Rabu, 04 April 2012

Catatan Penting untuk Demonstrasi


ISU kenaikan harga BBM telah berhasil membuat tegang suasana Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh guncangan gelombang demonstrasi dengan segala pernak-perniknya mulai dari pemblokiran jalan hingga keanarkisan. Dampak yang sangat terasa adalah sulitnya banyak warga untuk mengakses jalanan yang menjadi arena demonstrasi. Alasannya bukan sekadar karena jalan yang ditutup, melainkan juga khawatir akan adanya tindakan kekerasan yang dapat membahayakan mereka ketika melintasi arena itu. Bukan fiktif belaka, memang, ketika demonstrasi memanas, alias massa dan petugas kemanan telah sama-sama memijaki titik ricuh, lemparan batu dan peluru akan melayang ke sembarang arah dan jatuh bebas ke mana pun, termasuk pada kendaraan umum dan penumpang di dalamnya. Walhasil, beberapa instansi memulangkan stafnya lebih awal sebelum demo menjadi anarkis, atau bahkan meliburkannya dengan alasan keamanan. Bahkan, tanpa dimungkiri, ada juga orangtua yang melarang anaknya pergi ke sekolah atau kuliah. Demikian, Jakarta di satu sisi menjadi begitu ngeri, menakutkan, akibat demonstrasi yang terjadi.

Mari menilik puncak sementara demonstrasi kenaikan harga BBM pada 30 Maret lalu. Disebut ‘puncak sementara’ karena ada kemungkinan gelombang demo ini bergulir lagi dan mencapai puncak-puncak selanjutnya. Hal itu disebabkan oleh konsekuensi dari keputusan hasil sidang paripurna yang sekadar menunda kenaikan harga BBM dengan bahasa revisi pada pasal 7 UU tentang APBN 2012 dengan penambahan ayat 6a. Pasal 7 ayat 6a tersebut  berbunyi Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu berjalan selama enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, maka pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya’. Ayat ini, seperti dilansir Metro TV, merupakan sebuah tiket bagi pemerintah untuk tetap menaikkan harga BBM.  Jika harga BBM dinaikkan, meskipun diisukan ‘tidak’ kecuali setelah enam bulan ke depan, para demonstran hanya akan merasa dikhianati. Mereka akan merasa apa yang mereka suarakan sama saja tidak didengar, tuntutan mereka tidak ditanggapi. Lantas, demonstrasi pun bisa terjadi kembali, dengan gelombang yang sama, atau bahkan lebih besar lagi. Tentu, misi utama yang dibawa oleh para demonstran adalah membela hak rakyat kecil. Kenaikan harga BBM sangat memengaruhi kenaikan harga kebutuhan lainnya dan berarti akan semakin mempersulit rakyat kecil yang selama ini sudah menderita dalam keterbatasan daya beli. Tiket itu memungkinkan demonstrasi akan terjadi lagi. Jakarta akan kembali menjadi kota yang mengerikan dan menegangkan bagi sebagian penduduknya, terutama yang tidak pro dengan demo.
 
Lalu, apakah demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi agar harga BBM tidak dinaikkan masih diperlukan? Toh, demonstrasi yang kemarin terjadi tidak lantas membuat keinginan mereka, demonstran, lugas dikabulkan. Justru, dampak negatif seperti ketakutan massal dan ketegangan kota kian dirasakan bagi mereka yang tidak terlibat dalam demo.

Jawabnya, ‘YA’, demonstrasi dalam hal menyikapi kebijakan atau dalam rangka menyampaikan aspirasi pada pemerintah masih diperlukan. Ada tiga catatan penting yang perlu dipahami dalam hal ini, yaitu pemahaman bagi pihak yang tidak terlibat atau bahkan kontra demo, pemahaman bagi para pelaku demo, dan bagi pihak yang menjabat sebagai wakil rakyat, petinggi negara, maupun pemerintah Indonesia.

Bagi pihak masyarakat yang tidak terlibat demo, atau bahkan kontra terhadap demo, memiliki kecenderungan negatif menanggapi demo yang terjadi. Aksi para demonstran, terutama yang besar-besaran seperti 30 Maret 2012 lalu hanya membuat mobilitas terganggu, bikin macet. Selain itu, demonstrasi hanya mampu meneriakkan suara ‘perlawanan’ terhadap kebijakan pemerintah seperti “Bela rakyat kecil! Turunkan harga BBM! Turunkan SBY-Boediono!” dan lain sebagainya, tanpa memberikan usulan solusi konkrit kepada pihak yang mereka teriaki. Demonstrasi yang diangap-anggap sebagai jalan penyelesaian masalah krusial malah menyebabkan masalah lain melalui rusaknya pintu tol, merobohkan pagar dan pintu gerbang gedung DPR, membakar kendaraan, dan bermacam aksi keras maupun anarkis lainnya. Demonstran, khususnya mahasiswa, sering dicap telah kehilangan intelektualnya karena melakukan aksi-aksi yang tidak berhubungan dengan materi apa yang sedang diperjuangkan. “Mahasiswa kok main otot. Harusnya otak dong!” Ya, begitulah kira-kira tanggapan pihak yang tidak terlibat, atau bahkan kontra, demonstrasi.

Namun, perlu dipahami bahwasannya demonstrasi merupakan salah satu cara yang efektif dalam menyampaikan aspirasi. Memang, sekilas terkesan sia-sia ketika ternyata hasil tak sebanding dengan kekacauan yang telah disebabkan. Akan tetapi, inilah perjuangan. Demonstrasi memegang fungsi penting sebagai kontrol pemerintah, penggertak pemerintah bahwa ada banyak masyarakat yang menanti keadilan dan siap melawan kesemena-menaan. Meskipun sebagian dari kita menganggap demonstrasi bukan solusi masa kini karena aspirasi bisa disampaikan melalui aksi yang lain semacam tulisan, namun, tulisan pada dasarnya hanyalah aksi individu. Tulisan hanyalah gagasan dan hasil pemikiran yang disampaikan oleh orang per orang. Banyak masyarakat akan membaca, dan mungkin juga presiden dan para pejabat negara. Tapi, tak ada efek yang cukup kuat dari tulisan sebagai penggertak pemerintah. Dalam kasus-kasus ketidakadilan sebuah kebijakan penting, tulisan yang merupakan aksi individu sebaiknya disertai tindakan kebersamaan semacam demonstrasi. Sebab, analogi klasik sebatang lidi berlaku di sini. Sendiri tak akan lebih mampu membersihkan sampah di halaman dibandingkan jika lidi-lidi itu diikat menjadi satu, menjadi sapu.

Mengenai kerugian yang disebabkan oleh demonstran seperi perusakan pagar DPR, harusnya ini justru menjadi bahan telaah kritis bagi kita. Alangkah mudahnya pagar elite milik para pejabat itu dirobohkan. Apakah konstruksi yang digunakan benar-benar kuat? Apakah selama ini korupsi juga terjadi dalam pembiayaan pembuatan pagar dengan menggunakan sebagian kecil saja uang dari anggaran pembetulan pagar dan sisanya dinikmati sendiri. Ya, ini memang sekadar asumsi. Namun, setidaknya kita harus mampu menelaah dengan lebih kritis lagi.

Kepada para pelaku aksi, hendaknya demonstrasi diimbangi dengan aksi nyata lainnya. Demontrasi memang media juang untuk mewujudkan tujuan. Namun, bukan satu-satunya media. Misalnya saja dalam isu kenaikan harga BBM ini, demonstran, khususnya mahasiswa, seharusnya mampu memberikan solusi alternatif bagi rakyat kecil. Contohnya, pemanfaatan sumber daya alam lain untuk bahan bakar, atau peningkatan kualitas sumber daya manusia agar memiliki daya beli yang lebih baik. Dengan demikian, masyarakat tidak akan terpengaruh lagi dengan kenaikan harga BBM karena mereka sudah tidak bergantung padanya, dan mereka sudah memiliki daya beli yang baik. Program ini tentunya tidak mudah karena beraliran ‘pemerataan kesejahteraan’. Oleh karena itu, kita butuh metode aksi besar-besaran. Organisasi, khususnya pemuda dan mahasiswa, yang memiliki cabang di seluruh Indonesia seperi Aliansi BEM Seluruh Indonesia, KAMMI, HMI, dll. menyeragamkan gerakan untuk melakukan upaya tersebut di setiap wilayahnya. Bukan hanya ketika berteriak menantang pemerintah saja yang perlu bersatu, tapi dalam melakukan upaya dan solusi alternatif juga perlu persatuan agar hasilnya maksimal. Dengan kata lain, aksi perlu dimodifikasi, demo dilengkapi aksi nyata yang solutif.

Kepada pemerintah dan pejabat negara, sebaiknya mau dan mampu mendengar apa yang menjadi suara rakyatnya, juga mampu berpihak pada rakyat yang diwakilinya di gedung mewah DPR RI. Jadikan aspirasi rakyat sebagai masukan, kontrol atas kerja yang telah dilakukan. Bersyukurlah bahwa Bapak Ibu Pejabat semua masih memiliki rakyat yang peduli dengan negaranya. Bersikaplah dengan baik karena Bapak Ibu sekalian menjadi sorotan. Bersidanglah dengan kritis namun santun karena Bapak Ibu pun menjadi tontonan rakyat. Jika merasa lelah, ingatlah bahwa rakyat akan tetap mendukung selama Bapak Ibu ada di jalan yang benar. Jangan semena-mena karena demonstrasi bisa terjai kapan saja, kontrol mahasiswa dan rakyat bisa dalam bentuk apa saja. Karena pada Bapak dan Ibu lah kami wakilkan suara kami bagi kesejahteraan Indonesia.

Demonstrasi, sampai kini, masih perlu dilakukan. Sebab, demo merupakan salah satu cara yang efektif sebagai media penyampai aspirasi dan penggertak pemerintah akan kebijakan yang tidak adil. Namun dengan catatan, para demonstran, khususnya mahasiswa, juga harus melakukan aksi besar-besaran dalam bentuk yang lain, yang bersifat peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dan bagi pemerintah, jangan pandang negatif demo yang terjadi karena inilah kontrol bagi kerja Bapak Ibu untuk negara. Demo, tetap perlu dilakukan.

Endang Sriwahyuni
Mahasiswa Sampoerna School of Education
(//rfa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar