In Politik, Sosial on June 25, 2012 at 5:59 AM
KETIKA The Fund For Peace melalui majalah Foreign Policy mempublikasikan
daftar negara dengan indeks kegagalan negara, sejumlah pejabat
pemerintahan Indonesia bereaksi sengit. Menteri Koordinator Perekonomian
RI Hatta Rajasa mengatakan di Rio de Janeiro (21 Juni), bahwa
keberadaan Indonesia dalam daftar itu belum berarti Indonesia adalah
negara gagal. Mekanisme defensif sang calon Presiden 2014 –menurut versi
PAN– itu pun langsung terpicu. Ia secara refleks menciptakan ‘kambing
hitam’, yakni pers dan para pengamat yang terlalu gampang
menjelek-jelekkan pemerintah dan negaranya sendiri di luar negeri.
Padahal, kriteria penentuan indeks itu sepanjang yang bisa diketahui
samasekali tak bersandar kepada opini yang tercipta oleh para pengamat.
Menteri SBY ini rupanya sudah terbiasa dengan politik pencitraan
sehingga segala sesuatunya juga diukur dalam tabiat pencitraan itu.
Sementara itu, Julian Aldrian Pasha, jurubicara Presiden, yang sedikit banyak punya latar belakang akademis, mencoba mempersoalkan apakah indikasi-indikasi kegagalan negara yang diolah dari data mentah (pengamatan/penelitian) adalah indikasi yang stabil dan tanpa distorsi? Sepanjang menyangkut Somalia dan Sudan misalnya, ia sepakat. Tetapi tidak sepakat bila itu dikenakan kepada Indonesia.
Sebenarnya memang, daftar yang dibuat lembaga kajian AS itu bukan daftar negara gagal, melainkan daftar Indicators of Instability, yaitu daftar ranking negara berdasarkan indikator ketidakstabilan di berbagai bidang: Mulai dari sosial-ekonomi sampai keamanan dan politik serta kemampuan pemerintah. Makin kecil angka urutannya, negara bersangkutan makin berpotensi untuk menjadi negara gagal dan selanjutnya mungkin menjadi negara runtuh.
Dari Power 50 ke Weak 60. Dua tahun sebelum kejatuhan Soeharto, media terkemuka di Asia, Asiaweek, masih menempatkan jenderal penguasa Indonesia selama 32 tahun itu sebagai tokoh terkuat nomor 1 dalam deretan Power 50 –yang terdiri dari para pemimpin negara dan konglomerat penguasa ekonomi– di kawasan Asia tahun 1996. Di tahun ini, tulis majalah itu, tak ada presiden, tak ada perdana menteri dan tak ada taipan yang mampu menandingi kekuatan dan kekuasaan Soeharto. Untuk melukiskan kekuasaan yang melekat pada Soeharto, dikutip penilaian Benedict Anderson, sebagaimana pada masa lampau kekuasaan diperuntukkan sepenuhnya bagi para raja Jawa, maka bagi Soeharto “Power is neither legitimate nor illegitimate. Power is”.
Akan tetapi siapa yang bisa sepenuhnya menyangka bahwa Soeharto akan jatuh dari kekuasaannya tak lama kemudian di bulan Mei 1998 di tengah suatu kemelut ekonomi berat yang ternyata tak mampu segera dipulihkan, karena setelah kejatuhan Soeharto terjadi pula komplikasi politik yang menciptakan keterpurukan luar biasa bagi bangsa ini? Dan untuk kedua kalinya, selama Indonesia merdeka, bangsa ini menjadi negara lemah yang berada di tepi bahaya sebagai negara gagal dan sewaktu-waktu akan runtuh.
Pasca Soeharto, Indonesia mencoba memperbaiki keadaan melalui reformasi. Namun, 9 tahun setelah reformasi, 2007, Indonesia yang tak berhasil menyembuhkan luka tahun 1998, justru berada di urutan 60 dalam daftar negara dengan indikator ketidakstabilan negara. Meminjam paparan buku ‘Memerangi Sindrom Negara Gagal’ yang ditulis Effendi Siradjuddin (Penerbit Kata Hasta, editor: Rum Aly, Nanang Junaedi, 2009), 59 negara yang ada di urutan di atas Indonesia, sepenuhnya adalah negara-negara yang sarat dengan masalah dan aneka keruwetan. Secara umum disebutkan, antara lain, pemerintah pusat di negara-negara itu sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Negara paling gagal adalah Sudan, Irak, Somalia, dan Zimbabwe. Dan bayangkan, Indonesia masuk satu jajaran dengan negara-negara itu, bersama sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, seperti Timor Leste, Myanmar, Kongo, Haiti, Ethiopia, Uganda. Dalam daftar 2011, Indonesia berada dalam posisi yang sedikit lebih baik, yakni di urutan 64. Tapi sayang, kini di 2012 merosot satu tingkat ke urutan 63 di antara 117 negara.
Lebih lanjut kita masih meminjam sejumlah paparan dalam buku ‘Memerangi Sindrom Negara Gagal’ itu, dengan beberapa selipan catatan tambahan, berikut ini.
Apakah negara gagal itu? Negara gagal (failed states) hanyalah salah satu tahapan untuk menuju pada tahap berikutnya yaitu negara runtuh (colapse states) seperti yang ditulis Robert Rotberg dalam papernya, Nation-State Failure: A Recurring Phenomenon. Ia menyebut, ada empat kategori negara-negara, yaitu berturut-turut Negara Kuat (strong states), Negara Lemah (weak states), Negara Gagal (failed states) dan Negara Runtuh (collapsed states). Untuk sementara kita bersepakat bahwa Indonesia belumlah menjadi negara gagal, melainkan negara lemah yang telah berada di tubir menuju negara gagal. Not yet a failed state, but more than a weak state. Kita tak perlu lagi beretorika untuk membohongi diri.
Negara kuat (strong states) adalah negara yang dapat mengontrol teritorial dan penduduk mereka. Umumnya memiliki GDP tinggi perkapita. Negara lemah (weak states) adalah negara yang umumnya memiliki perbedaan etnis, religi, bahasa yang menjadi hambatan untuk menjadi negara kuat. Konflik biasanya terjadi secara terbuka, dan korupsi menjadi hal umum. Hukum tidak ditegakkan dan privatisasi institusi kesehatan dan pendidikan menjadi bukti nyata kegagalan negara tersebut. Contoh aktual negara lemah sejak beberapa tahun lalu yang sedang menuju negara gagal adalah Irak, Belarus, Korea Utara, dan Libya. Negara gagal (failed state), adalah negara yang sangat sukar mencapai target memenuhi kebutuhan penduduk. Umumnya terdapat non-state actors yang berpengaruh dan membantu memenuhi kebutuhan hidup penduduk. Keamanan nyaris tak ada selain di kota-kota besar. Ekonomi tak berjalan, kualitas kesehatan buruk dan sistem pendidikan terabaikan. Korupsi marak, dan diperparah oleh inflasi. Negara dalam situasi paling fatal, adalah negara runtuh (collapsed states). Negara-negara gagal adalah negara dengan situasi dimana tak ada pemerintahan sama sekali.
Noam Chomsky (2006: 1-2), menyebut tiga ciri pokok yang bisa dipakai untuk menjelaskan negara-negara gagal (failed states): (1) Ketidakmampuan negara melindungi penduduk dari kekerasan, penyerangan atau pengrusakan; (2) Kecenderungan mengabaikan diri terhadap jangkauan hukum, baik domestik maupun hukum internasional; (3) Jika mempunyai bentuk demokrasi, mereka menderita semacam defisit yang parah dalam berdemokrasi. Sementara itu, Stoddard menjelaskan bahwa sebuah negara bangsa (nation state) dianggap gagal jika tak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik. Negara gagal terjadi karena kepemimpinan dan institusi negara sangat lemah sehingga tak mampu atau tak lagi mempunyai kekuatan mengatur dan mengontrol negara.
Sindrom negara gagal atau kegagalan negara terlihat pada beberapa indikator sosial, ekonomi, politik, maupun militer. Sindrom dari negara gagal menurut Robert Rotberg, antara lain keamanan rakyat tak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketakberdayaan pemerintah pusat menghadapi masalah dalam negeri, dan rawan terhadap tekanan luar negeri. Sindrom ini meliputi timpangnya kesempatan pendidikan, kesempatan kerja dan status ekonomi. Korupsi dan praktik-praktik gelap di masyarakat meluas, sementara pemerintah tak mampu memberi gaji layak bagi pegawai negeri atau angkatan bersenjata. Kondisi ekonomi terus memburuk akibat kegiatan ekonomi tersembunyi seperti penyelundupan dan pelarian modal. Elite berkuasa melakukan korupsi besar-besaran, menolak transparansi, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Sindikat-sindikat penjahat berkoalisi dengan elite yang berkuasa, sementara pelayanan publik seperti keamanan, kesehatan, pendidikan, sanitasi dan transportasi umum merosot. Jasa pelayanan hanya dinikmati elite yang berkuasa. Pembusukan terjadi di pusat kekuasaan.
Selama dekade lalu, setidaknya ada 7 negara berkategori negara gagal, yaitu Afghanistan, Angola, Burundi, Republik Demokratik Congo, Liberia, Sierra Leone dan Sudan, ditambah dengan Somalia. Di antara negara gagal itu, yang betul-betul hancur menjadi collapsed state adalah Somalia yang kini menjadi sarang perompak di pintu terusan Suez. Sedangkan contoh negara yang lemah adalah Columbia.
Negara gagal tak bisa memenuhi semua kewajiban kepada rakyatnya. Negara lalu kehilangan fungsi sebagai penyedia barang-barang politik tadi. Fungsi-fungsi tersebut secara terbatas diambil alih para warlords dan aktor non-negara lainnya. Singkatnya, negara gagal tak lagi mampu atau tak ‘mau’ melaksanakan tugas layaknya sebuah negara bangsa di dunia modern. Sebagaimana dikemukakan Rotberg, di negara gagal masalah keamanan dan kestabilan tak bisa dinikmati rakyat. Di banyak negara gagal, misalnya, pasukan pemerintah bertempur dengan gerilyawan atau kelompok separatis, terjadi perlawanan terhadap legitimasi pemerintah pusat, macam-macam kerusuhan sipil terjadi, konflik etnis dan teror mengancam stabilitas nasional.
Negara gagal tak mampu menjamin keamanan rakyatnya, padahal keamanan adalah komoditi politik paling utama yang dibutuhkan rakyat. Oleh karena negara gagal tak mampu menciptakan iklim keamanan di luar ibukota negara, maka para warlords menguasai daerah-daerah tertentu yang sulit dijangkau kekuasaan negara dan mengancam warga. Lembaga-lembaga politik sangat lemah dan tak berjalan sebagaimana mestinya. Lembaga politik yang masih berjalan hanya eksekutif. Jika pun lembaga legislatif masih ada, mereka hanya mesin stempel belaka. Keputusan-keputusan ditentukan pihak penguasa. Begitu juga lembaga yudikatif. Lembaga kehakiman tak ubahnya kepanjangan tangan eksekutif ketimbang sebuah lembaga peradilan yang independen. Birokrasi dan aparat pemerintah berubah menjadi abdi penguasa yang hanya melaksanakan titah penguasa ketimbang melayani rakyat. Militer, barangkali satu-satunya, lembaga yang masih punya integritas, namun angkatan bersenjata dari sebuah negara gagal sering dipolitisasi –kalau tidak malah menjadi bagian utama kekuasaan– tanpa semangat korps yang semestinya mereka pegang.
Di negara gagal ketimpangan ekonomi tampak menyolok. Kue ekonomi tidak dibagi secara adil melainkan hanya kepada kelompok tertentu saja. Mereka yang dekat kepada penguasa bertambah kaya, sedangkan yang miskin bertambah papa. Keuntungan melimpah bisa didapat dari spekulasi mata uang, percaloan, dan pengambilan kebijakan. Makanya korupsi merajalela di negara gagal. Koruptor menyimpan hasil korupsinya di bank-bank luar negeri, bukan di negerinya sendiri yang justru sangat membutuhkan kapital. Sementara yang lain membangun istana dan membeli mobil mewah dengan uang negara.
Elite kepemimpinan yang menghancurkan negara. Terjadinya negara gagal bukan suatu kebetulan atau kecelakaan, tapi ulah manusia. Kebijakan dan kesalahan elite kepemimpinan telah menghancurkan negara. Pemerintahan kleptokrasi Mobutu Sese Seko menguras habis sumber daya Zaire untuk kepentingan kroni dan keluarganya. Selama empat dekade, sedikit sekali uang yang mengucur kepada rakyat, apalagi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, samasekali bukan untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Zaire. Negara kaya minyak Angola menjadi negara gagal bukan saja karena selama tiga dekade dilanda perang, melainkan juga karena Presiden Eduardo dos Santos tak menggerakkan pemerintah Angola memberikan pelayanan dasar kepada wilayah yang lebih luas dan dikuasainya. Di Somalia, Presiden Mohamad Siad Barre dengan congkak mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan untuk dirinya dan sukunya sendiri. Di Afghanistan, baik Presiden Gulbudin Hekmatiyar maupun Burhanuddin Rabbani berusaha mencegah suku lain, kecuali Pushtun dan Tajik, untuk ikut serta dalam pemerintahan. Itu sebabnya Taliban berusaha menentang dan menggulingkan pemerintahannya, sehingga kemudian Afghanistan menjadi sarang teroris.
Jika krisis multidimensi di Indonesia masih berlangsung hingga 5 tahun ke depan, tak tertutup kemungkinan negeri ini pun terjerumus dari sekedar negara lemah menjadi negara gagal. Apalagi yang tak ‘dipunyai’ Indonesia: Ada kelompok-kelompok dengan perilaku vigilante, ada manusia-manusia yang beramai-ramai melakukan korupsi berjamaah, ada politisi dan anggota parlemen yang haus uang dan kekuasaan, ada penegak-penegak hukum yang mudah disilaukan dengan suap, ada sederetan pemimpin yang lemah tak punya prinsip kuat, ada pemuka-pemuka pelaku penyalahguna nama rakyat dan nama agama, ada kelompok-kelompok massa yang anarkis, setiap saat ada teror saling bunuh di berbagai daerah dengan berbagai alasan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, seluruh elite politik harus berusaha menghilangkan perbedaan dan menyatukan pikiran dan tindakan demi menyelesaikan berbagai macam masalah dan krisis yang dihadapi bangsa ini. Di samping belajar dari bangsa-bangsa maju, kita pun harus mulai belajar untuk tidak meniru bangsa-bangsa seperti Sudan, Somalia, Angola atau Burundi. (Sociopolitica's Blog)
Sementara itu, Julian Aldrian Pasha, jurubicara Presiden, yang sedikit banyak punya latar belakang akademis, mencoba mempersoalkan apakah indikasi-indikasi kegagalan negara yang diolah dari data mentah (pengamatan/penelitian) adalah indikasi yang stabil dan tanpa distorsi? Sepanjang menyangkut Somalia dan Sudan misalnya, ia sepakat. Tetapi tidak sepakat bila itu dikenakan kepada Indonesia.
Sebenarnya memang, daftar yang dibuat lembaga kajian AS itu bukan daftar negara gagal, melainkan daftar Indicators of Instability, yaitu daftar ranking negara berdasarkan indikator ketidakstabilan di berbagai bidang: Mulai dari sosial-ekonomi sampai keamanan dan politik serta kemampuan pemerintah. Makin kecil angka urutannya, negara bersangkutan makin berpotensi untuk menjadi negara gagal dan selanjutnya mungkin menjadi negara runtuh.
Dari Power 50 ke Weak 60. Dua tahun sebelum kejatuhan Soeharto, media terkemuka di Asia, Asiaweek, masih menempatkan jenderal penguasa Indonesia selama 32 tahun itu sebagai tokoh terkuat nomor 1 dalam deretan Power 50 –yang terdiri dari para pemimpin negara dan konglomerat penguasa ekonomi– di kawasan Asia tahun 1996. Di tahun ini, tulis majalah itu, tak ada presiden, tak ada perdana menteri dan tak ada taipan yang mampu menandingi kekuatan dan kekuasaan Soeharto. Untuk melukiskan kekuasaan yang melekat pada Soeharto, dikutip penilaian Benedict Anderson, sebagaimana pada masa lampau kekuasaan diperuntukkan sepenuhnya bagi para raja Jawa, maka bagi Soeharto “Power is neither legitimate nor illegitimate. Power is”.
Akan tetapi siapa yang bisa sepenuhnya menyangka bahwa Soeharto akan jatuh dari kekuasaannya tak lama kemudian di bulan Mei 1998 di tengah suatu kemelut ekonomi berat yang ternyata tak mampu segera dipulihkan, karena setelah kejatuhan Soeharto terjadi pula komplikasi politik yang menciptakan keterpurukan luar biasa bagi bangsa ini? Dan untuk kedua kalinya, selama Indonesia merdeka, bangsa ini menjadi negara lemah yang berada di tepi bahaya sebagai negara gagal dan sewaktu-waktu akan runtuh.
Pasca Soeharto, Indonesia mencoba memperbaiki keadaan melalui reformasi. Namun, 9 tahun setelah reformasi, 2007, Indonesia yang tak berhasil menyembuhkan luka tahun 1998, justru berada di urutan 60 dalam daftar negara dengan indikator ketidakstabilan negara. Meminjam paparan buku ‘Memerangi Sindrom Negara Gagal’ yang ditulis Effendi Siradjuddin (Penerbit Kata Hasta, editor: Rum Aly, Nanang Junaedi, 2009), 59 negara yang ada di urutan di atas Indonesia, sepenuhnya adalah negara-negara yang sarat dengan masalah dan aneka keruwetan. Secara umum disebutkan, antara lain, pemerintah pusat di negara-negara itu sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Negara paling gagal adalah Sudan, Irak, Somalia, dan Zimbabwe. Dan bayangkan, Indonesia masuk satu jajaran dengan negara-negara itu, bersama sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, seperti Timor Leste, Myanmar, Kongo, Haiti, Ethiopia, Uganda. Dalam daftar 2011, Indonesia berada dalam posisi yang sedikit lebih baik, yakni di urutan 64. Tapi sayang, kini di 2012 merosot satu tingkat ke urutan 63 di antara 117 negara.
Lebih lanjut kita masih meminjam sejumlah paparan dalam buku ‘Memerangi Sindrom Negara Gagal’ itu, dengan beberapa selipan catatan tambahan, berikut ini.
Apakah negara gagal itu? Negara gagal (failed states) hanyalah salah satu tahapan untuk menuju pada tahap berikutnya yaitu negara runtuh (colapse states) seperti yang ditulis Robert Rotberg dalam papernya, Nation-State Failure: A Recurring Phenomenon. Ia menyebut, ada empat kategori negara-negara, yaitu berturut-turut Negara Kuat (strong states), Negara Lemah (weak states), Negara Gagal (failed states) dan Negara Runtuh (collapsed states). Untuk sementara kita bersepakat bahwa Indonesia belumlah menjadi negara gagal, melainkan negara lemah yang telah berada di tubir menuju negara gagal. Not yet a failed state, but more than a weak state. Kita tak perlu lagi beretorika untuk membohongi diri.
Negara kuat (strong states) adalah negara yang dapat mengontrol teritorial dan penduduk mereka. Umumnya memiliki GDP tinggi perkapita. Negara lemah (weak states) adalah negara yang umumnya memiliki perbedaan etnis, religi, bahasa yang menjadi hambatan untuk menjadi negara kuat. Konflik biasanya terjadi secara terbuka, dan korupsi menjadi hal umum. Hukum tidak ditegakkan dan privatisasi institusi kesehatan dan pendidikan menjadi bukti nyata kegagalan negara tersebut. Contoh aktual negara lemah sejak beberapa tahun lalu yang sedang menuju negara gagal adalah Irak, Belarus, Korea Utara, dan Libya. Negara gagal (failed state), adalah negara yang sangat sukar mencapai target memenuhi kebutuhan penduduk. Umumnya terdapat non-state actors yang berpengaruh dan membantu memenuhi kebutuhan hidup penduduk. Keamanan nyaris tak ada selain di kota-kota besar. Ekonomi tak berjalan, kualitas kesehatan buruk dan sistem pendidikan terabaikan. Korupsi marak, dan diperparah oleh inflasi. Negara dalam situasi paling fatal, adalah negara runtuh (collapsed states). Negara-negara gagal adalah negara dengan situasi dimana tak ada pemerintahan sama sekali.
Noam Chomsky (2006: 1-2), menyebut tiga ciri pokok yang bisa dipakai untuk menjelaskan negara-negara gagal (failed states): (1) Ketidakmampuan negara melindungi penduduk dari kekerasan, penyerangan atau pengrusakan; (2) Kecenderungan mengabaikan diri terhadap jangkauan hukum, baik domestik maupun hukum internasional; (3) Jika mempunyai bentuk demokrasi, mereka menderita semacam defisit yang parah dalam berdemokrasi. Sementara itu, Stoddard menjelaskan bahwa sebuah negara bangsa (nation state) dianggap gagal jika tak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik. Negara gagal terjadi karena kepemimpinan dan institusi negara sangat lemah sehingga tak mampu atau tak lagi mempunyai kekuatan mengatur dan mengontrol negara.
Sindrom negara gagal atau kegagalan negara terlihat pada beberapa indikator sosial, ekonomi, politik, maupun militer. Sindrom dari negara gagal menurut Robert Rotberg, antara lain keamanan rakyat tak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketakberdayaan pemerintah pusat menghadapi masalah dalam negeri, dan rawan terhadap tekanan luar negeri. Sindrom ini meliputi timpangnya kesempatan pendidikan, kesempatan kerja dan status ekonomi. Korupsi dan praktik-praktik gelap di masyarakat meluas, sementara pemerintah tak mampu memberi gaji layak bagi pegawai negeri atau angkatan bersenjata. Kondisi ekonomi terus memburuk akibat kegiatan ekonomi tersembunyi seperti penyelundupan dan pelarian modal. Elite berkuasa melakukan korupsi besar-besaran, menolak transparansi, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Sindikat-sindikat penjahat berkoalisi dengan elite yang berkuasa, sementara pelayanan publik seperti keamanan, kesehatan, pendidikan, sanitasi dan transportasi umum merosot. Jasa pelayanan hanya dinikmati elite yang berkuasa. Pembusukan terjadi di pusat kekuasaan.
Selama dekade lalu, setidaknya ada 7 negara berkategori negara gagal, yaitu Afghanistan, Angola, Burundi, Republik Demokratik Congo, Liberia, Sierra Leone dan Sudan, ditambah dengan Somalia. Di antara negara gagal itu, yang betul-betul hancur menjadi collapsed state adalah Somalia yang kini menjadi sarang perompak di pintu terusan Suez. Sedangkan contoh negara yang lemah adalah Columbia.
Negara gagal tak bisa memenuhi semua kewajiban kepada rakyatnya. Negara lalu kehilangan fungsi sebagai penyedia barang-barang politik tadi. Fungsi-fungsi tersebut secara terbatas diambil alih para warlords dan aktor non-negara lainnya. Singkatnya, negara gagal tak lagi mampu atau tak ‘mau’ melaksanakan tugas layaknya sebuah negara bangsa di dunia modern. Sebagaimana dikemukakan Rotberg, di negara gagal masalah keamanan dan kestabilan tak bisa dinikmati rakyat. Di banyak negara gagal, misalnya, pasukan pemerintah bertempur dengan gerilyawan atau kelompok separatis, terjadi perlawanan terhadap legitimasi pemerintah pusat, macam-macam kerusuhan sipil terjadi, konflik etnis dan teror mengancam stabilitas nasional.
Negara gagal tak mampu menjamin keamanan rakyatnya, padahal keamanan adalah komoditi politik paling utama yang dibutuhkan rakyat. Oleh karena negara gagal tak mampu menciptakan iklim keamanan di luar ibukota negara, maka para warlords menguasai daerah-daerah tertentu yang sulit dijangkau kekuasaan negara dan mengancam warga. Lembaga-lembaga politik sangat lemah dan tak berjalan sebagaimana mestinya. Lembaga politik yang masih berjalan hanya eksekutif. Jika pun lembaga legislatif masih ada, mereka hanya mesin stempel belaka. Keputusan-keputusan ditentukan pihak penguasa. Begitu juga lembaga yudikatif. Lembaga kehakiman tak ubahnya kepanjangan tangan eksekutif ketimbang sebuah lembaga peradilan yang independen. Birokrasi dan aparat pemerintah berubah menjadi abdi penguasa yang hanya melaksanakan titah penguasa ketimbang melayani rakyat. Militer, barangkali satu-satunya, lembaga yang masih punya integritas, namun angkatan bersenjata dari sebuah negara gagal sering dipolitisasi –kalau tidak malah menjadi bagian utama kekuasaan– tanpa semangat korps yang semestinya mereka pegang.
Di negara gagal ketimpangan ekonomi tampak menyolok. Kue ekonomi tidak dibagi secara adil melainkan hanya kepada kelompok tertentu saja. Mereka yang dekat kepada penguasa bertambah kaya, sedangkan yang miskin bertambah papa. Keuntungan melimpah bisa didapat dari spekulasi mata uang, percaloan, dan pengambilan kebijakan. Makanya korupsi merajalela di negara gagal. Koruptor menyimpan hasil korupsinya di bank-bank luar negeri, bukan di negerinya sendiri yang justru sangat membutuhkan kapital. Sementara yang lain membangun istana dan membeli mobil mewah dengan uang negara.
Elite kepemimpinan yang menghancurkan negara. Terjadinya negara gagal bukan suatu kebetulan atau kecelakaan, tapi ulah manusia. Kebijakan dan kesalahan elite kepemimpinan telah menghancurkan negara. Pemerintahan kleptokrasi Mobutu Sese Seko menguras habis sumber daya Zaire untuk kepentingan kroni dan keluarganya. Selama empat dekade, sedikit sekali uang yang mengucur kepada rakyat, apalagi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, samasekali bukan untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Zaire. Negara kaya minyak Angola menjadi negara gagal bukan saja karena selama tiga dekade dilanda perang, melainkan juga karena Presiden Eduardo dos Santos tak menggerakkan pemerintah Angola memberikan pelayanan dasar kepada wilayah yang lebih luas dan dikuasainya. Di Somalia, Presiden Mohamad Siad Barre dengan congkak mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan untuk dirinya dan sukunya sendiri. Di Afghanistan, baik Presiden Gulbudin Hekmatiyar maupun Burhanuddin Rabbani berusaha mencegah suku lain, kecuali Pushtun dan Tajik, untuk ikut serta dalam pemerintahan. Itu sebabnya Taliban berusaha menentang dan menggulingkan pemerintahannya, sehingga kemudian Afghanistan menjadi sarang teroris.
Jika krisis multidimensi di Indonesia masih berlangsung hingga 5 tahun ke depan, tak tertutup kemungkinan negeri ini pun terjerumus dari sekedar negara lemah menjadi negara gagal. Apalagi yang tak ‘dipunyai’ Indonesia: Ada kelompok-kelompok dengan perilaku vigilante, ada manusia-manusia yang beramai-ramai melakukan korupsi berjamaah, ada politisi dan anggota parlemen yang haus uang dan kekuasaan, ada penegak-penegak hukum yang mudah disilaukan dengan suap, ada sederetan pemimpin yang lemah tak punya prinsip kuat, ada pemuka-pemuka pelaku penyalahguna nama rakyat dan nama agama, ada kelompok-kelompok massa yang anarkis, setiap saat ada teror saling bunuh di berbagai daerah dengan berbagai alasan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, seluruh elite politik harus berusaha menghilangkan perbedaan dan menyatukan pikiran dan tindakan demi menyelesaikan berbagai macam masalah dan krisis yang dihadapi bangsa ini. Di samping belajar dari bangsa-bangsa maju, kita pun harus mulai belajar untuk tidak meniru bangsa-bangsa seperti Sudan, Somalia, Angola atau Burundi. (Sociopolitica's Blog)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar