December 22, 2006
…Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
…
Krawang Bekasi, Chairil Anwar (1948)
Merekalah yang menorehkan tinta sejarah di republik kita. Tinta emas yang senantiasa kita kenang dan tinta hitam yang senantiasa kita sesali. Mereka yang mendapat sebutan sebagai pejuang besar bagi bangsa Indonesia. Marilah kita lihat seorang yang telah berhasil menorehkan tinta emas pada sejarah negara kita. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Bung Hatta, seperti yang dinyanyikan oleh Iwan Fals dalam sebuah lagunya, adalah seorang yang “jujur, lugu dan bijaksana, mengerti apa yang terlintas dalam jiwa Indonesia”. Segala yang membuatnya mengerti tiap jiwa yang ada di Indonesia hanyalah kepedulian dan sensitifitas sosialnya yang sangat tinggi terhadap masyarakatnya. Semua bentuk empati dan simpatinya membuat beliau menjadi jauh lebih paham seperti apa rakyat yang dipimpinnya ketimbang pemimpin lain yang memilih gaya borjuis saat menjadi elit politik. Bung Hatta bukanlah tokoh yang suka hidup dalam gemerlap ketenaran dan kekuasaan serta hingar-bingar politik.
Inilah modal dasar yang penting bagi seorang pemimpin sejati. Pemimpin besar dunia seperti Bung Hatta dan Mahatma Gandhi memilih bersikap seperti rakyat kebanyakan sebagai bentuk kepedulian terhadap rakyat yang dipimpinnya. Bung Hatta dengan penuh kesederhanaan berani menolak saat gajinya sebagai Wapres akan dinaikkan. Katanya, “Keuangan negara tidak cukup kuat, sementara banyak rakyat melarat yang memerlukan uang itu.”
Prinsip tanpa kekerasan pada diri Bung Hatta pun sebenarnya tumbuh karena rasa hormat Bung Hatta pada sesama manusia, baik kawan atau pun lawan. Walaupun Bung Hatta tidak setuju dengan pendapat seseorang, bukan berarti beliau harus membenci orang tersebut. Bung Hatta yang lembut hati, selalu mencari strategi untuk berjuang tanpa kekerasan. Senjatanya adalah otak dan pena. Beliau lebih memilih untuk menyusun strategi, melakukan negosiasi dan menulis berbagai artikel bahkan kritikan pedas untuk memperjuangkan nasib bangsa daripada melawan menggunakan kekerasan.
Muhammad Iqbal, 2004 mengatakan bahwa kekuatan Bung Hatta terletak pada artikulasi gagasan-gagasannya dalam bahasa tulisan. Bung Hatta lebih memilih tulisan dalam menyampaikan berbagai pemikirannya, baik di bidang sosial, ekonomi, politik maupun keagamaan. Hal ini berbeda dengan teman seperjuangannya seperti H. Agus Salim yang lebih dikenal sebagai orator. Taufik, 2006 mengatakan bahwa ia mengunggulkan tulisan Bung Hatta dibanding Bung Karno dari sisi akademis. “Bung Hatta betul-betul seorang ilmuwan,” ucapnya.
Bung Hatta yang dikenal jujur, sabar, cerdas, dan penuh ide pada tiap tulisannya ini memegang teguh prinsip yang diyakininya. Prinsip demokrasi dan kebebasan berpendapat yang dipegang beliau membuatnya berusaha untuk dapat mengakomodasi aspirasi semua golongan tanpa kecuali. Itulah sebabnya beliau memperjuangkan status Indonesia sebagai negara kesatuan yang utuh.
Kita jangan langsung menyimpulkan bahwa Bung Hatta telah melakukan kesalahan yang besar karena dianggap tidak mendukung perjuangan umat Islam ketika beliau merelakan Piagam Jakarta harus diubah dari naskah aslinya. Semua ini dilakukan Bung Hatta bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan bangsa. Hal ini dilakukan Bung Hatta untuk menghormati perjuangan para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dan Sumpah Pemuda yang dianggapnya sebagai titik awal berubahnya cara perjuangan bangsa yang menjadi momen penting bersatunya bangsa Indonesia.
Semakin tipisnya rasa kesatuan dan batas toleransi tiap warga negara sekarang ini disertai dengan semakin jauhnya kesenjangan yang ada adalah sebagai akibat meluasnya konflik perseorangan menjadi konflik yang terkait dengan suku, agama, ras dan golongan tertentu. Kehendak untuk memiliki kebebasan tanpa batas dan keinginan mematikan arti suatu kritik pada orang lain mengakibatkan perbedaan pendapat lebih dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima. Selain itu, tercekiknya nafas-nafas kerohanian agama dan mulai masuknya agama sebagai alat politik dan sebagai ideologi praktis disertai dengan hancurnya cita-cita pluralisme yang diikrarkan para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 mengakibatkan kehidupan di Indonesia menjadi terkotak-kotak. Putusnya harapan terhadap demokrasi karena penyelewengan terhadap fungsi demokrasi mengakibatkan kegagalan terciptanya pemerintahan yang kuat dan efektif. Hancurnya perekonomian sebagai akibat carut-marutnya birokrasi, kekerasan dan intimidasi berkepanjangan disertai dengan kurangnya dukungan terhadap penjual kecil dan keberpihakan pada pemilik modal besar menyebabkan sulit berkembangnya usaha kecil dan bertambah kompleksnya masalah di Indonesia.
Alangkah sedihnya Bung Hatta, seandainya mereka melihat bahwa di zaman multikrisis seperti ini ternyata sense of crisis para pemimpin masih sangat rendah. Betapa sulit dimengerti ketika masih ada pejabat tinggi negara yang masih menggunakan uang negara demi kepentingan pribadi semata. Perbedaan perlakuan pemerintah terhadap para pemodal besar dan investor asing dengan para pengusaha kecil dan lokal, pengusiran dan penggusuran pedagang kaki lima tanpa adanya solusi yang pasti semakin memperjelas hilangnya rasa toleransi dan rusaknya tatanan demokrasi ekonomi yang dicita-citakan Bung Hatta.
Banyak hal yang harus kita benahi dalam membangun kembali rumah demokrasi kita, memakai atap Bhineka Tunggal Ika, dengan pondasi Pancasila, berdinding Undang-Undang Dasar 1945 dan bahan dasar toleransi. Kita berharap semua perbedaan budaya dan pendapat pada tiap warga Indonesia dapat menjadi penghias rumah yang penuh pluralisme ini.
Bung Hatta telah memberikan kita banyak teladan penting yang bisa kita aktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bung Hatta telah memperlihatkan sosoknya sebagai negarawan sejati. Tidak pernah memaksakan kehendaknya, meskipun itu diyakininya benar. Bung Hatta berpikir dan bertindak sebagai pendekar demokrasi yang berupaya memberikan pencerdasan kepada bangsanya. Mengapa Bung Hatta yang lain sulit kita temukan kembali? Apakah sosok Bung Hatta terlalu ideal bagi para negarawan-negarawan kit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar