangannya kemudian kekuasaan
Dinasti Ming berusaha memasukkan wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia dalam
wilayah protektoratnya. Salah seorang yang mendapat mandat untuk memimpin
armada laut untuk melakukan perjalanan
ke Indonesia adalah Cheng Ho. Dari tujuh kali pelayarannya ke Indonesia, Cheng
Ho melakukan enam kali pelayaran ke Jawa.
Orang-orang Cina yang datang ke
Indonesia pada umumnya dan di wilayah
pesisir utara Jawa khususnya, sebagian besar berasal dari propinsi
Fukien/Fujian dan Kwang Tung. Mereka ini terdiri dari berbagai
suku bangsa yaitu Hokkian, Hakka, Teociu dan Kanton. Mereka mempunyai bidang keahlian yang berbeda-beda,
yang nantinya dikembangkan di tempat
baru (Indonesia). Orang
Hokkian merupakan orang Cina yang paling awal dan paling besar jumlahnya sebagai imigran. Mereka mempunyai budaya dan
tradisi dagang yang kuat sejak dari daerah asalnya. Orang Teociu yang berasal dari daerah pedalaman Swatow di
bagian timur propinsi Kwantung mempunyai keahlian di bidang pertanian, sehingga
mereka banyak tersebar di luar Jawa. Orang
Hakka/Khek berasal dari daerah
yang tidak subur di propinsi Kwang Tung, sehingga mereka berimigrasi karena
kesulitan hidup. Di antara orang-orang Cina yang datang ke Indonesia mereka
merupakan golongan yang paling miskin. Orang-orang Hakka dan orang-orang Teociu
sebagian besar bekerja di daerah-daerah pertambangan di Indonesia seperti
Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Sumatra. Perkembangan kota-kota besar di
Jawa seperti kota Jakarta dan dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Cina
telah menarik minat orang-orang Hakka dan Teociu untuk pindah ke Jawa Barat [4]. Pada perkembangannya kemudian mereka menyebar dan menetap di kota-kota lain
di Jawa. Orang Kanton yang mempunyai keahlian di bidang pertukangan dan
industri datang ke Indonesia dengan modal finansial dan ketrampilan yang cukup,
sehingga di tempat yang baru mereka dapat mengembangkan usaha di bidang
pertukangan, industri, rumah makan, perhotelan dan lain sebagainya [5].
Selain suku-suku tersebut di atas, ada
beberapa suku dari Cina yang lain dalam jumlah kecil seperti Ciangcu, Cuanciu,
Hokcia, Hai Lu Hong, Hinghua, Hainan,
Shanghai, Hunan, Shantung, tersebar diberbagai daerah di Indonesia [6]. Ada beberapa suku yang walaupun jumlahnya
kecil, tetapi menyebar hampir di setiap kota di Jawa yaitu suku Kwangsor,
Hokchins dan Hokcia. Mereka ini mempunyai keahlian berdagang, sehingga di
tempat yang baru mereka menguasai perdagangan tingkat menengah [7].
Masyarakat Cina Lasem diperkirakan sebagaian besar berasal Kabupaten
Zhangzhou, propinsi Fujian, karena
pemujaan pada beberapa tokoh yang dimuliakan di kelenteng-kelenteng tersebut
mengikuti tata cara pemujaan seperti di kelenteng-kelenteng di propinsi Fujian.
Sejarah panjang
keberadaan masyarakat Cina di Lasem memberikan warna dan keunikan terhadap
bentuk dan struktur kota Lasem. Demikian pula adaptasi masyarakat Cina Lasem
dengan penduduk setempat maupun dengan penduduk dari etnis lain telah memberi
warna terhadap budaya dan aktivitas
masyarakat Cina khususnya dan masyarakat Lasem pada umumnya. Tulisan ini
mengupas tentang perkembanagn budaya Cina di Lasem yang memiliki keunikan yang
dapat dijadikan sebagai identitas daerah.
Sabtu, 02 Juni 2012
Bulittinggi Tempo dulu
Blog Pasambahan Datuak - http://www.freewebs.com/limaukampuang
Benteng Tertua di Indonesia - http://arkeologi.web.id/articles/
Indonesia tempo dulu - http://tempodoeloe.com/category/old-batavia/
Padang tempo dulu - http://cilotehleaks.blogspot.com/
Sedjarah Hindia Belanda - http://walentina.waluyanti.com/history-politics/
Legenda nusantara - http://legendanusantara.wordpress.com
Nasehat buat
keponakan
Anak kanduang
sibiran tulang
Buah hati
ayah djo Bundo
Ubek Jariah palarai damam
Sidingin
sampai dikapalo
Nan kanduang
kamanakan mamak
Rangkaian
hati urang sakoto
Mamak
batutua cubolah simak
Dangakan
mamak bacarito
Kok indak
salah mamak mahetong
Diagak agak
sampai kini
Tatkalo
kamanakan kadibaduang
Mamak maliek
partamo kali
Ayah badoa
pado nankuaso
Bundo
bakahandak pado illahi
Kok layie
anak nan dicito
Ka pangganti
badan diri
Diwarih nan
kabajawek
Dipusako nan
kabatolong
Indak dibilang
jariah jo panek
Lamo jo maso
indak dihetong
Lah layie
anak laki-laki
Umpamo ameh
jo parmato
Ibaraik
cincin taikek dijari
Ka
panyongsong tamu nan tibo
Rabu, 16 Mei 2012
Republik dalam Mimpi Tan Malaka
Hasan Nasbi A.
Program Manager Indonesian Research and Development Institute, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004)
Program Manager Indonesian Research and Development Institute, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004)
Dr Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner
kesepian. Mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian
dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup
dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia
harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina
dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa
pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.
Sebagai pelarian dan tahanan, Tan tak pernah berhenti
memikirkan nasib Negeri Hindia Belanda. Banyak gagasan yang lahir
selama masa pelarian itu. Namun Tan Malaka tak punya cukup kesempatan
untuk mendialektikakan gagasannya dengan tokoh-tokoh pejuang lain. Ada
perbedaan waktu dan pengalaman sejarah yang membuat Tan Malaka berjarak
dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian berada dalam barisan Partai
Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai dan prinsip
perjuangan Tan sungguh tak bisa diikuti oleh siapa pun. Hatinya terlalu
teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk
diajak sedikit membungkuk.
Kita bisa melihat beberapa contoh bahwa memang sulit
mencari manusia yang bisa mengikuti kekerasan hatinya. Adam Malik,
misalnya, adalah kader Partai Republik Indonesia yang sangat memuja Tan
Malaka. Namun, di tangan Adam Malik, segala persoalan bisa menjadi
superfleksibel. M. Yamin adalah pengikut Tan Malaka yang juga mendirikan
Persatuan Perjuangan pada 1946. Persatuan Perjuangan adalah ikon
diplomasi bambu runcing. Organisasi ini didirikan sebagai antitesis
politik berunding yang dirintis oleh Kabinet Sjahrir I. Tapi,
belakangan, Yamin juga menjadi anggota tim dalam Konferensi Meja Bundar
pada 1949, sesuatu yang secara prinsip ditentang dalam ”Program Minimum”
Persatuan Perjuangan Tan Malaka.
Di tengah kesepian dan kesulitan memperoleh pengikut
yang kukuh itulah ia melahirkan gagasan-gagasan yang jernih, asli,
bahkan mengagetkan. Mungkin gagasan itu tak sepenuhnya bisa diikuti,
tapi jelas penuh inspirasi. Soal pelaksanaannya bisa dicocokkan dengan
keadaan yang berkembang.
Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia
tersebar di banyak buku. Ia tak punya kesempatan untuk menuliskannya
secara tuntas. Gejolak revolusi mengharuskan revolusioner seperti Tan
berada dalam kancah perjuangan fisik ketimbang di belakang meja. Namun,
lewat antara lain buku Menuju Republik Indonesia (1926), Soviet atau
Parlemen (1922), serta Madilog (1942), kita bisa menyatukan mozaik
gagasan republik yang tercerai-berai itu. Tak sulit untuk menyatukan
mozaik ini, karena Tan selalu menunjukkan pola pemikirannya.
Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik
untuk menjelaskan republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti
makhluk yang lemah. Banyak yang mengancamnya. Di dahan yang rendah, dia
harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi dahan yang lebih
tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang
siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Ia hidup
penuh ketakutan dan dengan perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan
Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini. Bebas dari
belenggu dan teror pemangsa.
Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan
besar, ia akan bebas menjarah padi di saat sawah sedang menguning.
Burung gelatik, yang sesaat lalu terlihat seperti makhluk yang lemah,
bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada ampun.
Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia. Padinya habis
disantap sekawanan gelatik.
Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka
bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu
dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa
lain. Inilah prinsip Indonesia merdeka.
Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya
bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, atau
paling jauh berpikir tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka sudah maju
beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek
Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina,
pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.
Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia Belanda harus
menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak
menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka
adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah
organisasi.
Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap parlemen.
Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif,
legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara
orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan
kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan
(eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang
sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika
aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh
(parlemen).
Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual
pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian
lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah
dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah.
Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat,
seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan
sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan
yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka
wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk
berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan.
Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan
Malaka bisa menepuk dada. Dia akan menyuruh kita menyaksikan sebuah
negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh, seperti Inggris,
kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk
berperang menginvasi negara lain.
Akhirnya, parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari
sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para
jago berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher
menonjol keluar. Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan
tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.
Singkatnya, keberadaan parlemen dalam republik yang
diimpikan Tan Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen dengan
tegas memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia kematangan
berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan
kepada Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat
keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang
pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pasti bermuara di
parlemen.
Lalu seperti apa wujud negara tanpa parlemen itu?
Penjelasannya memang bisa memakan halaman yang sangat banyak.
Sederhananya, negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah
organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan
sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa atau pengawas, dan sebagai badan
peradilan.
Anda bisa membayangkan organisasi yang berskala
nasional seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bangunan
organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa
diandaikan seperti itu. Tidak ada pemisahan antara si pembuat aturan dan
si pelaksana aturan. Di dalam organisasi yang sama pasti ada semacam
dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan atau komisi
pemeriksa. Begitulah kewenangan dibagi, tapi tidak dalam badan yang
terpisah.
Bagaimana mengontrol organisasi agar tak menjadi
tirani kekuasaan? Di sinilah desain organisasi harus dimainkan. Ritual
pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu
lama, agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah tidak
berubah menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat terendah
sampai tingkat tertinggi, harus dilakukan dalam jarak yang tak terlalu
lama. Waktu dua tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para
pejabat organisasi. Jika kerja mereka tak memuaskan, kongres organisasi
akan menjatuhkan mereka.
Barangkali banyak pembaca yang mengatakan bangunan
kenegaraan seperti di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar.
Sebab, sudah demikian lama otak kita dicekoki oleh trias politika ala
Montesquieu. Jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif dianggap
tak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa partai politik,
organisasi kemasyarakatan, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
merupakan lembaga yang tak demokratis.
Di luar itu, bisa jadi pula ada yang mengatakan
gagasan Tan Malaka naif dan tak bisa diikuti. Pendapat itu pun wajar.
Seperti pernyataan penulis di awal tulisan ini, tak ada yang bisa dengan
total mengikuti Tan Malaka. Selain terlalu lurus, Tan Malaka pasti tak
bisa lepas dari belenggu zamannya. Namun tak ada salahnya kita menulis
ulang semangat dalam gagasan kenegaraan Tan Malaka. Dalam Thesis, Tan
meminta rakyat Indonesia tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru.
Yang penting adalah cara dan semangat berpikirnya. Ibarat seorang guru
matematika, Tan tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuah
perhitungan, tapi menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil
hitungan yang benar.
Jumat, 11 Mei 2012
Syukuran PDRI dan Hari Bela Negara di Bukittinggi
SENIN (22/1) malam yang hangat, walau rintik hujan masih turun dari langit Bukittinggi.
Wajah-wajah
tua keriput yang sembringah, penuh senyum dan gelak tawa, saling
bersalaman dan berangkulan di antara sesama mereka.Aroma sukacita begitu
kental di ruang utama Istana Bung Hatta di kota Bukittinggi. Sebagian besar dari mereka yang memenuhi ruang utama Istana Bung Hatta itu adalah para pejuang kemerdekaan/mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) -- termasuk mereka yang ikut dalam Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang dipimpin Ketua Mr. Syafruddin Prawiranegara. Seakan semua hati tengah berbunga dan kembang menebar harum semerbak serta tengah bersiul dan bernyanyi riang. Semua mereka tengah berbahagia karena tidak ada lagi himpitan potongan beban sejarah bangsa yang mereka pikul sendiri selama bertahun-tahun dan bahkan puluhan tahun.
Kelihatan hadir di Istana Bung Hatta itu Gubernur Sumatera Barat H. Gamawan Fauzi Dahlan Dt. Rajo nan Sati SH, MM, Wakil Gubernur Prof. Dr. H. Marlis Rahman M.Sc, Ketua DPRD Sumatera Barat H. Leonardi Harmainy, tuan rumah Walikota Bukittinggi Jufri/Wakil Walikota Ismet Amzis, beberapa bupati/walikota (diantaranya, Bupati Padangpariaman Muslim Kasim, Bupati Tanahdatar Shadiq Pasadiqoe, Bupati Solok Selatan Syafrizal, Bupati Pesisir Selatan Nasrul Abit, Wakil Bupati Limapuluhkota Irfendi Arbi, walikota Solok Syamsul Rahim, dan beberapa yang lainnya)). Pun hadir sejumlah tokoh masyarakat Sumatera Barat. Di antaranya, Bachtiar Chamsyah yang juga Menteri Sosial, mantan gubernur Sumatera Barat/mantan Menneg Pertanahan/mantan Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasiobal) Hasan Basri Durin, ketua Gebu Minang Asril Tanjung, dan sejumlah tokoh Minang perantauan.
Juga hadir anak-anak dan keluarga almarhum mantan ketua PDRI Mr. Syafruddin Prawiranegara, Farid Prawiranegara dan saudara-saudaranya. Teristimewa, kelihatan Gubernur Riau H. Rusli Zainal SE, ketua DPRD Riau Drh. H. Chaidir, dan beberapa tokoh Riau seperti sejarawan Universitas Riau Prof. Soewardi MS, Kol. Abbas Jamil, Kol. Hemron Saheman, dan lainnya. Dari Jambi hadir Gubernur Zulkifli dan rombongan. Juga hadir sejarawan terkemuka Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat/mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) Prof. Dr. Taufik Abdullah MA dan Brigjen TNI Purn. Dr. Saafroeddin Bahan MA, yang menjadi pembicara dialog interaktif bersama sejarawan Dr. Mestika Zet MA. Juga kelihatan mantan srikandi parlemen RI dari PPP, Ny. Aisyah Amini. Dan, masih ada sejumlah lainnya yang tidak mungkin dapat dijajar di sini satu persatu.
Pada syukuran PDRI/perayaan HBN esok harinya, Selasa (23/1), juga di ruang utama Istana Bung Hatta Bukittinggi, selain Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukkam) dan Menteri Pertahanan diwakili Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Budi Susilo Soepandji, juga hadir Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris -- ketiganya pentolan dari Sumatera Barat yang berada di pentas nasional. Berbeda dengan syukuran PDRI/perayaan HBN Selasa (23/1), silaturrahmi PDRI/HBN Senin (22/1) malam terasa lebih Sumatera Barat daripada Sumatera Tengah, dan perlu dipikirkan perayaan hari PDRI/HBN tahun 2007 lebih menonjolkan provinsi tetangga yang semula tergabung dalam sumatera Tengah sebagai basis PDRI dan pemerintahan Ketua Syafruddin -- seperti dikemukakan Gubernur Riau H. Rusli Zainal SE dan sejarawan Universitas Riau Prof. Soewardi MS.
BEGITU spesial arti/makna pengakuan pemerintah terhadap keberadaan dan peranan PDRI -- dan peranan pejuang yang ambil bagian di dalamnya -- sebagai bagian sejarah Indonesia paling menentukan dalam perjalanan bangsa ini, dan sekaligus penetapan hari pencetusan PDRI, 19 Desember 1948, menjadi Hari Bela Negara (HBN).
Pengakuan atas PDRI dan penetapan hari pencetusan PDRI menjadi HBN, tidak sekedar membuat tekanan psikhologis terhadap pejuang di Sumatera Tengah (kini menjadi provinsi-provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi) memikul teralu berat beban sejarah nasional itu, tapi, peristiwa skala nasional yang selama ini dilokalkan itu ibarat siriah alah dilatak-an ke tampuaknyo/pinang alah dilatak-an di tangkainyo. Kata Presiden Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono, PDRI sudah diletakkan secara benar/proposional dalam sejarah bangsa Indonesia.
Ketika memberikan sambutan pada peringatan dan syukuran hari ulang tahun (HUT) PDRI tanggal 19 Desember 1948 yang mulai tahun 2006 diperingati sebagai Hari Bela Negara (HB), di Istana Bung Hatta Bukittinggi, Selasa (23/1), Menteri Koordinator Politik/Hukum/Keamanan (Menko Polhukkam) Laksamana TNI Purn. Widodo AS menegaskan, penerbitan Keputusan Presiden (Kepres) No. 28 Tahun 2006 sekaligus menujukkan, peranan historis PDRI dan para pejuangnya tak hanya diakui/diluruskan/didudukkan secara proporsional dalam sejarah bangsa Indonesia, tapi, sudah diletakkan pada tempat yang terhormat dalam sejarah bangsa Indonesia. Semangat bela negara dan nilai-nilai luhur dalam perjuangan PDRI itu, kata Widodo, masih relevan bagi bangsa Indonesia saat ini dan ke depan. Saat bangsa Indonesia belum sepenuhnya keluar dari krisis multidimensi -- termasuk krisis moral/akhlak dan tidak saling percaya.
Justru pesan moral PDRI, selain mengisi kevakuman kepemimpinan nasional dan kelanjutan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, adalah semangat ambil bagian menyelamatkan negara Indonesia, saling percaya/mendukung di antara pemimpin -- termasuk kesetiaan tentara rakyat di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman pada PDRI, dan dukungan rakyat terhadap pemimpin dan pejuang yang melancarkan perang gerilya -- walau rakyat dalam berbagai kesulitan dan keterbatasan, sebagaimana dipaparkan sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah MA ketika seminar nasional di Universitas Andalas Padang akhir Juni 2005 lalu, yang kemudian dijadikan dasar akademik pertimbangan Presiden SBY -- begitu sebagian besar rakyat Indonesia akrab menyebut nama presiden -- dalam penetapan hari pencetusan PDRI sebagai HBN. Usulan hari PDRI menjadi HBN merupakan gagasan orisinal Gamawan Fauzi, lebih dari sebatas pengakuan terhadap PDRI dan para pelakunya yang diluruskan/didudukkan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kegembiraan masyarakat Sumatera Tengah -- khususnya Sumatera Barat terhadap Kepres 28 Tahun 2006 menjadikan hari hari PDRI diperingati setiap tahun sebagai HBN, seperti dikutarakan Ketua Dewan Harian 45 Sumatera Barat Kol. Djamaris Yoenoes, dapat disetarakan dengan dengan kegembiraan rakyat provinsi Jawa Timur yang di antara momentum perjuangan rakyat di sana diabadikan menjadi Hari Pahlawan 10 November dan kebahagiaan rakyat provinsi Jawa Tengah yang di antara momentum perjuangan rakyat di sana diabadikan menjadi Hari Tentara nasional Indonesia (TNI) 5 Oktober. Para pejuang yang khususnya terlibat dalam PDRI dan seluruh rakyat yang mendukung/berkorban demi mempertahankan kemerdekaan waktu itu tak mengharapkan pamrih apa pun. Pengakuan/penghormatan terhadap PDRI dan penghargaan terhadap para pejuang yang terlibat lebih bernilai dari pamrih material.
WALAU tidak diundang -- undangan datang Senin (2/1) pukul 13.30 WIB setelah pukul 10.00 WIB setelah sebelumnya Cucu Magek Dirih menelfon Davi Kurnia (Sekretaris Pribadi Gubernur), tapi, sejak semula diberitahu langsung oleh Gubernur Gamawan, Cucu Magek Dirih merencanakan dapat menghadiri silaturahmi/syukuran PDRI dan HBN di Istana Bung Hatta di Bukittinggi itu. Cucu memang ingin menyaksikan wajah-wajah sembringah para pejuang yang selama ini memikul sendiri bagian beban sejarah bangsa indonesia tersebut. Dan, memang itulah yang kemudian disaksikan Cucu pada silaturrahmi Senin (22/1) malam di Istana Bung Hatta Bukittinggi. Para pejuang yang umumnya sudah tua dan usur memadati ruang utama Istana Bung Hatta -- mereka bahkan bertahan mengikuti silaturrahmi sampai menjelang pukul 24.00 WIB malam. Kelihatan, betapa mereka bersukacita karena sudah diakui dan dihargai.
Cucu Magek Dirih ikut berbahagia menyaksikan para pejuang yang hadir dalam silaturrahmi di Istana Bung Hatta Bukittinggi -- mungkin lebih banyak mereka yang tidak berkesempatan datang langsung pada acara itu -- berbahagia. Cucu Magek Dirih pun merasa sangat tersanjung karena dalam sambutan tanpa teks dalam silaturrahmi itu, Gubernur Gamawan menyebut nama Cucu Magek Dirih bersama Rektor universitas Andalas Prof. DR. Ir. Musliar Kasim M.Sc dan Ketua Umum Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (PP LKAAM) H. Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie, sebagai di antara orang yang dipandangnya telah ikut berperan dalam pengajuan pengakuan terhadap PDRI dan perjuaangan hari PDRI menjadi HBN. Mungkin Cucu Magek Dirih memang ikut dalam drafting dan memaksimalkan akses ke Itana Negara, tapi, tidak menyangka Gubernur Gamawan begitu menghargai. ***
H. Sutan Zaili Asril (Padang Ekspres OnLine)
Sebelumnya: PDRI Selamatkan RI Dimata Dunia
Selanjutnya : Agus Salim : The Grand Old Man
Selasa, 24 April 2012
kartun politik
By muhamadsutrisno
hahahaaa.....
lihat tuh fhoto yang kanan dan kiri beda banget ya?klo bung karno
dengan tegas dan lantang berpidato,sambil bilang:" kutitipkan bangsa dan
negara ini kepadamu" saya sampai terharu dengan kata-kata beliau, dan
saya sebagai warga negara yang baik menjaga keutuhan NKRI saya akan
pertaruhkan jiwa dan raga ini untuk bangsa yang telah menghancurkan
bumi pertiwi.merdeka
wah
klo fhoto ini pasti rakyat juga tau lohhhh.... coba siapa dia??klo
tidak tau kita tanya galileo, wah tapi mkin lebay bgt ya klo tanya
galileo,heheheheee... yalihat aja nih dia lagi mengucurkan air ke BLBI2
yang beliau bilang takut sistemik, ke pada bang kecil. Tapi menurut saya
bank ini kalo tidak di kasih juga tetep bangkrut.Buktinya uang 6.7T gak
tau kemana.hahahahahahh.......
Wah
klo gambar ini menceritakan sebuah pemilihan yang keinginannya
bersih,jujur,adil dll.Tapiniat sudah diucapkan tanpa money politic,
tetep aja masih ada yang menggunakan uang hanya untuk sebuah
jabatan.Wah... kalo begini caranya, apa kata dunia???yang diomongin
berantas korupsi, dsb.
Kasus
korupsi di bumi pertiwi ini sudah tidak asing lagi buat rakyat
indonesia yang sudah pintar.Jadi kasus apapun sebenarnya rakyat sudah
mengerti dong,hahahahaa....Tapi kasus-kasus yang telah membuat menangis
rakyat indonesia.KPK,POLRI dan KEJAKSAAN saling membela diri. Tapi kasus
penyuapan dan kriminalisasi yang beredar dipublik belum terjawab.Kita
semua menunggu hasil rekomendasi dari tim-8.
berntem
ci berantem, tapi jangan sampai rakyat kecil yang jadi korban ya?sudah
cukup ya rakyat yang jadi korban keganasan gajah-gajah.heheheheh
rakyat
kecil yang jadi korban neoliberalisme,wah lihat tuh penguasa yang
menghancurkan wong cilik sambil membawa uang rakyat 6.7T.
Wah
bapak bangsa ini berani untuk mengungkap dana aliran bank centuri yang
hilang kemana?beliau sekarang enak lah tanpa beban heheheh...mendingan
pulang kampung ya pak, dari pada plin-plan mendingan gak usah lanjut
heheheheh...peace ah.
Selasa, 17 April 2012
Mengapa saya bernama Gempar Soekarno Putra
Soekarno" dalam nama panjangnya jelas merujuk kepada nama Presiden I Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Lebih dari 50 tahun lalu, saat masih berkuasa, Sang Proklamator jatuh hati dan menikahi ibunda Gempar, Jetje Langelo, di Manado. Namun asal-usul dan "darah biru" yang diwarisinya malah membuat jalan hidup Gempar penuh liku.
Mei 1998, ketika iklim politik Indonesia memanas dan pemerintahan Soeharto memasuki senja, Jetje Langelo (dibaca: Yece) melihat sesosok wajah yang amat dikenalnya di antara para demonstran yang menduduki Gedung DPR/MPR. Charles Christofel, salah satu putranya, terlihat di antara ratusan massa mahasiswa berjaket kuning yang tengah meminta Soeharto turun takhta. Ketika itu Charles adalah mahasiswa Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Indonesia.
Fenomena itu membut Jetje gundah. Putranya itu dipanggil pulang ke Manado. Tapi karena berbagai kesibukan pekerjaan, Charles baru muncul Desember 1999, sekalian merayakan Natal. Charles tidak pernah menyangka, apa yang kemudian terjadi di rumah ternyata mengubah jalan hidupnya. Di dinding rumah Jetje telah terpasang foto-foto ibunya semasa muda yang tampak berdiri akrab dengan seorang pria yang dikenalknya sebagai Ir. Soekarno.

Bukan sekadar ucapan, Jetje juga mengeluarkan sejumlah dokumen yang selama ini disembunyikan. Antara lain berupa foto, surat-surat, tongkat komando, keris, serta amanat yang ditulis oleh tangan Soekarno sendiri. Dalam amanat tertulis permintaan agar anak yang lahir pada 13 Januari 1958 itu, kelak pada saatnya ia sudah dewasa berpolitik, dinamai: Muhammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra. "Kutitipkan bangsa dan negara kepadanya!"
Jadi kondektur bemo
Kenyataan ini memang tidak serta merta mengubah hidup Charles yang kemudian menyandang nama baru: Gempar Soekarno Putra. Ia tetap seorang pengusaha yang juga berprofesi sebagai konsultan hukum di Jakarta. Namun ada niatannya untuk lebih mengenal ayah biologis yang tidak pernah diingatnya itu. Langkah awalnya mengunjungi makam Soekarno di Blitar. Lalu dengan penuh kesadaran, di sebuah masjid di kawasan pemakaman raja-raja Jawa, di Imogiri, ia memeluk agama Islam.
Dengan identitas dan legalitas baru, Gempar melanjutkan hidupnya yang saat itu sudah tergolong mapan. Pekerjaan dan karir cerah, materi cukup, serta sudah berkeluarga dengan seorang istri (Jeane Augusta Lengkong) dan seorang putra (Yohanes Yoso Nicodemus). Segala pencapaian ini terus disyukurinya mengingat jalan hidupnya yang penuh onak dan duri.
Pada usia SD, Gempar sudah dititipkan di rumah kakak dari suami pertama Jetje. Meski ikut famili, ternyata ia tidak diperlakukan sebagai anak biasa dan harus bekerja keras hingga mirip seperti pembantu. Perlakuan keluarga itu, menurut Gempar, juga sangat menyakitkan. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia harus berjualan es. Pada usia belasan, ia juga pernah menjadi kondektur bemo. Tapi sekolahnya tidak pernah berhenti, hingga tamat dari SMA Negeri 1 pada 1977 dengan prestasi lima besar.
Beberapa bulan setelah tamat sekolah, Gempar merantau ke Jakarta dan tinggal dengan keluarga pihak ibunya. Namun ia maklum, jika perlakuan keluarga-keluarga itu juga tidak ramah kepadanya. Ia sering diperlakukan kasar sehingga harus terusir dan berpindah-pindah rumah. Bahkan pernah ikut di rumah seorang pedagang buah di daerah Gandaria, Jakarta Selatan.
Hidup Gempar baru benar-benar mapan setelah bekerja sebagai tukang ketik di kantor notaris Frederik Alexander Tumbuan, masih di sekitar daerah Gandaria. Tahun 1985 ia malah bisa berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Berbekal dari pekerjaan dan kuliahnya, pekerjaan yang digelutinya kemudian lebih banyak terkait dengan hukum atau di perusahaan biasa disebut bagian legal. Ia juga menjadi konsultan hukum di beberapa perusahaan elektronik seperti Hitachi, Toshiba, ITT, Grundig, serta beberapa bank. Dari pekerjaan itu perlahan-lahan kehidupannya mulai mapan, setelah memiliki beberapa bidang tanah dan kendaraan di Jakarta.
"Siap, Bung Karno!"
Awalnya Gempar mengenal Soekarno tak lebih sebagai mantan Presiden RI. Ia ingat, sewaktu SMP, pernah nekat membuka sebuah kopor besi yang sengaja disembunyikan ibunya di atas plafon rumah. Tapi selanjutnya isi kopor yang kelak dipakai untuk membuka jati dirinya itu, tidak terlalu dihiraukannya. "Malah ada tongkat komando yang pernah saya pakai untuk menggali-gali tanah," tutur Gempar tentang kenakalannya di masa kecil terhadap benda-benda peninggalan Soekarno itu.
Cerita tentang sang ayah didapat dari Jetje sebelum akhirnya meninggal pada November 2004. Dalam ingatan Jetje, Soekarno mulai mengenalnya ketika berkunjung ke Manado tahun 1953. Sejak itu keduanya menjalin hubungan melalui surat atau telegram, serta sesekali bertemu jika kebetulan Presiden berkunjung ke Manado. Tapi orangtua Jetje tidak merestui niat Soekarno untuk menikahi putri mereka. Maka begitu lulus dari sekolah SGA Roma Katolik Manado, Jetje dinikahkan dengan Leo Nico Christofel, anggota TNI berpangkat Letnan Satu.
Meski sudah dikarunia dua anak, akhir 1955, Jetje dan Leo bercerai. Hubungan dengan Soekarno berlanjut kembali hingga akhirnya keduanya menikah secara Islam tahun 1957 di Manado. Perkawinan itu sempat dipestakan juga di Jakarta, namun Jetje yang dipanggil "Ice" oleh Soekarno, kemudian kembali lagi ke Manado. Baru setelah menjelang kelahiran Gempar, Jetje berniat menyusul suaminya, tapi batal karena ada pemberontakan Permesta. Soekarno baru dapat menggendong anaknya untuk pertama (dan terakhir kali) tahun 1960.
Menurut Gempar, ada beberapa pejabat dekat Soekarno yang mengetahui soal pernikahan ini. Seperti Mayor Sugandi (ajudan Presiden), Henk Ngantung (Gubernur Jakarta), Ibnu Sutowo (kemudian menjadi Dirut Pertamina), atau Ali Sadikin. Dalam ingatannya, ia pernah beberapa kali menemani ibunya menemui beberapa pejabat itu di Jakarta. Belakangan setelah jati dirinya di buka, Gempar juga sempat bertemu Ali Sadikin. "Pak Ali masih ingat dan menanyakan kabar ibu saya," katanya.
Ketika Soekarno masih berkuasa, Jetje sempat menikmati kehidupan yang layak dengan diberi rumah di Jln. Tikala, sebuah kawasan elit khusus pejabat di Manado. Gempar di usia balita juga mendapat kiriman mainan yang bagus dan mahal dari Jakarta. "Waktu sekolah saya juga sering dibilang teman, 'Siap Bung Karno', karena katanya mirip Bung Karno kalau memakai peci," kata Gempar yang awalnya menganggap itu sebagai sekadar olok-olok, tapi belakangan diterimanya sebagai semacam petunjuk bahwa dirinya anak Soekarno.
Diminta tes DNA
Keberadaan "satu lagi anak Soekarno" ini terkuak ke publik setelah majalah Kartini memuat serial kehidupan Gempar, pada terbitan awal tahun 2000. Tulisan bersambung berbentuk features itu memuat kisah kehidupan Gempar di masa lalu, terutama menekankan masa-masa penderitaannya. Sepintas terbaca seperti dongeng. Namun kepada Intisari, Gempar tegas menyatakan kisah itu sejati. Tidak ada yang dibuat-buat atau ditambah-tambahi.
Justru pihak keluarga, terutama putranya yang saat itu masih usia anak-anak, sempat keberatan pada kisah-kisah pilu yang diekspos. Karena itu Gempar merasa perlu memberi pengertian bahwa kisah masa lalu tidak perlu ditutup-tutupi. Justru kalau direkayasa, harusnya merasa malu. Baru kemudian putranya bisa mengerti dan justru merasa bangga pada kegigihan ayahnya menjalani hidup.
Ramainya publikasi media rupanya mengusik keluarga besar Soekarno. Berdasarkan cerita Gempar, tahun 2003, ia dihubungi pengacara dari Guruh Soekarno Putra untuk menjajaki kemungkinan tes DNA. Ia tidak menolak, tapi mengajukan syarat: tes bukan atas permintaan dirinya, dilakukan secara terbuka, dan sampel darah yang diambil harus dikawal oleh tim kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Permintaan itu tidak ada kabarnya sampai sekarang. Gempar menduga, lantaran dalam uji DNA, tim dokter harus mengambil sampel darah pembanding. Artinya sampel darah anak-anak Soekarno lain harus juga ikut diambil. Tentu bisa dibayangkan sulitnya mengumpulkan orang-orang yang sebagian besar merupakan tokoh-tokoh politik nasional.
Namun kalau pun itu suatu kali harus terjadi, Gempar akan bersikukuh dengan syarat yang diajukannya. "Biar jelas kalau bukan saya yang mencari popularitas. Kalau pun hasilnya benar, ya alhamdulillah. Kalau tidak, berarti ibu saya pembohong," tuturnya tanpa merasa sedikit pun memiliki beban.
Saat ini Gempar bersyukur terhadap satu warisan yakni kemiripan fisik, terutama wajah. Apalagi kalau ia memakai peci, yang kini jadi seragam wajibnya saat hadir di acara-acara resmi. Dalam acara kampanye menjelang Pemilu, ia malah sengaja memakai baju mirip baju kebesaran Soekarno, komplit dengan kacamata hitam model jadul.
Wajah mirip, ditambah publikasi media, menjadikan Gempar seperti selebritis. Efek positifnya, banyak orang merasa segan. Misalnya ketika Gempar berhubungan dengan birokrasi, orang akan menolak pemberian amplop sekadar sebagai tanda terima kasih. "Katanya mereka merasa tidak enak menerima uang dari anak Proklamator," tutur Gempar menirukan orang-orang itu.
Satrio piningit?
Dalam kopor besi yang disimpan Jetje, sebenarnya Soekarno juga mewarisi Gempar tongkat komando dan dua bilah keris. Namun atas saran seorang kiai, sebilah keris dibuangnya ke sungai. Sebuah tindakan yang ternyata kini disesalinya, karena menurutnya menyimpan keris bukan berarti menyembahnya. Sedangkan tongkat komando sudah diberikan kepada kelompok spiritual. "Saya jadi proaktif, suaranya juga jadi keras, kalau memegang tongkat itu," katanya terus terang.
Amanat sang ayahlah yang akhirnya membuat Gempar kemudian turut aktif berpolitik. Semua diawalinya dari langkah kecil yakni di Partai Nasional Indonesia Bersatu, lalu Partai Pemersatu Nasionalis Indonesia, kemudian Partai Nasional Indonesia Massa Marhaen, dan kini menjabat Wakil Ketua Umum Partai Barisan Nasional (Barnas). Dalam Pemilu 2009 lalu, Barnas hanya menempati urutan 16 besar. Gempar yang calon legislator di urutan 1 daerah pemilihan Jawa Timur VIII juga gagal jadi anggota DPR.
Ia pernah disebut-sebut sebagai satrio piningit, suatu mitos calon pemimpin masa depan dalam ramalan Jayabaya, tapi Gempar mengaku setidaknya saat ini belum berambisi menjadi presiden. Ketika Pemilu 2004, sikapnya sempat disalahartikan para wartawan, hingga ditulis di media siap menjadi calon presiden. Fotonya juga dijejerkan dengan anak-anak Soekarno lain yang mencalonkan diri.
"Waktu itu saya ditanya wartawan, saya jawab, 'Insya Allah'," katanya menjelaskan peristiwa itu. Padahal berniat saja belum. Walau cuma kesalahpaman, tapi menurutnya berita itu sempat kubu salah satu kakaknya yang mencalonkan diri, menjadi meradang.
Tentang mitos satrio piningit, Gempar mencoba menyikapinya secara lebih bijaksana. Satrio piningit menurutnya adalah bentuk kepemimpinan yang mampu mendatangkan pembaruan dan kemakmuran kepada rakyat. Bisa saja mulai dari Hayam Wuruk, Amangkurat I, Soekarno, termasuk Soeharto. "Kalau saya disebut begitu, 'amin' sajalah. Kan tidak rugi disebut satrio piningit." Kata Gempar santai.
Soekarno Minta Disuapi
Dalam
ingatan Jetje Langelo, seperti diceritakan Gempar Soekarno Putra,
Soekarno merupakan pribadi yang menarik, kharismatis, dan berwibawa.
Pembawaan itu yang membuat Jetje takluk pada kemauan Sang Proklamator
untuk mengawininya, meski sebenarnya Soekarno telah memiliki Ibu Negara,
Fatmawati. Jetje yang berdarah Minahasa, penganut Kristen taat pula, akhirnya mau menikah dengan cara Islam.Namun di balik sosok salah satu pemimpin yang amat disegani di dunia itu, Soekarno ternyata amat romantis dan manja. Jika berkunjung ke Manado dan menemui istrinya, ia selalu minta untuk dilayani sepenuhnya. Di kamar yang selalu berbau wangi bunga melati, tidak seorang pun boleh masuk. Saat mandi, hanya Jetje yang boleh menyiapkan bak mandi, menggosok dan mengelap dengan handuk.
Begitu pula saat acara makan. Saat berdua saja dengan istrinya, Soekarno selalu minta agar istrinya mencoba dulu makanan dan minuman yang akan dimakannya. Bahkan pernah suatu kali, karena Soekarno sibuk membaca, Jetje diminta untuk menyuapinya. Persis seperti anak kecil yang manja, begitu menurut penuturan Gempar.
Dimuat di: Majalah INTISARI, November 2009
Foto: Sabar Basuki/INTISARI
Senin, 02 April 2012
Selasa, 06 Maret 2012
Selasa, 21 Februari 2012
Budisan's Blog: Balada Politikus Muda
Budisan's Blog: Balada Politikus Muda: Balada Politikus Muda Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN Sumber : KOMPAS, 18 Februari 2012 Betapa ”eloknya” perjalanan ...
Selasa, 14 Februari 2012
MARSINGGO - KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang
berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan
Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada
masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.
Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja
Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi
perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas
bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam
babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi
dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu
Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah
kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya
diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.
Perkembangan Kerajaan Kediri
Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh
menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga
Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak
Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang
ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan
Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya
(1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan
oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.
Runtuhnya Kediri
Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit
kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin
pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura.
Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya
untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun
1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk
membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden
Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol
dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur
Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan.
Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.


Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.
Runtuhnya Kediri

MARSINGGO - Presiden Indonesia yang terlupakan
Written By bangdex on 14 Mei 2011 | 22:41
![]() |
Syafruddin Prawiranegara |
1. Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (Banten, 28 Februari 1911 - 15 Februari 1989) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.
Perjalanan hidup
Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (Banten, 28 Februari 1911 - 15 Februari 1989) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.
Perjalanan hidup
Dua kali menjadi menteri keuangan, satu kali menteri kemakmuran, dan satu kali wakil perdana menteri, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta.
"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah," ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.
Namanya sangat populer pada 1950-an. Pada Maret 1950, misalnya, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin. Namun, Syafruddin juga yang membentuk pemerintahan darurat RI, ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. "Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Akhirnya, Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta," tuturnya.
Di masa kecilnya akrab dengan panggilan "Kuding", dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.
Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi -- "Ingin menjadi orang besar," katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia). Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Dari delapan anaknya, Syafruddin mempunyai sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir di Australia sebagai bayi tabung pertama keluarga Indonesia, 1981. Istrinya, Nyonya T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara, wanita kelahiran Aceh, meninggal dunia pada Agustus 2006.
Biodata
* Pendidikan:
1. ELS (1925)
2. MULO,Madiun (1928)
3. AMS, Bandung (1931)
4. Rechtshogeschool, Jakarta (1939)
* Karir:
1. Pegawai Siaran Radio Swasta (1939-1940)
2. Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942)
3. Pegawai Departemen Keuangan Jepang
4. Anggota Badan Pekerja KNIP (1945)
5. Wakil Menteri Keuangan (1946)
6. Menteri Keuangan (1946)
7. Menteri Kemakmuran (1947)
8. Perdana Menteri RI (1948)
9. Ketua Pemerintah Darurat RI (1948)
10. Wakil Perdana Menteri RI (1949)
11. Menteri Keuangan (1949-1950)
12. Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia (1951)
13. Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM) (1958)
14. Pimpinan Masyumi (1960)
15. Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
16. Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984-1989)
Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau Presiden sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 19 Desember 1948 - 13 Juli 1949
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 28 Februari 1911
Meninggal : 15 Februari 1989 (umur 77)
Suami/Istri : T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara
Agama : Islam
![]() |
Mr. Assaat |
2. Assat
Mr. Assaat (18 September 1904 - 16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
Mr. Assaat dilahirkan di dusun pincuran landai kanagarian Kubang Putih Banuhampu adalah orang sumando Sungai Pua, menikah dengan Roesiah, wanita Sungai Pua di Rumah Gadang Kapalo Koto, yang telah meninggalkan beliau pada 12 Juni 1949, dengan dua orang putera dan seorang puteri.
Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.
Mungkin generasi muda sekarang kurang atau sedikit sekali mengenal perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot demokrat yang tidak kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankanRepublik Indonesia. Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar biasa.
Ia tetap berdiri pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah semangat. Sejak ia terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak pernah terlepas dari tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.
Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya selama revolusi sedang berkobar telah dua kali mengadakah hijrah. Pertama di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Karena perjuangan bertambah hangat, demi kelanjutan Revolusi Indonesia, sekitar tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta.
Kemudian pada tahun itu juga KNIP dan Badan Pekerja, pindah ke Purworejo, Jawa Tengah. Ketika situasi Purworejo dianggap kurang aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat inilah Mr. Assaat sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama berselang dia ditunjuk menjadi ketua KNIP beserta Badan Pekerjanya.
Diasingkan
Api revolusi mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 terus menggelora. Belanda dengan kekuatan militernya melancarkan apa yang mereka namakan AgresiMiliter II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di Manumbing di Pulau Bangka.
Rambutnya bertambah putih, karena uban makin melebat sejak diasingkan di Manumbing dan Mr. Assaat mulai memelihara jenggot. Assaat bukan ahli pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan bagi kepentingan perjuangan semua dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh, itulah sebabnya dia disenangi dan disegani oleh kawan dan lawan politiknya.
Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan tentang pribadinya, antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, cukup dengan panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan demikian memang agak canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja saya "Bung Presiden". Di sinilah letak kesederhanaan Assaat sebagai seorang pemimpin.
Hal itu tergambar pula dengan ketaatannya melaksanakan perintah agama, yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan dia termasuk seorang pemimpin yang sangat menghargai waktu, sama halnya dengan Bung Hatta.
Latar belakang Mr. Assaat
Assaat belajar di sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta. Karena jiwanya tidak terpanggil menjadi seorang dokter, ditinggalkannya STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melajutkan studinya ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta.
Ketika menjadi mahasiswa RHS inilah, beliau memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, ialah gerakan pemuda dan politik. Masa saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karir politiknya makin menanjak lalu berhasil menduduki kursi anggota Pengurus Besar dari "Perhimpunan Pemuda Indonesia". Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih mejadi Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda".
Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat memasuki pula gerakan politik "Partai Indonesia" disingkat Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo seperti: Adnan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dll.
Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, akhirnya tercium oleh profesornya dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walaupun setelah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan demikian, gelora pemudanya makin bergejolak, dia putuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar "Meester in de Rechten" (Mr) atau Sarjana Hukum.
Praktek Advokat
Sebagai seorang non kooperator terhadap penjajahan Belanda, sekembalinya ke tanah air di tahun 1939 Mr. Assaat berpraktek sebagai advokat hingga masuknya Jepang tahun 1942. Di zaman Jepang dia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
Dalam sejarah perjuangannya ikut menegakkan Republik Proklamasi, beberapa catatan mengenai Assaat ialah: tahun 1946-1949 (Desember) menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Desember 1949 hingga Agustus 1950 menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950 negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.
Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. "Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik Indonesia," ujar Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004.
Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), sampai ia duduk dalam Kabinet Natsir jadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet Natsir bubar, kembali jadi anggota Parlemen, semenjak itulah Assaat kurang terdengar namanya dalam bidang politik.
Pada tahun 1955 namanya muncul lagi di permukaan, sebagai formatur Kabinet bersama Dr. Soekiman Wirjosandjojo dan Mr. Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terhembus angin politik begitu kencang, daerah-daerah kurang puas dengan beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah menyokong Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena formal politis waktu itu, Parlemen menolaknya.
Menentang Komunis
Ketika Demokrasi Terpimpin dicetuskan Soekarno, Assaat sebagai demokrat dan orang Islam menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, tetapi yang ditentangnya politik Bung Karno yang seolah-olah memberi angin pada Partai Komunis Indonesia.
Mr. Assaat saat itu merasakan jiwanya terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah tak lain dari diktator terselubung, ia selalu diintip oleh intel serta orang-orang PKI. Kemudian dengan cara menyamar sebagai orang "akan berbelanja" bersama dengan keluarganya naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan dengan naik becak menuju Stasion Tanah Abang.
Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Dia berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu Sumatra Selatan sudah dibentuk "Dewan Gajah" yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk "Dewan Banteng". Kol. Simbolon mendirikan "Dewan Gajah" di Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual membangun "Dewan Manguni" di Sulawesi.
Akhirnya dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang telah diselimuti oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Assaat yang ketika itu sudah tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.
Upacara Kebesaran
Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr. Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Akhirnya dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani "hidup" di dalam penjara "Demokrasi Terpimpin" selama 4 tahun dari tahun 1962-1966. Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
Perdana menteri pertama Republik Indonesia atau Presiden Sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 18 September 1904 Dusun Pincuran Landai,kanagarian Kubang Putih, Banuhampu, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal : 16 Juni 1976 (umur 71)
Suami/Istri : Roesiah
Agama : Islam
==================================
Kenapa nama mereka nyaris "terhapus" dari buku-buku sejarah?
Mr. Assaat (18 September 1904 - 16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
Mr. Assaat dilahirkan di dusun pincuran landai kanagarian Kubang Putih Banuhampu adalah orang sumando Sungai Pua, menikah dengan Roesiah, wanita Sungai Pua di Rumah Gadang Kapalo Koto, yang telah meninggalkan beliau pada 12 Juni 1949, dengan dua orang putera dan seorang puteri.
Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.
Mungkin generasi muda sekarang kurang atau sedikit sekali mengenal perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot demokrat yang tidak kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankanRepublik Indonesia. Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar biasa.
Ia tetap berdiri pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah semangat. Sejak ia terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak pernah terlepas dari tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.
Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya selama revolusi sedang berkobar telah dua kali mengadakah hijrah. Pertama di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Karena perjuangan bertambah hangat, demi kelanjutan Revolusi Indonesia, sekitar tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta.
Kemudian pada tahun itu juga KNIP dan Badan Pekerja, pindah ke Purworejo, Jawa Tengah. Ketika situasi Purworejo dianggap kurang aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat inilah Mr. Assaat sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama berselang dia ditunjuk menjadi ketua KNIP beserta Badan Pekerjanya.
Diasingkan
Api revolusi mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 terus menggelora. Belanda dengan kekuatan militernya melancarkan apa yang mereka namakan AgresiMiliter II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di Manumbing di Pulau Bangka.
Rambutnya bertambah putih, karena uban makin melebat sejak diasingkan di Manumbing dan Mr. Assaat mulai memelihara jenggot. Assaat bukan ahli pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan bagi kepentingan perjuangan semua dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh, itulah sebabnya dia disenangi dan disegani oleh kawan dan lawan politiknya.
Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan tentang pribadinya, antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, cukup dengan panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan demikian memang agak canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja saya "Bung Presiden". Di sinilah letak kesederhanaan Assaat sebagai seorang pemimpin.
Hal itu tergambar pula dengan ketaatannya melaksanakan perintah agama, yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan dia termasuk seorang pemimpin yang sangat menghargai waktu, sama halnya dengan Bung Hatta.
Latar belakang Mr. Assaat
Assaat belajar di sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta. Karena jiwanya tidak terpanggil menjadi seorang dokter, ditinggalkannya STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melajutkan studinya ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta.
Ketika menjadi mahasiswa RHS inilah, beliau memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, ialah gerakan pemuda dan politik. Masa saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karir politiknya makin menanjak lalu berhasil menduduki kursi anggota Pengurus Besar dari "Perhimpunan Pemuda Indonesia". Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih mejadi Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda".
Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat memasuki pula gerakan politik "Partai Indonesia" disingkat Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo seperti: Adnan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dll.
Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, akhirnya tercium oleh profesornya dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walaupun setelah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan demikian, gelora pemudanya makin bergejolak, dia putuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar "Meester in de Rechten" (Mr) atau Sarjana Hukum.
Praktek Advokat
Sebagai seorang non kooperator terhadap penjajahan Belanda, sekembalinya ke tanah air di tahun 1939 Mr. Assaat berpraktek sebagai advokat hingga masuknya Jepang tahun 1942. Di zaman Jepang dia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
Dalam sejarah perjuangannya ikut menegakkan Republik Proklamasi, beberapa catatan mengenai Assaat ialah: tahun 1946-1949 (Desember) menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Desember 1949 hingga Agustus 1950 menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950 negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.
Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. "Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik Indonesia," ujar Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004.
Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), sampai ia duduk dalam Kabinet Natsir jadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet Natsir bubar, kembali jadi anggota Parlemen, semenjak itulah Assaat kurang terdengar namanya dalam bidang politik.
Pada tahun 1955 namanya muncul lagi di permukaan, sebagai formatur Kabinet bersama Dr. Soekiman Wirjosandjojo dan Mr. Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terhembus angin politik begitu kencang, daerah-daerah kurang puas dengan beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah menyokong Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena formal politis waktu itu, Parlemen menolaknya.
Menentang Komunis
Ketika Demokrasi Terpimpin dicetuskan Soekarno, Assaat sebagai demokrat dan orang Islam menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, tetapi yang ditentangnya politik Bung Karno yang seolah-olah memberi angin pada Partai Komunis Indonesia.
Mr. Assaat saat itu merasakan jiwanya terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah tak lain dari diktator terselubung, ia selalu diintip oleh intel serta orang-orang PKI. Kemudian dengan cara menyamar sebagai orang "akan berbelanja" bersama dengan keluarganya naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan dengan naik becak menuju Stasion Tanah Abang.
Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Dia berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu Sumatra Selatan sudah dibentuk "Dewan Gajah" yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk "Dewan Banteng". Kol. Simbolon mendirikan "Dewan Gajah" di Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual membangun "Dewan Manguni" di Sulawesi.
Akhirnya dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang telah diselimuti oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Assaat yang ketika itu sudah tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.
Upacara Kebesaran
Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr. Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Akhirnya dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani "hidup" di dalam penjara "Demokrasi Terpimpin" selama 4 tahun dari tahun 1962-1966. Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
Perdana menteri pertama Republik Indonesia atau Presiden Sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 18 September 1904 Dusun Pincuran Landai,kanagarian Kubang Putih, Banuhampu, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal : 16 Juni 1976 (umur 71)
Suami/Istri : Roesiah
Agama : Islam
==================================
Kenapa nama mereka nyaris "terhapus" dari buku-buku sejarah?
http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=37570
Langganan:
Postingan (Atom)