Senin, 11 Juni 2012

Amanat Presiden kepada rakyat Indonesia


.

 
Melacak Warisan Budaya Cina Di Lasem
Oleh : Titiek Suliyati


I.       Pendahuluan

Nama Lasem sudah terkenal dari sejak pertengahan abad XIV. Pertama tercatat sebagai kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit, yang diperintah oleh seorang ratu kerabat raja Hayam Wuruk yaitu Ratu Dewi Indu atau lebih dikenal dengan Bhre Lasem.[1] Kedua, Lasem sering disebut sebagai miniatur negeri Cina karena di sana terdapat beberapa kelenteng dan rumah-rumah  dengan arsitektur khas Cina dan aktivitas budaya masyarakatnya yang masih kental dengan pengaruh budaya Cina. Ketiga, masyarakat Cina di Lasem yang jumlahnya cukup besar mampu berasimilasi dan beradaptasi dengan masyarakat setempat dan  etnis lainnya serta mampu menciptakan karya-karya budaya yang khas.
            Terbentuknya komunitas Cina di Lasem melalui proses sejarah yang panjang. Diawali dengan hubungan dagang antara kerajaan Cina dengan kerajaan-kerajaan di  Indonesia pada sekitar awal abad ke-5 Masehi[2]. Hubungan dagang ini tentu melibatkan kota-kota pesisir yang ada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan yang berkuasa saat itu. Kota-kota di pesisir utara Jawa yang menjadi tempat persinggahan dan pemukiman para pedagang Cina  yang paling awal antara lain Tuban, Lasem, Rembang, Jepara, Demak, Semarang, Banten, Jakarta dan lain sebagainya[3].  Pada masa pemerintahan dinasti Ming yang berlangsung tahun 1368 – 1643, orang Cina dari Yunnan semakin banyak yang melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah di luar Cina termasuk Indonesia dengan tujuan untuk melakukan perdagangan. Pada perkembangannya kemudian kekuasaan Dinasti Ming berusaha memasukkan wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia dalam wilayah protektoratnya. Salah seorang yang mendapat mandat untuk memimpin armada  laut untuk melakukan perjalanan ke Indonesia adalah Cheng Ho. Dari tujuh kali pelayarannya ke Indonesia, Cheng Ho melakukan enam kali pelayaran ke Jawa.
Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia  pada umumnya dan di wilayah pesisir utara Jawa khususnya, sebagian besar berasal dari   propinsi  Fukien/Fujian dan Kwang Tung. Mereka ini terdiri dari berbagai  suku bangsa yaitu Hokkian, Hakka, Teociu dan Kanton. Mereka  mempunyai bidang keahlian yang berbeda-beda, yang nantinya  dikembangkan di tempat baru (Indonesia). Orang Hokkian merupakan orang Cina yang paling awal dan paling besar jumlahnya  sebagai imigran. Mereka mempunyai budaya dan tradisi dagang yang kuat sejak dari daerah asalnya. Orang Teociu  yang berasal dari daerah pedalaman Swatow di bagian timur propinsi Kwantung mempunyai keahlian di bidang pertanian, sehingga mereka banyak tersebar di luar Jawa. Orang  Hakka/Khek  berasal dari daerah yang tidak subur di propinsi Kwang Tung, sehingga mereka berimigrasi karena kesulitan hidup. Di antara orang-orang Cina yang datang ke Indonesia mereka merupakan golongan yang paling miskin. Orang-orang Hakka dan orang-orang Teociu sebagian besar bekerja di daerah-daerah pertambangan di Indonesia seperti Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Sumatra. Perkembangan kota-kota besar di Jawa seperti kota Jakarta dan dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Cina telah menarik minat orang-orang Hakka dan Teociu untuk pindah ke Jawa Barat [4].  Pada perkembangannya kemudian mereka menyebar dan menetap di kota-kota lain di Jawa. Orang Kanton yang mempunyai keahlian di bidang pertukangan dan industri datang ke Indonesia dengan modal finansial dan ketrampilan yang cukup, sehingga di tempat yang baru mereka dapat mengembangkan usaha di bidang pertukangan, industri, rumah makan, perhotelan dan lain sebagainya [5].
Selain suku-suku tersebut di atas, ada beberapa suku dari Cina yang lain dalam jumlah kecil seperti Ciangcu, Cuanciu, Hokcia, Hai Lu Hong, Hinghua, Hainan,  Shanghai, Hunan, Shantung, tersebar diberbagai daerah di Indonesia [6].  Ada beberapa suku yang walaupun jumlahnya kecil, tetapi menyebar  hampir di  setiap kota di Jawa yaitu suku Kwangsor, Hokchins dan Hokcia. Mereka ini mempunyai keahlian berdagang, sehingga di tempat yang baru mereka menguasai perdagangan tingkat menengah [7]. Masyarakat Cina Lasem diperkirakan sebagaian besar berasal Kabupaten Zhangzhou, propinsi Fujian, karena pemujaan pada beberapa tokoh yang dimuliakan di kelenteng-kelenteng tersebut mengikuti tata cara pemujaan seperti di kelenteng-kelenteng di propinsi Fujian.
Sejarah panjang keberadaan masyarakat Cina di Lasem memberikan warna dan keunikan terhadap bentuk dan struktur kota Lasem. Demikian pula adaptasi masyarakat Cina Lasem dengan penduduk setempat maupun dengan penduduk dari etnis lain telah memberi warna  terhadap budaya dan aktivitas masyarakat Cina khususnya dan masyarakat Lasem pada umumnya. Tulisan ini mengupas tentang perkembanagn budaya Cina di Lasem yang memiliki keunikan yang dapat dijadikan sebagai identitas daerah.


II. Pecinan dan Kelenteng
Sebagai kota kerajaan Lasem pada awalnya adalah kota dagang yang cukup ramai. Perkembangan Lasem sangat ditunjang oleh penguasa yang berhasil menciptakan kondisi yang mendukung keamanan dan kenyamanan aktivitas perdagangan. Selain itu kondisi geografis yang sangat strategis yaitu terletak di antara dua ibukota propinsi dan memiliki sungai yang memadai untuk sarana angkutan  niaga ke wilayah pedalaman, menjadikan Lasem sebagai tujuan utama para imigran untuk mencari penghidupan dan menjadi pilihan sebagai tempat bermukim.
      Pada awal perkembangannya, yaitu sekitar abad XIV  Lasem memiliki dua pusat kota yang merupakan pusat aktivitas, yaitu keraton sebagai pusat pemerintahan dan Pecinan yang terletak ditepi kali Lasem sebagai pusat perdagangan. Pecinan sebagai kawasan perdagangan juga berfungsi sebagai pemukiman masyarakat Cina.  Perkembangan pemukiman masyarakat Cina diikuti dengan pembangunan kelenteng sebagai sarana untuk melakukan ibadah dan pemujaan kepada leluhur dan T’ian, serta untuk aktivitas sosial dan budaya. 
Pecinan dan kelenteng adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Cina di Indonesia.   Pecinan adalah sebutan untuk kawasan pemukiman masyarakat Cina dengan ciri khas budaya dan tradisi dari negara asal mereka. Kelenteng adalah bangunan untuk peribadatan dan pemujaan dewa-dewi dalam kepercayaan  atau agama Tri Dharma (Tao-Konfusius-Budha). Selain sebagai tempat peribadatan, kelenteng berfungsi sebagai media ekspresi untuk menampilkan eksistensi budaya masyarakat Cina[8].  Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa, pada masa awal pembentukan kawasan Pecinan sampai saat ini, identitas/citra kawasan Pecinan adalah kelenteng-kelenteng yang terdapat di kawasan tersebut. Demikian pula sebaliknya, lokasi tempat kelenteng berdiri berada di sekitar  pemukiman masyarakat Cina (Pecinan).    
      Sebutan kelenteng untuk bangunan tempat ibadah masyarakat Cina, sulit ditelusuri asal-usulnya.  Sebagian peneliti menyebutkan bahwa, sebutan kelenteng berasal dari bunyi genta kecil maupun besar yang digunakan sebagai perlengkapan peribadatan, yang berbunyi “klinting-klinting” atau “klonteng-klonteng”.      Sebagian lagi berpendapat  bahwa kelenteng berasal dari kata  “Yin Ting” atau “Guan Yin Ting”, yang artinya tempat ibadah Dewi Kwan Im [9].
Masyarakat Cina di Indonesia umumnya dan di Lasem khususnya, dalam membangun pemukiman dan bangunan-bangunan lain berpegang pada prinsip pengaturan tata ruang yang selaras dengan lingkungan sekitar. Konsep tata ruang dalam tradisi Cina adalah  feng shui atau hong shui. Feng adalah angin dan shui adalah air. Jadi pengertian feng shui adalah konsep pengaturan tata ruang yang menyelaraskan kondisi lingkungan dengan aliran udara (angin) dan air yang ada di sekitar kita.  Latar belakang  penerapan feng shui pada tata ruang kawasan Pecinan dapat kita lihat pada  elemen yang terkait dengan struktur alamiah yang sudah terbentuk dan menjadi bagian dari kawasan tersebut seperti sungai, tanah atau lokasi dan  elemen-elemen bangunan yang diwakili oleh bangunan rumah tinggal, bangunan toko, bangunan kelenteng  dan  jalan.
Diperkirakan pada abad XVII aturan-aturan feng shui telah diterapkan untuk mengatur tata letak kelenteng, rumah tinggal maupun ruko (rumah-toko)[10]. Kelenteng sebagai tempat pemujaan dewa-dewi  memiliki keistimewaan dalam fungsi dan makna. Oleh sebab itu elemen-elemen  yang terdapat dalam kelenteng mengandung makna-makna simbolik yang mewakili unsur yin-yang. Ciri yang menonjol pada kelenteng adalah :
-          Penggunaan warna merah yang melambangkan kebahagiaan/kegembiraan (berunsur yang), biru/hijau yang melambangkan pertumbuhan dan perkembangan (berunsur yang), putih yang melambangkan kesucian dan kesempurnaan (berunsur yin), kuning melambangkan keseimbangan (berunsur yin-yang) dan hitam melambangkan kemunduran/kehancuran/kematian  (berunsur yin).
-          Terdapat patung-patung  atau lukisan binatang yaitu antara lain burung phoenix merah /burung hong yang melambangkan kebahagiaan/kegembiraan (berunsur yang) serta menunjukkan arah selatan, naga hijau yang melambangkan kekuatan/keperkasaan serta menunjukkan arah timur, kura-kura hitam melambangkan kemuraman/kesedihan dan menunjukkan arah utara, macan putih melambangkan kemapanan/ketenangan/kemandirian dan menunjukkan arah barat.
Hubungan antara  simbol warna, arah/posisi dan binatang dapat kita lihat pada tabel di bawah ini :     
Warna, Arah/Posisi dan Unsur 5 Binatang[11]

5  Binatang

Warna

Posisi

Unsur

Kura-Kura
Naga
Phoenix
Ular
Macan
      Hitam
      Hijau
      Merah
      Kuning
      Putih
      Utara
      Timur
      Selatan
      Pusat
      Barat

Air
Kayu
Api
Tanah
Logam

     
Kelenteng di berbagai kawasan Pecinan di Indonesia menjadi land mark atau tengeran  dan bahkan dapat menjadi identitas kota, karena kelenteng dibangun dengan aturan dan ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan bangunan rumah tinggal masyarakat Cina lainnya


 Bangunan kelenteng dan rumah tinggal di lingkungan komunitas Cina, tidak terkecuali di kota Lasem  mengacu pada konfigurasi lingkungan alam sekitar ( letak gunung, perbukitan, sungai dan dataran landai ) seperti berikut:

-          Kedudukan arah  utara (kura-kura) yang dilambangkan  sebagai pelindung harus berupa perbukitan yang kokoh. Bila lokasi kawasan atau bangunan rumah/kelenteng tidak berada pada daerah perbukitan, maka gunung atau bukit dapat digantikan dengan posisi pepohonan atau gedung- gedung bertingkat yang ada di lokasi tersebut.
-          Kedudukan arah timur (naga) harus berupa pegunungan yang kokoh dan luas. Pada situasi yang tidak memungkinkan kondisi seperti tersebut di atas, posisi naga harus lebih kokoh atau lebih menonjol  dibandingkan posisi macan/harimau, karena naga bersifat yang dan macan bersifat yin
-          Kedudukan arah selatan (burung phoenix)  harus berupa tanah yang landai dan luas.

Konfigurasi tata letak bangunan yang baik menurut feng shui dapat dilihat pada gambar di bawah ini :



 
 





                  


                    Gambar 1 .Tata Letak/Posisi Rumah  Yang Baik Menurut Feng Shui.[12]








 

 

 






          
           Gambar 2. Konfigurasi Kawasan Yang Baik Menurut Feng Shui[13]
           
Di Lasem terdapat tiga  kelenteng yang letaknya berdekatan dengan sungai Lasem yaitu kelenteng Cu An Kiong yang terletak di Jalan Dasun  No.19 Lasem, kelenteng Gie Yong Bio, yang terletak di Jl. Babagan No.7 lasem dan kelenteng Poo An Bio, yang terletak di Jl. Karangturi VII/13, Lasem. Melihat nama-nama kelenteng yang mengandung kata Bio dan Kiong, maka dapat disebutkan  bahwa kelenteng-kelenteng yang  ada di Lasem adalah kelenteng  Tao atau Confusius dan kelenteng marga. Kelenteng-kelenteng tersebut juga dibedakan berdasarkan fungsi dan tujuan pendiriannya, yaitu  kelenteng umum dan kelenteng marga.
  Letak kelenteng yang berdekatan dengan sungai mengandung multi makna yaitu :
-          Dalam kepercayaan masyarakat Cina, air merupakan unsur yang penting. Air dalam pengertian ini adalah air yang terbentuk secara alami, seperti sungai, danau, air laut, air terjun dan sebagainya. Unsur air alami yang ada di sekitar kawasan Pecinan adalah sungai/kali Lasem, yang oleh masyaarkat Cina juga dipercaya mempunyai kaitan dengan  feng shui. Dalam konsep feng shui air yang harmonis akan menciptakan energi atau chi yang baik, yang akan membawa keberuntungan pada manusia yang ada di sekitarnya.
-          Sungai pada masa itu merupakan sarana transportasi air yang sangat efektif untuk jalur niaga dan distribusi barang dari wilayah pedalaman ke kota dan sebaliknya.. Kawasan di sekitar sungai pada akhirnya menjadi bandar niaga yang ramai dan sebagai hunian komunitas Cina.


Keberadaan kelenteng di Lasem tidak hanya merefleksikan aktivitas sprituan dan kepercayaan masyarakat Cina di Lasem, tetapi juga merupakan refleksi seluruh aktivitas budaya, sosial, ekonomi dan politik masyarakat Cina.
Dinamika budaya masyarakat Cina di Lasem meninggalkan jejak keindahan yang memperkaya budaya Indonesia secara keseluruhan, baik budaya yang bersifat fisik maupun budaya non fisisk .

II.  Kehidupan Masyarakat Cina Di Lasem
-  Cina Totok
Masyarakat Cina di Indonedia pada umumnya dan masyarakat Cina di Lasem khususnya, telah sangat lama berinteraksi dengan masyarakat setempat. Interaksi dua budaya ini menimbulkan dampak yang luas yaitu telah terjadi percampuran atau asimilasi budaya yang cukup komplek. Salah satu dampak dari asimilasi budaya ini  adalah bahwa masyarakat Cina  terbagi dalam dua kelompok  yaitu Cina totok dan Cina peranakan.
         Cina totok adalah orang Cina asli  yang datang ke Indonesia sejak awal. Mereka   menikah dengan wanita yang berasal dari negerinya (Cina asli). Meraka belum beradaptasi dengan budaya setempat dan masih melakukan tradisi serta kebiasaan dari negeri asalnya. Cina peranakan adalah orang Cina yang lahir dari perkawinan antara orang Cina (biasanya laki-laki) dengan penduduk setempat. Mereka sudah melakukan kebiasaan dan tradisi setempat dan menguasai bahasa setempat dengan baik serta menenpuh pendidikan di sekolah-sekolah Barat atau sekolah umum. Cina totok menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Cina yang didirikan khusus untuk mendidik  masyarakat Cina dengan pendidikan model Cina.
      Golongan Cina totok yang merupakan pendatang dari Cina sejak awal, bermukim di pusat-pusat kota dalam kelompok rumah deret yang juga dijadikan sebagai tempat usaha. Dalam lingkungan masyarakat dan keluarga golongan Cina totok masih mengikuti pola tata masyarakat dan keluarga yang berakar dari negara asalnya. Ajaran Konfusius dan Tao secara tegas dilaksanakan untuk mengatur hubungan keluarga dan hubungan-hubungan sosial lainnya.
         Sistim kekerabatan dalam keluarga Cina totok adalah patrilineal. Dengan demikian kedudukan anak laki-laki menjadi sangat penting karena mereka sebagai penerus garis keturunan keluarga. Perlakuan terhadap anak-laki dan anak perempuan dalam keluarga Cina totok sangat berbeda.  Anak perempuan dituntut berperilaku pasif, diam, lembut, penurut, melayani. Dalam usia dini anak perempuan sudah diperlakukan sebagai pihak yang harus tunduk pada tradisi. Suatu contoh adalah bahwa anak perempuan sejak kecil sudah diikat atau dibebat telapak kakinya agar tidak membesar kakinya. Kaki yang kecil oleh masyarakat Cina dianggap sebagai bentuk kaki yang indah dan dengan bentuk kaki yang kecil ini anak perempuan berjalan pelan dan lemah gemulai. Demi mencapai hal yang dianggap indah, kesakitan dan penyikasaan dalam waktu lama harus dialami wanita. Keindahan lahiriah diperlukan sebagai  upaya  untuk menyenangkan  dan memuaskan para lelaki. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang apapun keadaan dirinya, selalu diterima oleh perempuan sebagai anugerah.
         Ketika anak perempuan menginjak usia remaja, gerak dan aktivitasnya di luar rumah mulai dibatasi. Aktivitas perempuan Cina dari golongan masyarakat Cina totok terbatas pada aktivitas di lingkungan rumah tangga dan keluarga. Dengan demikian pendidikan yang diberikan kepada mereka adalah pendidikan yang terkait dengan ketrampilan mengurus rumah tangga dan pendidikan anak. Pada jaman dahulu aktivitas yang berkaitan dengan upaya pencarian nafkah hanya dilakukan oleh para suami. Saat ini di lingkungan masyarakat Cina Totok, aktivitas ekonomi juga dilakukan para istri dan anak-anak perempuan  tetapi terbatas pada  aktivitas ekonomi yang dilakukan dalam rumah tangga. Aktivitas ekonomi yang dilakukan perempuan Cina menghasilkan/membuat barang-barang yang berkaitan dengan dunia perempuan, seperti makanan/minuman, barang kerajinan, pakaian dan lain sebagainya.
         Pada jaman dahulu hak untuk memilih dan menentukan teman hidup bagi perempuan Cina yang telah memasuki usia matang sangat terbatas. Perjodohan dan pernikahan diatur oleh orang tua kedua belah pihak.  Sering terjadi kedua mempelai bertemu dan saling kenal pada saat pernikahan. Saat ini boleh dikatakan sangat jarang perkawinan dan perjodohan  yang diatur  oleh orang tua[14].   
         Perempuan Cina setelah menikah harus tunduk, patuh dan setia kepada suami dan keluarga besarnya. Ia harus tinggal bersama dalam satu rumah dengan keluarga suami. Dalam aktivitas keluarga besar suami, perempuan Cina bertugas melayani seluruh anggota keluarga besar dan menjaga harmoni hubungan antaranggota keluarga. Kedudukan perempuan Cina dalam keluarga juga sangat lemah. Ia dapat saja diceraikan atau dimadu oleh suaminya karena tidak dapat melahirkan anak laki-laki yang menjadi penerus keluarga.
         Dalam keluarga Cina totok terjadi ketidakadilan dalam pembagian waris. Warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki. Anak perempuan tidak mendapat warisan karena setelah menikah ia akan mengikuti dan masuk dalam keluarga suaminya.  Demikian juga dalam tradisi merawat abu jenasah leluhur serta melakukan sembayang pemujaan, hanya menjadi kewajiban anak laki-laki, terutama anak laki-laki tertua.

- Cina Peranakan     
Masyarakat Cina peranakan merupakan masyarakat Cina moderat, karena pergaulannya dengan masyarakat yang lebih heterogen dan banyak dari mereka yang telah menempuh pendidikan barat. Masyarakat Cina peranakan walaupun masih memegang teguh sistim kekerabatan patrilineal, tetapi mereka memandang kedudukan anak perempuan sama pentingnya dengan anak laki-laki. Dengan demikian tidak ada perlakuan istimewa untuk anak laki-laki. Kemungkinan terjadinya perceraian karena istri tidak dapat melahirkan anak laki-laki sangat kecil.
      Anak perempuan juga mendapat hak untuk mengenyam pendidikan seperti anak laki-laki. Banyak anak-anak perempuan Cina peranakan yang menempuh pendidikan barat. Pendidikan telah merubah kedudukan perempuan Cina yang semula terkungkung dan tidak dihargai menjadi perempuan yang sangat potensial dan  maju.  Pendidikan membawa dampak pada lingkungan masyarakat Cina peranakan yaitu bahwa kekuasaan politik, ekonomi dan sosial terbagi rata antara laki-laki dan perempuan. 
      Tradisi pingitan dan pemilihan jodoh oleh orang tua tidak berlaku lagi di lingkungan masyarakat Cina peranakan. Perempuan Cina di lingkungan masyarakat Cina peranakan dapat menentukan sendiri teman hidupnya dan setelah menikah ia dapat menentukan tempat tinggalnya sendiri. Ia dapat tinggal di rumah suaminya (patrilokal), di rumah keluarganya  sendiri (matrilokal) atau di rumah pribadi (neolokal).
      Dalam hal hak waris, anak perempuan mendapat hak waris sama besarnya seperti anak laki-laki. Demikian juga dalam hal merawat abu jenasah leluhur dan pelaksanaan pemujaan leluhur, anak perempuan juga diberi hak dan kesempatan[15].
      Sikap demokratis dalam keluarga Cina peranakan  sangat menonjol. Tidak ada pembagian yang tegas dalam tugas yang harus ditangani  laki-laki atau perempuan. Laki-laki (ayah) dapat melakukan tugas-tugas domestik yang meliputi tugas kerumahtanggaan dan perempuan (ibu) dapat melakukan tugas-tugas di luar rumah.  Yang lebih diutamakan dalam keluarga adalah keharmonisan lahir dan batin.
      Secara umum di Lasem saat ini tidak tampak perbedaan yang terlalu menyolok antara golongan masyarakat  Cina totok dan Cina peranakan. Hal ini dapat dimaklumi karena setelah sekian abad menetap di Indonesai maka keturunan masyarakat Cina totok sudah berasimilasi dengan masyarakat setempat dan kehidupannya tidak  ekslusif lagi.

- Etos kerja
Keberhasilan di bidang ekonomi dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain etos kerja yang dipengaruhi oleh kepercayaan yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakar Cina, kebijakan pemerintah Belanda pada jaman penjajahan, kebijakan pemerintah Indonesia pada jaman setelah kemerdekaan dan kondisi lingkungan setempat[16] .
Etos kerja yang hidup dalam lingkungan masyarakat Cina dipengaruhi oleh kepercayaan Confucius. Ajaran Confucius menyebutkan bahwa realitas kehidupan di dunia harus benar-benar dilaksanakan dan diamalkan sehingga akan tercipta hubungan yang harmonis, adil, yang akan membawa masyarakat pada kehidupan yang ideal. Ajaran Confucius menekankan penghormatan kepada keluarga, terutama kepada orang tua dan nenek moyang [17].  Bila dalam setiap keluarga terjadi hubungan yang harmonis, maka dapat diharapkan kehidupan masyarakat luas juga akan tenteram dan damai. Bakti dan penghormatan kepada orang tua dan keluarga dihubungkan dengan upaya untuk mensejahterakan seluruh keluarga, yang harus dilakukan melalui kerja keras. Bakti dan penghormaran anak kepada orang tua salah satunya  diwujudkan dengan prestasi kerja/karya yang baik[18] . Dengan demikian kita melihat bahwa ada hubungan antara ajaran Confucius dengan keluarga dan kerja, yang dapat digambarkan sebagai berikut:




    
Gambar 3. Hubungan Antara Ajaran Confusius, Kerja dan Keluarga[19]

Kerja keras bagi masyarakat Cina identik dengan upaya untuk membahagiakan orang tua dan leluhur, yang balasannya adalah pahala dan kesejahteran abadi di akherat kelak. Selain itu ajaran Confucius juga mengajarkan kesederhanaan, sikap hemat, disiplin, tekun dan teliti, yang kesemuanya sangat menunjang keberhasilan usaha perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina di Indonesia.
Kemajuan dan keberhasilan usaha perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina ditunjang oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memberi mereka peran  sebagai pedagang perantara dan status sebagai warga Timur Asing yang kedudukannya lebih tinggi dari  status pribumi. Pada perkembangan selanjutnya orang-orang Cina diberi peran yang cukup besar dalam  kegiatan eksport dan perdagangan dalam negeri[20]. Kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda ini mengakibatkan orang-orang Cina lebih siap dalam persaingan perdagangan ketika pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia. Pemberian status sebagai warga Timur Asing berdampak pada sikap superior dan ekslusif orang-orang Cina, sehingga dalam aktivitas ekonomipun mereka membentuk jaringan antar sesama warga Cina. Selain itu bisnis yang dilakukan oleh orang-orang Cina mempunyai ciri khas, yaitu sebagian besar bisnis mereka adalah bisnis keluarga, yang modalnya hanya berputar  di antara keluarga dan keteurunan-keturunannya. Pihak-pihak di luar keluarga dan di luar kelompok masyarakat Cina sangat sulit masuk dalam bisnis yang dikelola oleh orang-orang Cina ini. Bisnis yang demikian ini merupakan benteng keluarga dalam  upaya melindungi diri dari serangan atau intervensi pihak-pihak luar[21].

III.       Penutup
Walaupun sesungguhnya keberadaan masyarakat Cina di Lasem sudah sangat lama, tetapi perjuangan mereka dalam menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat Indoseia masih terus berlangsung. Budaya masyarakat Cina yang beraneka warna menjadi sumbangan besar bagi pengembangan budaya Indonesia. Pemahaman mendalam terhadap golongan masyarakat Cina perlu diupayakan terus menerus sebagai upaya untuk menciptakan persatuan dan kesatuan di bumi Indonesia.                  Perbedaan budaya hendaknya dimaknai sebagai keanekaragaman dan kekayaan dari budaya Indonesia secara keseluruhan, bukan sebagai sumber konflik atau faktor pemisah antara masyarakat Cina dengan masyarakat Indonesia, sebab bagaimanapun masyarakat Cina adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai peran di bidang sosial budaya, ekonomi dan politik.
            Potensi masyarakat Cina Lasem di bidang sosial budaya, ekonomi hendaknya digali dan dikembangkan untuk tujuan pendidikan, pelestarian budaya, peningkatan pendapatan, yang kesemuanya akan menjadi aset daerah dalam pengertian yang luas.

IV.       Daftar Pustaka
Dawson, Raymond. 1992. Kong Hu Cu. Penata Budaya Karajaan Langit . Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Dian , 1996.Logika Feng Shui . Konsep Dan Metode Untuk Rumah Tinggal Yang                           Membawa Keberuntungan Hidup (Buku Kedua). Jakarta : Penerbit PT Elex  Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Fung Yu Lan. 1980. Sejarah Pendek Filsafat Tiongkok. Yogyakarta : Taman Siswa

Gondomono. 1996. Membanting Tulang Menyembah Arwah : Kehidupan kekotaan Masyarakat Cina. Jakarta  (Depok) : Fakultas Sastra Universitas Indonesia.


[1] Kamzah, R. Panji (1858), Carita (Sejarah) Lasem, katurun/kajiplak dening R. Panji Karsono (1920), dalam buku Badra Santi, rumpakanipun mPu Santibadra,  hal.10-65.
[2] Poesponegoro & Notosusanto,1993. Sejarah Nasional Indonesia  Jilid III. Jakarta : Balai Pustaka, l.19
[3] Liem Thian Joe. 1933. Riwayat Semarang. Semarang-Batavia. Semarang : Penerbit Ho Kim Yoe. Hal.31


[4] Koentjaraningrat, 2002. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit : Djambatan, hal. 354
[5] Tan, Mely G.1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu Masalah  Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta  : PT Gramedia., hal. 8-9
[6] Gondomono. 1996. Membanting Tulang Menyembah Arwah : Kehidupan kekotaan Masyarakat Cina. Jakarta  (Depok) : Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hal. 17
[7] Hidayat, Z.M.1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia. Bandung : Penerbit Tarsito, hal. 58
[8]  Handinoto. Lingkungan “Pecinan” Dalam Tata Ruang Kota Di Jawa Pada Masa Kolonial, dalam  DIMENSI TEKNIK SIPIL Vol. 27, No. 1, Juli 1999 , hal. 27
[9] http://www. radarjogja.co.id/minggu/chinatown/2771-asal-muasal-nama-kelenteng-html (6 Juni 2009). Dewi Kuan Im dikenal secara luas sebagai Dewi Welas asih. Dalam agama Budha Dewi Kuan Im adalah Avalokiteswara Bodhisattva, yang tidak hanya dipuja oleh pemeluk agama Budha, tetapi juga dipuja oleh penganut Tao dan masyarakat Cina umumnya.
[10] Lombard, Denys, 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (jilid 2), hal. 227).
[11] Dian,1996.Logika Feng Shui. Konsep Dan Metode Untuk Rumah Tinggal Yang                           Membawa Keberuntungan Hidup (Buku Kedua). Jakarta : Penerbit PT Elex  Media Komputindo Kelompok Gramedia, hal.31


[12] Ibid, hal. 101
[13]  Skinner, Stephen.. 2003. Feng Shui. Ilmu Tata letak Tanah Dan Kehidupan Cina Kuno. Semarang : Dahara  Prize, hal.104-105
[14] Koentjaraningrat, 2002  Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit  Djambatan , hal.362  

[15] Tan, Mely G.1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu Masalah  Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta  : PT Gramedia, hal.12
[16]. Naveront, Jhon K.1997. Jaringan Masyarakat Cina. Jakarta : PT Golden terayon Press, hal. 63.
17. Fung Yu Lan. 1980. Sejarah Pendek Filsafat Tiongkok. Yogyakarta : Taman Siswa, hal.13




18.Dawson, Raymond. 1992. Kong Hu Cu. Penata Budaya Karajaan Langit . Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, hal.132.
19.Ibid.
20.Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Jilid I Dan Jilid II. Jakarta : Penerbit Negara Pradnjaparamita, hal.61



[21]   Zein, Abdul Baqir.2000. Etnis Cina Dalam Potret Pembauran di Indonesia. Jakarta : Prestasi Insan Indonesia, hal.128


 Bandung: Penerbit Tarsito.
Kamzah, R. Panji (1858), Carita (Sejarah) Lasem, katurun/kajiplak dening R. Panji Karsono (1920), dalam buku Badra Santi, rumpakanipun mPu Santibadra.   
Koentjaraningrat, 2002. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit : Djambatan.
Liem Thian Joe. 1933. Riwayat Semarang. Semarang-Batavia. Semarang : Penerbit Ho Kim Yoe
Lombard, Denys, 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (Jilid 2)
Naveront, Jhon K.1997. Jaringan Masyarakat Cina. Jakarta : PT Golden Terayon Press.
Skinner, 2003 : Skinner, Stephen.. 2003. Feng Shui. Ilmu Tata letak Tanah Dan Kehidupan Cina Kuno. Semarang : Dahara  Prize, hal.104-105
Tan, Mely G.1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Suatu Masalah  Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta  : PT Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar