Rabu, 21 Mei 2014

AS "Sakit Kepala" dengan Munculnya Prabowo dalam Pilpres Indonesia



Rabu, 21 Mei 2014 | 10:24 WIB


WASHINGTON, KOMPAS.COM — Munculnya Prabowo Subianto sebagai salah satu calon dalam pemilu presiden Indonesia tahun ini bakal membuat Amerika Serikat (AS) menghadapi situasi yang canggung karena mungkin harus menyambut satu lagi pemimpin Asia yang sebelumnya ditolak masuk AS karena diduga terlibat pembunuhan massal. Demikian laporan kantor berita Reuters, Rabu (21/5/2014).

Situasi canggung itu telah muncul beberapa hari terakhir saat Washington mendapati bahwa mereka harus mengubah haluan dan menjanjikan visa bagi Perdana Menteri India terpilih, Narendra Modi, setelah kemenangan telak Modi dalam pemilu di India. Permohonan Modi untuk mendapatkan visa AS ditolak pada tahun 2005.

Reuters melaporkan, Washington mungkin akan berubah haluan lagi setelah Partai Golkar, partai pemenang kedua dalam pemilu legislatif, Senin lalu secara tiba-tiba memberikan dukungan kepada Prabowo menjelang pemilu presiden pada 9 Juli mendatang.

Kantor berita itu mengatakan, Prabowo pernah menjadi salah satu orang Indonesia yang paling dicerca, dituduh menculik, melanggar hak asasi manusia, dan mengupayakan kudeta setelah penggulingan mantan ayah mertuanya, mendiang Presiden Soeharto, tahun 1998.

Sebuah laporan harian New York Times pada Maret lalu mengatakan, tahun 2000, Departemen Luar Negeri AS menolak visa mantan perwira tinggi itu, yang pangkat terakhirnya di militer adalah letnan jenderal, untuk menghadiri wisuda anaknya di Boston. Namun, AS tidak pernah menjelaskan mengapa permohonan visa Prabowo ditolak.

Prabowo mengatakan kepada Reuters pada 2012 bahwa ia masih ditolak untuk mendapatkan visa AS karena tuduhan bahwa dirinya menghasut kerusuhan yang menewaskan ratusan orang setelah penggulingan Soeharto. Dia membantah telah melakukan kesalahan.

Menurut Amnesty International, Prabowo dipecat dari militer Indonesia tahun 1998 karena perannya, saat menjabat sebagai Komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dalam hilangnya sejumlah aktivis politik.

Adapun penolakan visa untuk Modi dari India pada 2005 berdasarkan ketentuan dalam sebuah undang-undang AS tahun 1998 yang melarang masuk orang asing yang telah melakukan "pelanggaran berat bagi kebebasan beragama." Ia dituduh terkait dengan kerusuhan berbau agama di negara bagian asalnya di Gujarat pada 2002, tempat lebih dari 1.000 orang, sebagian besar umat Islam, tewas.

Namun, setelah partai Modi meraih kemenangan dalam pemilihan umum pekan lalu, Presiden AS Barack Obama dengan cepat menelepon Modi untuk memberikan ucapan selamat dan mengundang pemimpin baru dari sebuah negara yang Obama nyatakan sebagai mitra strategis penting bagi Gedung Putih itu.

Modi juga membantah telah melakukan kesalahan dan ia tidak pernah dituntut di India.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan, Modi akan diberikan visa A-1. Visa jenis ini punya kekebalan diplomatik dan dikeluarkan secara otomatis, kecuali ditentang oleh Obama, yang punya kewenangan untuk menolak masuk siapa saja yang telah melakukan "kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran-pelanggaran serius hak asasi manusia, atau yang berusaha atau bersekongkol untuk melakukan hal itu."

Ketika ditanya apakah Prabowo akan diperlakukan sama seperti Modi jika ia memenangkan pemilu di Indonesia, seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS menanggapi dengan pernyataan serupa, seperti yang disampaikan sebelum ada hasil pemilu India. Ia mengatakan bahwa departemen tersebut tidak akan membahas kasus visa individual.

Pejabat itu menambahkan, Amerika Serikat tetap "berkomitmen untuk menjalin hubungan dekat dengan Indonesia dan berharap hubungan itu akan terus berlanjut."

Namun, sejumlah analis yakin bahwa Prabowo, seperti Modi, akan diberikan visa jika dia menang dalam pemilu.

Ernie Bower, seorang pakar Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies, mengatakan bahwa seperti deklarasi darurat militer minggu ini di Thailand, kasus Prabowo merupakan sebuah "sakit kepala" yang tidak diinginkan saat Washington sedang mencoba untuk menjalin hubungan lebih kuat di Asia Tenggara dalam menghadapi China yang semakin tegas.

"Bagi Amerika Serikat, sangat penting untuk fokus pada amanat rakyat Indonesia. Washington harus merangkul dan bekerja dengan calon mana pun yang terpilih."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar