.
Melacak
Warisan Budaya Cina Di Lasem
Oleh : Titiek Suliyati
I.
Pendahuluan
Nama Lasem sudah terkenal dari sejak pertengahan abad
XIV. Pertama tercatat sebagai kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan
Majapahit, yang diperintah oleh seorang ratu kerabat raja Hayam Wuruk yaitu
Ratu Dewi Indu atau lebih dikenal dengan Bhre Lasem.[1]
Kedua, Lasem sering disebut sebagai miniatur negeri Cina karena di sana
terdapat beberapa kelenteng dan rumah-rumah dengan arsitektur khas Cina dan aktivitas
budaya masyarakatnya yang masih kental dengan pengaruh budaya Cina. Ketiga,
masyarakat Cina di Lasem yang jumlahnya cukup besar mampu berasimilasi dan
beradaptasi dengan masyarakat setempat dan
etnis lainnya serta mampu menciptakan karya-karya budaya yang khas.
Terbentuknya
komunitas Cina di Lasem melalui proses sejarah yang panjang. Diawali dengan
hubungan dagang antara kerajaan Cina dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada sekitar awal abad ke-5 Masehi[2].
Hubungan dagang ini tentu melibatkan kota-kota pesisir yang ada di bawah
kekuasaan kerajaan-kerajaan yang berkuasa saat itu. Kota-kota di pesisir utara
Jawa yang menjadi tempat persinggahan dan pemukiman para pedagang Cina yang paling awal antara lain Tuban, Lasem,
Rembang, Jepara, Demak, Semarang, Banten, Jakarta dan lain sebagainya[3].
Pada masa pemerintahan dinasti Ming yang
berlangsung tahun 1368 – 1643, orang Cina dari Yunnan semakin banyak yang
melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah di luar Cina termasuk Indonesia dengan
tujuan untuk melakukan perdagangan. Pada perkembangannya kemudian kekuasaan
Dinasti Ming berusaha memasukkan wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia dalam
wilayah protektoratnya. Salah seorang yang mendapat mandat untuk memimpin
armada laut untuk melakukan perjalanan
ke Indonesia adalah Cheng Ho. Dari tujuh kali pelayarannya ke Indonesia, Cheng
Ho melakukan enam kali pelayaran ke Jawa.
Orang-orang Cina yang datang ke
Indonesia pada umumnya dan di wilayah
pesisir utara Jawa khususnya, sebagian besar berasal dari propinsi
Fukien/Fujian dan Kwang Tung. Mereka ini terdiri dari berbagai
suku bangsa yaitu Hokkian, Hakka, Teociu dan Kanton. Mereka mempunyai bidang keahlian yang berbeda-beda,
yang nantinya dikembangkan di tempat
baru (Indonesia). Orang
Hokkian merupakan orang Cina yang paling awal dan paling besar jumlahnya sebagai imigran. Mereka mempunyai budaya dan
tradisi dagang yang kuat sejak dari daerah asalnya. Orang Teociu yang berasal dari daerah pedalaman Swatow di
bagian timur propinsi Kwantung mempunyai keahlian di bidang pertanian, sehingga
mereka banyak tersebar di luar Jawa. Orang
Hakka/Khek berasal dari daerah
yang tidak subur di propinsi Kwang Tung, sehingga mereka berimigrasi karena
kesulitan hidup. Di antara orang-orang Cina yang datang ke Indonesia mereka
merupakan golongan yang paling miskin. Orang-orang Hakka dan orang-orang Teociu
sebagian besar bekerja di daerah-daerah pertambangan di Indonesia seperti
Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Sumatra. Perkembangan kota-kota besar di
Jawa seperti kota Jakarta dan dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Cina
telah menarik minat orang-orang Hakka dan Teociu untuk pindah ke Jawa Barat [4]. Pada perkembangannya kemudian mereka menyebar dan menetap di kota-kota lain
di Jawa. Orang Kanton yang mempunyai keahlian di bidang pertukangan dan
industri datang ke Indonesia dengan modal finansial dan ketrampilan yang cukup,
sehingga di tempat yang baru mereka dapat mengembangkan usaha di bidang
pertukangan, industri, rumah makan, perhotelan dan lain sebagainya [5].
Selain suku-suku tersebut di atas, ada
beberapa suku dari Cina yang lain dalam jumlah kecil seperti Ciangcu, Cuanciu,
Hokcia, Hai Lu Hong, Hinghua, Hainan,
Shanghai, Hunan, Shantung, tersebar diberbagai daerah di Indonesia [6]. Ada beberapa suku yang walaupun jumlahnya
kecil, tetapi menyebar hampir di setiap kota di Jawa yaitu suku Kwangsor,
Hokchins dan Hokcia. Mereka ini mempunyai keahlian berdagang, sehingga di
tempat yang baru mereka menguasai perdagangan tingkat menengah [7].
Masyarakat Cina Lasem diperkirakan sebagaian besar berasal Kabupaten
Zhangzhou, propinsi Fujian, karena
pemujaan pada beberapa tokoh yang dimuliakan di kelenteng-kelenteng tersebut
mengikuti tata cara pemujaan seperti di kelenteng-kelenteng di propinsi Fujian.
Sejarah panjang
keberadaan masyarakat Cina di Lasem memberikan warna dan keunikan terhadap
bentuk dan struktur kota Lasem. Demikian pula adaptasi masyarakat Cina Lasem
dengan penduduk setempat maupun dengan penduduk dari etnis lain telah memberi
warna terhadap budaya dan aktivitas
masyarakat Cina khususnya dan masyarakat Lasem pada umumnya. Tulisan ini
mengupas tentang perkembanagn budaya Cina di Lasem yang memiliki keunikan yang
dapat dijadikan sebagai identitas daerah.
II. Pecinan dan Kelenteng
Sebagai kota kerajaan
Lasem pada awalnya adalah kota dagang yang cukup ramai. Perkembangan Lasem
sangat ditunjang oleh penguasa yang berhasil menciptakan kondisi yang mendukung
keamanan dan kenyamanan aktivitas perdagangan. Selain itu kondisi geografis
yang sangat strategis yaitu terletak di antara dua ibukota propinsi dan
memiliki sungai yang memadai untuk sarana angkutan niaga ke wilayah pedalaman, menjadikan Lasem
sebagai tujuan utama para imigran untuk mencari penghidupan dan menjadi pilihan
sebagai tempat bermukim.
Pada awal perkembangannya, yaitu sekitar
abad XIV Lasem memiliki dua pusat kota
yang merupakan pusat aktivitas, yaitu keraton sebagai pusat pemerintahan dan
Pecinan yang terletak ditepi kali Lasem sebagai pusat perdagangan. Pecinan
sebagai kawasan perdagangan juga berfungsi sebagai pemukiman masyarakat
Cina. Perkembangan pemukiman masyarakat
Cina diikuti dengan pembangunan kelenteng sebagai sarana untuk melakukan ibadah
dan pemujaan kepada leluhur dan T’ian,
serta untuk aktivitas sosial dan budaya.
Pecinan dan kelenteng adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Cina di Indonesia. Pecinan adalah sebutan untuk kawasan
pemukiman masyarakat Cina dengan ciri khas budaya dan tradisi dari negara asal
mereka. Kelenteng adalah bangunan untuk peribadatan dan pemujaan dewa-dewi
dalam kepercayaan atau agama Tri Dharma
(Tao-Konfusius-Budha). Selain sebagai tempat peribadatan, kelenteng berfungsi
sebagai media ekspresi untuk menampilkan eksistensi budaya masyarakat Cina[8]. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa, pada
masa awal pembentukan kawasan Pecinan sampai saat ini, identitas/citra kawasan
Pecinan adalah kelenteng-kelenteng yang terdapat di kawasan tersebut. Demikian
pula sebaliknya, lokasi tempat kelenteng berdiri berada di sekitar pemukiman masyarakat Cina (Pecinan).
Sebutan kelenteng untuk bangunan tempat ibadah masyarakat Cina, sulit
ditelusuri asal-usulnya. Sebagian
peneliti menyebutkan bahwa, sebutan kelenteng berasal dari bunyi genta kecil
maupun besar yang digunakan sebagai perlengkapan peribadatan, yang berbunyi “klinting-klinting” atau “klonteng-klonteng”. Sebagian lagi berpendapat bahwa kelenteng berasal dari kata “Yin Ting” atau “Guan Yin Ting”, yang artinya
tempat ibadah Dewi Kwan Im [9].
Masyarakat Cina
di Indonesia umumnya dan di Lasem khususnya, dalam membangun pemukiman dan
bangunan-bangunan lain berpegang pada prinsip pengaturan tata ruang yang
selaras dengan lingkungan sekitar. Konsep tata ruang dalam tradisi Cina
adalah feng shui atau hong shui.
Feng adalah angin dan shui adalah air. Jadi pengertian feng shui adalah konsep pengaturan tata
ruang yang menyelaraskan kondisi lingkungan dengan aliran udara (angin) dan air
yang ada di sekitar kita. Latar belakang penerapan feng
shui pada tata ruang kawasan Pecinan dapat kita lihat pada elemen yang terkait dengan struktur alamiah
yang sudah terbentuk dan menjadi bagian dari kawasan tersebut seperti sungai,
tanah atau lokasi dan elemen-elemen
bangunan yang diwakili oleh bangunan rumah tinggal, bangunan toko, bangunan
kelenteng dan jalan.
Diperkirakan pada abad XVII aturan-aturan feng shui telah diterapkan untuk mengatur
tata letak kelenteng, rumah tinggal maupun ruko (rumah-toko)[10].
Kelenteng sebagai tempat pemujaan dewa-dewi
memiliki keistimewaan dalam fungsi dan makna. Oleh sebab itu
elemen-elemen yang terdapat dalam
kelenteng mengandung makna-makna simbolik yang mewakili unsur yin-yang. Ciri yang menonjol pada
kelenteng adalah :
-
Penggunaan
warna merah yang melambangkan kebahagiaan/kegembiraan (berunsur yang), biru/hijau yang melambangkan
pertumbuhan dan perkembangan (berunsur yang),
putih yang melambangkan kesucian dan kesempurnaan (berunsur yin), kuning melambangkan keseimbangan
(berunsur yin-yang) dan hitam
melambangkan kemunduran/kehancuran/kematian
(berunsur yin).
-
Terdapat
patung-patung atau lukisan binatang
yaitu antara lain burung phoenix merah /burung hong yang melambangkan kebahagiaan/kegembiraan (berunsur yang) serta menunjukkan arah selatan,
naga hijau yang melambangkan kekuatan/keperkasaan serta menunjukkan arah timur,
kura-kura hitam melambangkan kemuraman/kesedihan dan menunjukkan arah utara,
macan putih melambangkan kemapanan/ketenangan/kemandirian dan menunjukkan arah
barat.
Hubungan antara
simbol warna, arah/posisi dan binatang dapat kita lihat pada tabel di
bawah ini :
Warna, Arah/Posisi dan Unsur
5 Binatang[11]
5 Binatang
|
Warna
|
Posisi
|
Unsur
|
Kura-Kura
Naga
Phoenix
Ular
Macan
|
Hitam
Hijau
Merah
Kuning
Putih
|
Utara
Timur
Selatan
Pusat
Barat
|
Air
Kayu
Api
Tanah
Logam
|
Kelenteng di berbagai kawasan Pecinan di
Indonesia menjadi land mark atau tengeran dan bahkan dapat menjadi identitas kota,
karena kelenteng dibangun dengan aturan dan ciri-ciri khusus yang membedakannya
dengan bangunan rumah tinggal masyarakat Cina lainnya
Bangunan kelenteng dan rumah tinggal di
lingkungan komunitas Cina, tidak terkecuali di kota Lasem mengacu pada konfigurasi lingkungan alam
sekitar ( letak gunung, perbukitan, sungai dan dataran landai ) seperti
berikut:
-
Kedudukan
arah utara (kura-kura) yang
dilambangkan sebagai pelindung harus
berupa perbukitan yang kokoh. Bila lokasi kawasan atau bangunan rumah/kelenteng
tidak berada pada daerah perbukitan, maka gunung atau bukit dapat digantikan
dengan posisi pepohonan atau gedung- gedung bertingkat yang ada di lokasi
tersebut.
-
Kedudukan
arah timur (naga) harus berupa pegunungan yang kokoh dan luas. Pada situasi
yang tidak memungkinkan kondisi seperti tersebut di atas, posisi naga harus
lebih kokoh atau lebih menonjol
dibandingkan posisi macan/harimau, karena naga bersifat yang dan macan bersifat yin
-
Kedudukan
arah selatan (burung phoenix) harus
berupa tanah yang landai dan luas.
Konfigurasi tata letak bangunan yang baik menurut
feng shui dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
|
Gambar 1 .Tata Letak/Posisi Rumah
Yang Baik Menurut Feng Shui.[12]
|
|
||||
Gambar 2. Konfigurasi Kawasan Yang Baik Menurut Feng Shui[13]
Di Lasem terdapat tiga kelenteng
yang letaknya berdekatan dengan sungai Lasem yaitu kelenteng Cu An Kiong yang
terletak di Jalan Dasun No.19 Lasem,
kelenteng Gie Yong Bio, yang terletak di Jl. Babagan No.7 lasem dan kelenteng
Poo An Bio, yang terletak di Jl. Karangturi VII/13, Lasem. Melihat nama-nama
kelenteng yang mengandung kata Bio
dan Kiong, maka dapat disebutkan bahwa kelenteng-kelenteng yang ada di Lasem adalah kelenteng Tao atau Confusius dan kelenteng marga. Kelenteng-kelenteng tersebut juga
dibedakan berdasarkan fungsi dan tujuan pendiriannya, yaitu kelenteng umum dan kelenteng marga.
Letak
kelenteng yang berdekatan dengan sungai mengandung multi makna yaitu :
-
Dalam kepercayaan masyarakat Cina, air merupakan unsur yang penting. Air
dalam pengertian ini adalah air yang terbentuk secara alami, seperti sungai,
danau, air laut, air terjun dan sebagainya. Unsur air alami yang ada di sekitar
kawasan Pecinan adalah sungai/kali Lasem, yang oleh masyaarkat Cina juga
dipercaya mempunyai kaitan dengan feng shui. Dalam konsep feng shui air yang harmonis akan
menciptakan energi atau chi yang
baik, yang akan membawa keberuntungan pada manusia yang ada di sekitarnya.
-
Sungai
pada masa itu merupakan sarana transportasi air yang sangat efektif untuk jalur
niaga dan distribusi barang dari wilayah pedalaman ke kota dan sebaliknya..
Kawasan di sekitar sungai pada akhirnya menjadi bandar niaga yang ramai dan
sebagai hunian komunitas Cina.
Keberadaan
kelenteng di Lasem tidak hanya merefleksikan aktivitas sprituan dan kepercayaan
masyarakat Cina di Lasem, tetapi juga merupakan refleksi seluruh aktivitas
budaya, sosial, ekonomi dan politik masyarakat Cina.
Dinamika budaya
masyarakat Cina di Lasem meninggalkan jejak keindahan yang memperkaya budaya
Indonesia secara keseluruhan, baik budaya yang bersifat fisik maupun budaya non
fisisk .
II. Kehidupan Masyarakat Cina Di Lasem
- Cina Totok
Masyarakat Cina di Indonedia pada umumnya
dan masyarakat Cina di Lasem khususnya, telah sangat lama berinteraksi dengan
masyarakat setempat. Interaksi dua budaya ini menimbulkan dampak yang luas
yaitu telah terjadi percampuran atau asimilasi budaya yang cukup komplek. Salah
satu dampak dari asimilasi budaya ini
adalah bahwa masyarakat Cina terbagi dalam dua kelompok yaitu Cina totok dan Cina peranakan.
Cina
totok adalah orang Cina asli yang datang
ke Indonesia sejak awal. Mereka menikah
dengan wanita yang berasal dari negerinya (Cina asli). Meraka belum beradaptasi
dengan budaya setempat dan masih melakukan tradisi serta kebiasaan dari negeri
asalnya. Cina peranakan adalah orang Cina yang lahir dari perkawinan antara
orang Cina (biasanya laki-laki) dengan penduduk setempat. Mereka sudah
melakukan kebiasaan dan tradisi setempat dan menguasai bahasa setempat dengan
baik serta menenpuh pendidikan di sekolah-sekolah Barat atau sekolah umum. Cina
totok menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Cina yang didirikan khusus untuk
mendidik masyarakat Cina dengan
pendidikan model Cina.
Golongan
Cina totok yang merupakan pendatang dari Cina sejak awal, bermukim di
pusat-pusat kota dalam kelompok rumah deret yang juga dijadikan sebagai tempat
usaha. Dalam lingkungan masyarakat dan keluarga golongan Cina totok masih
mengikuti pola tata masyarakat dan keluarga yang berakar dari negara asalnya.
Ajaran Konfusius dan Tao secara tegas dilaksanakan untuk mengatur hubungan
keluarga dan hubungan-hubungan sosial lainnya.
Sistim
kekerabatan dalam keluarga Cina totok adalah patrilineal. Dengan demikian
kedudukan anak laki-laki menjadi sangat penting karena mereka sebagai penerus
garis keturunan keluarga. Perlakuan terhadap anak-laki dan anak perempuan dalam
keluarga Cina totok sangat berbeda. Anak
perempuan dituntut berperilaku pasif, diam, lembut, penurut, melayani. Dalam
usia dini anak perempuan sudah diperlakukan sebagai pihak yang harus tunduk
pada tradisi. Suatu contoh adalah bahwa anak perempuan sejak kecil sudah diikat
atau dibebat telapak kakinya agar tidak membesar kakinya. Kaki yang kecil oleh
masyarakat Cina dianggap sebagai bentuk kaki yang indah dan dengan bentuk kaki
yang kecil ini anak perempuan berjalan pelan dan lemah gemulai. Demi mencapai
hal yang dianggap indah, kesakitan dan penyikasaan dalam waktu lama harus
dialami wanita. Keindahan lahiriah diperlukan sebagai upaya
untuk menyenangkan dan memuaskan
para lelaki. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang apapun keadaan dirinya,
selalu diterima oleh perempuan sebagai anugerah.
Ketika
anak perempuan menginjak usia remaja, gerak dan aktivitasnya di luar rumah
mulai dibatasi. Aktivitas perempuan Cina dari golongan masyarakat Cina totok
terbatas pada aktivitas di lingkungan rumah tangga dan keluarga. Dengan
demikian pendidikan yang diberikan kepada mereka adalah pendidikan yang terkait
dengan ketrampilan mengurus rumah tangga dan pendidikan anak. Pada jaman dahulu
aktivitas yang berkaitan dengan upaya pencarian nafkah hanya dilakukan oleh
para suami. Saat ini di lingkungan masyarakat Cina Totok, aktivitas ekonomi
juga dilakukan para istri dan anak-anak perempuan tetapi terbatas pada aktivitas ekonomi yang dilakukan dalam rumah
tangga. Aktivitas ekonomi yang dilakukan perempuan Cina menghasilkan/membuat
barang-barang yang berkaitan dengan dunia perempuan, seperti makanan/minuman,
barang kerajinan, pakaian dan lain sebagainya.
Pada
jaman dahulu hak untuk memilih dan menentukan teman hidup bagi perempuan Cina
yang telah memasuki usia matang sangat terbatas. Perjodohan dan pernikahan
diatur oleh orang tua kedua belah pihak.
Sering terjadi kedua mempelai bertemu dan saling kenal pada saat
pernikahan. Saat ini boleh dikatakan sangat jarang perkawinan dan
perjodohan yang diatur oleh orang tua[14].
Perempuan Cina setelah menikah harus
tunduk, patuh dan setia kepada suami dan keluarga besarnya. Ia harus tinggal
bersama dalam satu rumah dengan keluarga suami. Dalam aktivitas keluarga besar
suami, perempuan Cina bertugas melayani seluruh anggota keluarga besar dan
menjaga harmoni hubungan antaranggota keluarga. Kedudukan perempuan Cina dalam
keluarga juga sangat lemah. Ia dapat saja diceraikan atau dimadu oleh suaminya
karena tidak dapat melahirkan anak laki-laki yang menjadi penerus keluarga.
Dalam
keluarga Cina totok terjadi ketidakadilan dalam pembagian waris. Warisan hanya
diberikan kepada anak laki-laki. Anak perempuan tidak mendapat warisan karena
setelah menikah ia akan mengikuti dan masuk dalam keluarga suaminya. Demikian juga dalam tradisi merawat abu
jenasah leluhur serta melakukan sembayang pemujaan, hanya menjadi kewajiban
anak laki-laki, terutama anak laki-laki tertua.
- Cina Peranakan
Masyarakat Cina peranakan merupakan
masyarakat Cina moderat, karena pergaulannya dengan masyarakat yang lebih
heterogen dan banyak dari mereka yang telah menempuh pendidikan barat. Masyarakat
Cina peranakan walaupun masih memegang teguh sistim kekerabatan patrilineal,
tetapi mereka memandang kedudukan anak perempuan sama pentingnya dengan anak
laki-laki. Dengan demikian tidak ada perlakuan istimewa untuk anak laki-laki. Kemungkinan
terjadinya perceraian karena istri tidak dapat melahirkan anak laki-laki sangat
kecil.
Anak
perempuan juga mendapat hak untuk mengenyam pendidikan seperti anak laki-laki.
Banyak anak-anak perempuan Cina peranakan yang menempuh pendidikan barat.
Pendidikan telah merubah kedudukan perempuan Cina yang semula terkungkung dan
tidak dihargai menjadi perempuan yang sangat potensial dan maju.
Pendidikan membawa dampak pada lingkungan masyarakat Cina peranakan
yaitu bahwa kekuasaan politik, ekonomi dan sosial terbagi rata antara laki-laki
dan perempuan.
Tradisi
pingitan dan pemilihan jodoh oleh orang tua tidak berlaku lagi di lingkungan masyarakat
Cina peranakan. Perempuan Cina di lingkungan masyarakat Cina peranakan dapat
menentukan sendiri teman hidupnya dan setelah menikah ia dapat menentukan
tempat tinggalnya sendiri. Ia dapat tinggal di rumah suaminya (patrilokal), di
rumah keluarganya sendiri (matrilokal)
atau di rumah pribadi (neolokal).
Dalam
hal hak waris, anak perempuan mendapat hak waris sama besarnya seperti anak
laki-laki. Demikian juga dalam hal merawat abu jenasah leluhur dan pelaksanaan
pemujaan leluhur, anak perempuan juga diberi hak dan kesempatan[15].
Sikap
demokratis dalam keluarga Cina peranakan
sangat menonjol. Tidak ada pembagian yang tegas dalam tugas yang harus
ditangani laki-laki atau perempuan.
Laki-laki (ayah) dapat melakukan tugas-tugas domestik yang meliputi tugas
kerumahtanggaan dan perempuan (ibu) dapat melakukan tugas-tugas di luar
rumah. Yang lebih diutamakan dalam
keluarga adalah keharmonisan lahir dan batin.
Secara
umum di Lasem saat ini tidak tampak perbedaan yang terlalu menyolok antara
golongan masyarakat Cina totok dan Cina
peranakan. Hal ini dapat dimaklumi karena setelah sekian abad menetap di
Indonesai maka keturunan masyarakat Cina totok sudah berasimilasi dengan
masyarakat setempat dan kehidupannya tidak
ekslusif lagi.
- Etos kerja
Keberhasilan di bidang ekonomi dan
perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu antara lain etos kerja yang dipengaruhi oleh kepercayaan yang
sudah berakar dalam kehidupan masyarakar Cina, kebijakan pemerintah Belanda pada
jaman penjajahan, kebijakan pemerintah Indonesia pada jaman setelah kemerdekaan
dan kondisi lingkungan setempat[16]
.
Etos kerja yang hidup dalam lingkungan
masyarakat Cina dipengaruhi oleh kepercayaan Confucius. Ajaran Confucius
menyebutkan bahwa realitas kehidupan di dunia harus benar-benar dilaksanakan
dan diamalkan sehingga akan tercipta hubungan yang harmonis, adil, yang akan
membawa masyarakat pada kehidupan yang ideal. Ajaran Confucius menekankan
penghormatan kepada keluarga, terutama kepada orang tua dan nenek moyang [17]. Bila dalam setiap keluarga terjadi hubungan
yang harmonis, maka dapat diharapkan kehidupan masyarakat luas juga akan
tenteram dan damai. Bakti dan
penghormatan kepada orang tua dan keluarga dihubungkan dengan upaya untuk
mensejahterakan seluruh keluarga, yang harus dilakukan melalui kerja keras.
Bakti dan penghormaran anak kepada orang tua salah satunya diwujudkan dengan prestasi kerja/karya yang
baik[18]
. Dengan demikian kita melihat bahwa ada hubungan antara ajaran Confucius
dengan keluarga dan kerja, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Kerja keras bagi masyarakat
Cina identik dengan upaya untuk membahagiakan orang tua dan leluhur, yang
balasannya adalah pahala dan kesejahteran abadi di akherat kelak. Selain itu
ajaran Confucius juga mengajarkan kesederhanaan, sikap hemat, disiplin, tekun
dan teliti, yang kesemuanya sangat menunjang keberhasilan usaha perdagangan
yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Indonesia.
Kemajuan dan keberhasilan
usaha perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina ditunjang oleh kebijakan
pemerintah Hindia Belanda yang memberi mereka peran sebagai pedagang perantara dan status sebagai
warga Timur Asing yang kedudukannya lebih tinggi dari status pribumi. Pada perkembangan selanjutnya
orang-orang Cina diberi peran yang cukup besar dalam kegiatan eksport dan perdagangan dalam negeri[20].
Kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda ini mengakibatkan orang-orang Cina
lebih siap dalam persaingan perdagangan ketika pemerintah Hindia Belanda
meninggalkan Indonesia. Pemberian status sebagai warga Timur Asing berdampak
pada sikap superior dan ekslusif orang-orang Cina, sehingga dalam aktivitas
ekonomipun mereka membentuk jaringan antar sesama warga Cina. Selain itu bisnis
yang dilakukan oleh orang-orang Cina mempunyai ciri khas, yaitu sebagian besar
bisnis mereka adalah bisnis keluarga, yang modalnya hanya berputar di antara keluarga dan keteurunan-keturunannya.
Pihak-pihak di luar keluarga dan di luar kelompok masyarakat Cina sangat sulit
masuk dalam bisnis yang dikelola oleh orang-orang Cina ini. Bisnis yang
demikian ini merupakan benteng keluarga dalam
upaya melindungi diri dari serangan atau intervensi pihak-pihak luar[21].
III.
Penutup
Walaupun sesungguhnya keberadaan
masyarakat Cina di Lasem sudah sangat lama, tetapi perjuangan mereka dalam
menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat Indoseia masih terus
berlangsung. Budaya masyarakat Cina yang beraneka warna menjadi sumbangan besar
bagi pengembangan budaya Indonesia. Pemahaman mendalam terhadap golongan
masyarakat Cina perlu diupayakan terus menerus sebagai upaya untuk menciptakan
persatuan dan kesatuan di bumi Indonesia.
Perbedaan budaya hendaknya dimaknai sebagai
keanekaragaman dan kekayaan dari budaya Indonesia secara keseluruhan, bukan
sebagai sumber konflik atau faktor pemisah antara masyarakat Cina dengan
masyarakat Indonesia, sebab bagaimanapun masyarakat Cina adalah bagian dari
masyarakat Indonesia yang mempunyai peran di bidang sosial budaya, ekonomi dan
politik.
Potensi
masyarakat Cina Lasem di bidang sosial budaya, ekonomi hendaknya digali dan
dikembangkan untuk tujuan pendidikan, pelestarian budaya, peningkatan
pendapatan, yang kesemuanya akan menjadi aset daerah dalam pengertian yang
luas.
IV.
Daftar Pustaka
Dawson, Raymond. 1992. Kong Hu Cu. Penata Budaya Karajaan
Langit . Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti.
Dian , 1996.Logika Feng Shui . Konsep Dan Metode Untuk Rumah Tinggal Yang Membawa
Keberuntungan Hidup (Buku Kedua). Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Fung Yu Lan. 1980. Sejarah Pendek Filsafat Tiongkok. Yogyakarta
: Taman Siswa
Gondomono.
1996. Membanting Tulang Menyembah Arwah :
Kehidupan kekotaan Masyarakat Cina. Jakarta
(Depok) : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
[1] Kamzah, R. Panji (1858), Carita (Sejarah) Lasem,
katurun/kajiplak dening R. Panji Karsono (1920), dalam buku Badra Santi, rumpakanipun
mPu Santibadra, hal.10-65.
[2] Poesponegoro
& Notosusanto,1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta : Balai Pustaka,
l.19
[3] Liem
Thian Joe. 1933. Riwayat Semarang.
Semarang-Batavia. Semarang
: Penerbit Ho Kim Yoe. Hal.31
[4] Koentjaraningrat, 2002. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit : Djambatan, hal. 354
[5] Tan, Mely G.1981.
Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu Masalah
Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta
: PT Gramedia., hal. 8-9
[6] Gondomono. 1996. Membanting
Tulang Menyembah Arwah : Kehidupan kekotaan Masyarakat Cina. Jakarta (Depok) :
Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
hal. 17
[7] Hidayat, Z.M.1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di
Indonesia. Bandung
: Penerbit Tarsito, hal. 58
[8]
Handinoto. Lingkungan “Pecinan” Dalam Tata Ruang Kota Di Jawa Pada
Masa Kolonial, dalam DIMENSI TEKNIK
SIPIL Vol. 27, No. 1, Juli 1999 , hal. 27
[9] http://www. radarjogja.co.id/minggu/chinatown/2771-asal-muasal-nama-kelenteng-html
(6
Juni 2009). Dewi Kuan Im dikenal secara luas sebagai Dewi Welas asih. Dalam
agama Budha Dewi Kuan Im adalah Avalokiteswara Bodhisattva, yang tidak hanya
dipuja oleh pemeluk agama Budha, tetapi juga dipuja oleh penganut Tao dan
masyarakat Cina umumnya.
[10] Lombard, Denys, 1996. Nusa Jawa:
Silang
Budaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (jilid 2), hal.
227).
[11] Dian,1996.Logika Feng Shui. Konsep Dan Metode Untuk Rumah Tinggal Yang Membawa
Keberuntungan Hidup (Buku Kedua). Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, hal.31
[12] Ibid, hal. 101
[13] Skinner, Stephen.. 2003. Feng Shui. Ilmu Tata letak Tanah Dan
Kehidupan Cina Kuno. Semarang : Dahara
Prize, hal.104-105
[14] Koentjaraningrat, 2002 Manusia Dan Kebudayaan Di
Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan , hal.362
[15] Tan, Mely G.1981. Golongan
Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu Masalah
Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta : PT Gramedia, hal.12
17. Fung
Yu Lan. 1980. Sejarah Pendek Filsafat
Tiongkok. Yogyakarta : Taman Siswa, hal.13
18.Dawson,
Raymond. 1992. Kong Hu Cu. Penata Budaya
Karajaan Langit
. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti, hal.132.
19.Ibid.
20.Burger, D.H.
1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Jilid I Dan Jilid II. Jakarta : Penerbit Negara Pradnjaparamita, hal.61
[21] Zein, Abdul Baqir.2000. Etnis Cina Dalam Potret Pembauran di Indonesia. Jakarta
: Prestasi Insan Indonesia,
hal.128
Bandung: Penerbit Tarsito.
Kamzah, R. Panji
(1858), Carita (Sejarah) Lasem, katurun/kajiplak dening R. Panji Karsono
(1920), dalam buku Badra Santi, rumpakanipun mPu Santibadra.
Koentjaraningrat, 2002. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta
: Penerbit : Djambatan.
Liem Thian Joe. 1933. Riwayat Semarang. Semarang-Batavia.
Semarang : Penerbit Ho Kim Yoe
Lombard, Denys, 1996. Nusa
Jawa: Silang Budaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (Jilid 2)
Naveront, Jhon K.1997. Jaringan Masyarakat Cina. Jakarta : PT Golden
Terayon Press.
Skinner, 2003 : Skinner,
Stephen.. 2003. Feng Shui. Ilmu
Tata letak Tanah Dan Kehidupan Cina Kuno. Semarang : Dahara Prize, hal.104-105
Tan, Mely
G.1981. Golongan Etnis Tionghoa di
Indonesia. Suatu Masalah Pembinaan
Kesatuan Bangsa . Jakarta : PT
Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar