Sejumlah siswa memasang mesin pada kerangka mobil Kiat Esemka di Solo Techno Park, Kamis (5/1). Meski belum ada izin produksi mobil Kiat Esemka karya SMK 2 dan SMK Warga, mendapat respon dari masyarakat sangat baik terbukti pesanan yang masuk sudah ratusan unit dalam waktu kurang dari sepekan. TEMPO/Andry Prasetyo
Minggu, 08 Januari 2012 | 04:24 WIB
TEMPO.CO, YOGYAKARTA:-Kemunculan mobil Kiat Esemka Walikota Solo Joko Widodo (Jokowi) dinilai sebagai bentuk nyata gerakan “swadeshi’ ala Indonesia. Gerakan itu jadi modal untuk melawan mental yang terlanjur latah dan terjajah dengan produk asing selama ini.
Seniman gaek Yogyakarta, yang juga pendiri sanggar Kua Etnika dan Orkes Sinten Remen, Djaduk Ferianto menuturkan munculnya mobil yang dirakit para siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang jadi buah bibir saat ini jadi awal pemecah kejenuhan panjang Indonesia yang bermimpi berdiri sebagai negara berdikari.
“Tak usah melihat buruknya dulu apakah mobil itu cuma merakit atau meniru, itu ekspresi yang harus dilihat sebagai awal kebangkitan, itu cara swadeshi-nya Indonesia,” kata Djaduk kepada Tempo Sabtu 7 Januari 2012.
Sejumlah sikap pejabat negeri, mulai yang menuding hanya demi kepentingan politis pencitraan atau meremehkan sebagai mainan anak-anak karena cuma merakit, dianggap Djaduk sebagai upaya mempertahankan status quo segelintir elit.
“Semua proses kreatif kan diawali meniru dulu, baru menciptakan sendiri. Proses ini pun terjadi di negara maju. Manusia saja ketika lahir juga meniru orang tuanya dulu,” kata adik monolog Butet Kartaradjesa itu.
Djaduk menambahkan, seburuk apapun mobil Esemka itu telah menunjukkan bahwa masyarakat yang ada di bawah selama ini terus bekerja. Namun selalu dibaikan. “Jadi kalau ada yang curiga, mending ‘dipendem’ (dikubur) saja,” kata dia.
Djaduk berharap, setelah booming Esemka ini, pemerintah semakin terbuka matanya untuk memperhatikan hasil-hasil dari anak negeri lainnya dan memberinya kesempatan untuk berkembang di negeri sendiri.
“Semua sudah hafal dan jenuh dengan tingkah pejabat yang hanya mengumbar wacana, teori, dan lip service. Sudah saatnya malu dan mulai bergerak,” kata dia.
Sementara seniman Yogyakarta lain, Ong Hari Wahyu menuturkan rintisan mobil Esemka Jokowi cukup dahsyat menjadi gebrakan penyadar bangsa meski belum menunjukkan suatu kreativitas secara penuh.
“Memang masih seperti puzzle, merakit dari bagian-bagian yang sudah dibuat di tempat lain. Tapi ini proses awal yang harus segera diarahkan agar tidak menjadi bumerang,” kata dia. Bumerang yang dimaksud Ong tak lain karena adanya unsure ‘harga murah’ untuk mobil itu sendiri sehingga dikhawatirkan menjadi produk konsumsi massal.
“Untuk awal dijajal dengan mobil tak masalah. Tapi berikutnya semoga bisa diarahkan ke transportasi public agar tak menjadi persoalan transportasi ketika semua orang sudah merasa bisa membeli mobil,” kata dia.
Kejengahan ini karena Ong sejumlah pihak sudah berlomba memesan mobil tersebut. Sementara pemerintah belum bisa menuntaskan permasalahan transportasi.
Ia menyoroti persoalan itu karena penggunaan mobil juga menyangkut persoalan mentalitas. “Di sini mobil masih fashion, bukan fasilitas produksi sehingga orang gampang sekali beli jika merasa punya duit,” kata dia.
Satu sisi digemborkan himbauan untuk menggunakan sepeda demi menjaga lingkungan dan pengehmatan energi. Namun “Tapi di sisi lainnya sekarang muncul rangsangan belilah mobil sendiri karena harganya murah, Jadi absurd kalau salah arahan,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar