Kamis, 17 November 2011

Marsinggo - Jalan Baru

Penyebab utama mengapa Indonesia tidak pernah bangkit, walaupun telah memiliki kemerdekaan dan kebebasan politik, adalah karakter feodal dari para pemimpin. Para pemimpin kebanyakan berasal dari kalangan priyayi, tradisional maupun modern, yang merasa tidak punya kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam sistem feodal atau neofeodalisme, kekuasaan berasal dari hubungan biologis dan romantisme historis, dan legitimasi pencitraan semu, di mana rakyat hanya diperlukan pada saat pemilu dan sekedar penggembira. Dalam budaya feodal/neofeodalisme ini, pemimpin tidak memiliki kewajiban sakral, tidak memiliki noblesse oblige dan tidak memiliki semangat bushido untuk berjuang dan berkorban guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsanya.

Di negara-negara yang maju di Asia Timur, para pemimpinnya memiliki kewajiban sakral dan semangat bushido untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, baik karena alasan ideologis (China), semangat nasionalisme dan kemandirian (Jepang dan Malaysia), dan alasan survival (Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan).

 ***

Alasan kedua, mengapa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyatnya adalah karena adanya the creeping back of neocolonialism atau kembalinya neokolonialisme. Para pejuang kemerdekaan kita sejak tahun 1908 dan para pendiri Republik Indonesia, berjuang dan berkorban melawan berbagai bentuk imperialisme dan kolonialisme. Bung Karno dalam pidatonya di depan Pengadilan Negeri Bandung tahun 1930 (“Indonesia Menggugat”) dan Bung Hatta dalam bukunya “Indonesie Vrij” secara rinci menjelaskan bahaya dan kerusakan yang diakibatkan oleh sistem imperialisme dan kolonialisme. Karena perjuangannya, Bung Hatta ditahan dan diadili di Negeri Belanda, Bung Karno bahkan pernah dipenjara selama beberapa tahun di Penjara Sukamiskin, Bandung.

Dalam kurun yang lebih pendek, hanya satu tahun, dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pengorbanan para pejuang kemerdekaan, saya diberikan kesempatan oleh sejarah, ditahan di penjara Sukamiskin karena menentang rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1978/1979.

Kembalinya neokolonialisme tersebut dipersiapkan secara matang oleh kekuatan di luar Indonesia sejak akhir tahun 1950-an, dan dibantu oleh orang Indonesia sendiri, yaitu kelompok ekonom Mafia Berkeley atau Mafia Orde Baru. Sangat memprihatinkan ternyata puluhan tahun kemudian, kolonialisme itu kembali dalam bentuk yang baru dan bahkan dengan sengaja dibantu oleh orang-orang Indonesia sendiri yang membuka pintu bagi penetrasi neokolonilisme.

Pada saat Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Belanda, Soekarno-Hatta menyetujui pembayaran utang Hindia Belanda oleh Indonesia, asalkan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Tetapi persetujuan itu hanya taktik, karena dalam kenyataannya pemerintah Soekarno-Hatta tidak pernah melaksanakan pembayaran utang tersebut karena bertolak belakang dengan prinsip keadilan.

Namun sangat disayangkan, setelah Soekarno jatuh, pemerintah Orde Baru melalui Mafia Berkeley melakukan negosiasi ulang tentang utang-utang Indonesia pada tahun 1969. Mereka sepakat untuk mencicil utang warisan pemerintah Hindia Belanda. Artinya, mereka sepakat untuk membayar biaya penjajahan pemerintah Hindia Belanda, termasuk untuk menumpas gerakan-gerakan perlawanan para pahlawan seperti Cik Ditiro dan rakyat Aceh, oleh Pattimura dan rakyat Ambon dan biaya untuk menindas rakyat Indonesia.

Sejak saat itulah, tidak peduli siapa Presidennya, siapa partai yang berkuasa, Mafia Ekonom Orde Baru dengan sengaja mendesain kebijakan ekonomi Indonesia sekedar menjadi subordinasi dan alat dari kepentingan internasional. Itulah yang kami sebut sebagai neokolonialisme.

Padahal Indonesia merupakan negeri yang sangat kaya, baik dari segi sumber daya alam, keragaman budaya dan sumber daya manusia. Indonesia memiliki banyak sekali cawan-cawan emas (golden bowls) dalam bentuk kekayaan sumber daya alam bernilai ratusan miliar dolar. Tetapi karena para pemimpinnya bermental orang terjajah (inlander), cawan-cawan emas itu cuma dipakai untuk mengemis uang pinjaman recehan kepada lembaga multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Uang pinjaman harus “ditukar” dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang sesuai dengan garis neoliberal dan kebijakan Washington Consensus -- kebijakan yang dirancang oleh IMF-Bank Dunia untuk kepentingan negara-negara maju. Undang-Undang Migas, Undang-Undang Privatisasi Air dan Undang-Undang Privatisasi BUMN adalah contoh Undang-Undang yang dibuat dengan iming-iming uang pinjaman dari lembaga multilateral. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi Indonesia telah “diijonkan” dan “digadaikan” demi uang pinjaman. Tidak ada lagi kedaulatan dalam bidang ekonomi. Itulah bentuk baru dari neokolonialisme.

***

Penyebab ketiga mengapa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat dan semakin tertinggal dari negara lain adalah kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif. Kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif tersebut adalah cerminan dari visi dan karakter yang lemah, sehingga mudah goyang dan berubah-ubah hanya karena adanya perubahan kepentingan taktis, perubahan opini, dan respons pencitraan situasional.

Kita telah berulang kali menggantungkan harapan pada janji-janji para pemimpin, namun kita juga telah berulang kali kecewa karenanya. Ketika berkampanye, calon-calon pemimpin dengan bersemangat menyatakan pro-rakyat, pro-peningkatan kesejahteraan dan pro-kepentingan nasional. Tetapi begitu mereka terpilih untuk berkuasa, pemimpin-pemimpin tersebut langsung “balik badan” untuk kemudian merangkul kembali pikiran-pikiran lama dan oligarki lama yang tidak akan pernah membawa rakyat Indonesia lebih sejahtera dan bangsa kita menjadi bangsa besar di Asia.

Begitu berkuasa, “perubahan dan terobosan” ke arah yang lebih baik segera ditukar dengan “kesinambungan dan stabilitas status quo”. Dengan demikian, mereka hanya sekedar meneruskan “Jalan Lama” yang selama 40 tahun telah mengantarkan Indonesia menjadi negara gagal (failed state) dan sekedar menjadi subordinasi kepentingan internasional. Hasil akhirnya, bukan projobs (peningkatan lapangan kerja), bukan progrowth (pertumbuhan), dan bukan propoor (pengentasan kemiskinan), melainkan  “prosotan” (kemerosotan) kesejahteraan rakyat.

Indonesia gagal menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun didukung rezim otoriter selama 32 tahun. Selain ketinggalan dari segi pendapatan per kapita, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, serta memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh. Padahal negara-negara seperti Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, China, dan Thailand tidak memiliki sumber daya alam yang besar seperti Indonesia.

Di bawah pengaruh dan kekuasaan Mafia Ekonom Orde Baru, utang yang besar dan habisnya kekayaan alam dan hutan yang rusak, ternyata hanya menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$ 1.000 dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat minimal serta ketergantungan mental maupun finansial terhadap utang luar negeri.

Jika “Jalan Lama” yang terbukti gagal tersebut diteruskan, jangan bermimpi bahwa mayoritas rakyat Indonesia akan sejahtera dan Indonesia akan menjadi bangsa besar di Asia. Tidak usah berharap Indonesia akan menjadi The Next Malaysia atau The Next Korea atau bahkan The Next China. Tetapi justru sebaliknya, besar kemungkinan Indonesia hanya akan menjadi The Next Filipina. Hanya Indonesia dan Filipina yang selalu mengikuti dengan patuh resep-resep gagal ala Washington Consensus, di samping negara-negara di Amerika Latin pada tahun 1970-2000.

Negara-negara Asia Timur yang mampu tumbuh tinggi (double digit), berhasil menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, justru mengambil jalan yang tidak selalu sejalan, bahkan sering bertentangan dengan Washington Consensus. Pertanyaannya, masihkah ada harapan untuk meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat kita dan membawa Indonesia menjadi salah satu negara besar di Asia? Apakah jika ada pemimpin baru otomatis akan terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dan Indonesia akan menjadi negara besar di Asia?

Pemimpin baru yang memiliki karakter dan visi yang kuat dan kepemimpinan yang efektif jelas sangat dibutuhkan. Tetapi jika pemimpin baru tersebut tetap menempuh “Jalan Lama”, jalan yang telah gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat selama 40 tahun, maka akhirnya rakyat akan kembali “dikhianati” dan “ditinggalkan” hanya untuk menyenangkan kelompok status quo, oligarki lama, dan kepentingan penguasa Adidaya. Pemimpin baru dengan “Jalan Lama” hanyalah pemimpin yang akan memperkokoh neokolonialisme, memicu proses kemerosotan dan kemiskinan struktural.

Tanpa “Jalan Baru”, pemimpin baru tidak lebih dari sekedar pengendara mobil bekas yang akan berlomba di sirkuit balap dunia Formula-1 di Asia Timur yang sangat kompetitif.

Komite Bangkit Indonesia dibentuk untuk memperjuangkan “Jalan Baru”, jalan anti neokolonialisme, jalan yang lebih mandiri, yang akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan mayoritas rakyat Indonesia.

Kedaulatan ekonomi harus kita rebut. Sebagai negara berdaulat, Undang-Undang dan kebijakan ekonomi tidak akan kita “gadaikan” dan “ijonkan” demi utang recehan. Hanya dengan kedaulatan dan kemandirian, kita akan berdaulat dalam bidang pangan dan energi, serta menarik manfaat sebesar-besarnya dari kekayaan sumber daya alam, keragaman budaya, dan sumber daya manusia Indonesia.

“Jalan Baru” adalah jalan yang akan berlandaskan pada kebhinekaan, keragaman budaya, dan pluralisme. Dengan landasan itu, Komite Bangkit Indonesia akan mendorong renaissance kebudayaan Indonesia sehingga tercipta suatu masyarakat yang lebih kreatif dan inovatif (innovative and creative society), bukan hanya sekedar masyarakat terbuka (open society) yang sering hanya menjadi korban dari globalisasi. Masyarakat yang lebih kreatif dan inovatif akan mampu menarik manfaat sebesar-besarnya dari kekuatan dan kejayaan masa lalu, serta menarik pengalaman dan manfaat dari kebudayaan antar bangsa.

Masyarakat yang lebih kreatif dan inovatif hanya mungkin terbentuk melalui pembaharuan dan perbaikan kualitas pendidikan formal maupun informal. Kebangkitan Jepang (reformasi Meiji), kebangkitan Korea, Malaysia, dan China dimulai dengan investasi besar-besaran dalam sumber daya manusia. Merekalah yang kemudian menjadi motor dari perubahan, kemajuan dan kebangkitan negara-negara tersebut. Mereka kemudian didukung dengan sistem yang sangat kompetitif di dalam negeri, tetapi saling mendukung ketika menghadapi persaingan global. Dalam kaitan itu, akses terhadap pendidikan yang berkualitas harus terbuka terhadap semua lapisan masyarakat yang cerdas dan potensial, tidak hanya bagi kelompok yang mampu.

Komite Bangkit Indonesia akan berjuang agar demokrasi Indonesia membawa manfaat bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bukan hanya sekedar demokrasi “pilih-memilih” (prosedural). Akibat pilihan “Jalan Lama” yang terbukti gagal dan kelemahan kepemimpinan pasca reformasi, anasir-anasir lama dan status quo ingin mencoba mendaur ulang sistem otoriter dengan iming-iming peningkatan kesejahteraan. Iming-iming tersebut hanya ilusi dan fatamorgana karena pengalaman di bawah sistem otoriter, Indonesia justru ketinggalan dibandingkan negara Asia Timur lainnya, memiliki distribusi pendapatan yang paling timpang, stok utang paling besar serta memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh.

Komite Bangkit Indonesia tidak akan membalikkan putaran jarum sejarah, karena daur ulang sistem otoriter hanyalah ilusi yang sangat menyesatkan. Komite Bangkit Indonesia akan melawan setiap upaya untuk mengembalikan sistem otoriter, dan justru sebaliknya, akan memperjuangkan agar demokrasi semakin kokoh dan membawa manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Komite Bangkit Indonesia akan memperjuangkan penegakan hukum yang adil, tanpa pilih kasih, serta berpihak kepada kepentingan publik dalam hal pemberantasan KKN, penegakan Hak Asasi Manusia, dan pelestarian lingkungan. Dalam kaitan dengan itu, Komite Bangkit Indonesia menilai bahwa reformasi birokrasi, bukan hanya sekedar kenaikan gaji – tetapi juga mencakup perbaikan sistem rekrutmen, struktur insentif, sanksi hukum dan administratif, serta sistem promosi dan training. Semua itu merupakan prasyarat utama untuk meningkatkan efektivitas pemerintah dan melawan korupsi dan nepotisme.

***

Komite Bangkit Indonesia akan menentang dominasi negara yang melahirkan sistem dan pemerintahan otoriter. Namun pada saat yang bersamaan, Komite Bangkit Indonesia menentang dominasi sektor swasta yang dapat menciptakan monopoli/oligopoli baru dalam bidang ekonomi. Dominasi sektor swasta yang oligopolistik sama berbahayanya dengan dominasi negara, terutama dalam hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Neoliberalisme dan fundamentalisme pasar bebas tidak ada tempatnya dalam “Jalan Baru” kebangkitan Indonesia. Ekonomi pasar bebas harus diimbangi dengan dukungan sistem sosial bagi yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan cita-cita founding fathers Republik Indonesia.

Dengan memanfaatkan momentum 100 tahun kebangkitan Indonesia (1908-2008), Komite Bangkit Indonesia akan melakukan rangkaian program penyadaran, diskusi publik, dengar pendapat dengan meninggalkan “Jalan Lama” yang telah gagal setelah 40
tahun, menuju “Jalan Baru” kebangkitan Indonesia. Rangkaian program tersebut akan mencakup berbagai bidang, termasuk ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan.

Marilah kita hapuskan segala bentuk neokolonialisme dari bumi Indonesia!
Tinggalkan “Jalan Lama”, yang gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan!
Kita rebut kembali kedaulatan politik dan ekonomi!
Hanya dengan “Jalan Baru”, kemakmuran dan kesejahteraan akan kita capai!
Hanya dengan “Jalan Baru”, Indonesia akan segera bangkit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar