Rabu, 11 Januari 2012

MARSINGGO - Hak-hak Masyarakat atas Tanah Ulayat

Oleh : M Sayuti Dt Pangulu
Ketum LKAAM Sumbar
Padang Ekspres • Kamis, 29/12/2011 10:10 WIB • 471 klik
M Sayuti Dt Pangulu
Ada masyarakat bertanya kepada saya, apakah masih ada hak masyarakat di atas tanah ulayat? Secara ringkas saya jawab, selagi manusia ada di atas tanah, selama itu pula hak manusia ada di atas tanah, dalam hal ini tentu tanah ulayat.
Tanah ulayat di Minangkabau diatur pimpinan adat yang disebut ampek jinih; penghulu manti, dubalang dan malin yang berkedudukan di kaum dan atau di suku dan atau di nagari. Orang ampek jinih itu ibarat empat badan satu nyawa. Artinya, sistem kepemimpinannya satu atap atau satu kotak. Rusak satu rusak yang lainnya.

Menurut hukum kearifan lokal Minangkabau, tanah ulayat dibagi empat. Pertama, tanah ulayat suku (TUS) berwenang mengatur pemanfaatannya adalah mamak kepala waris/mamak kepala suku.
Mamak kepala waris itu adalah laki-laki tertua dalam kaum suatu suku atau artinya tanah cadangan yang dikuasai oleh suku/kepala suku menurut bari balabeh, setiap nagari yang wewenangnya dipegang oleh suku yang bersangkutan yang diperuntukan kepada anggota suku.

Kedua, tanah ulayat kaum (TUK), yang berwenang mengatur pemanfaatannya adalah penghulu kaum atau mamak kepala kaum. Mamak kepala kaum adalah seorang penghulu dalam kaum yang bergelar datuk. Tanah yang dipegang oleh kaum atas pemberian suku yang diperuntukan kepada anggota kaum yakni pada paruik.
Kaum itu terminologinya sepadan dengan Jurai, sedangkan paruik sepadan artinya dengan Indu. Tiba di paruik inilah dipakai istilah ganggam bauntuak. Hak pada pemegang ganggam bauntuak itu hanyalah hak garap. Ganggam bauntuak ini contohnya tanah perumahan, tanah parak/ ladang, tanah sawah, tidak boleh dijual.

Ketiga, tanah ulayat nagari (TUN) yang berwenang mengatur pemanfatannya adalah Kerapatan Adat Nagari (KAN) (semacam aliansi penghulu kaum dalam nagari yang disebut pangulu pucuak di Kelarasan Koto Piliang dan Pangulu Tuo di Kelarasan Bodi Caniago) atau tanah yang dikuasai oleh nagari yang belum diperuntukan kepada suku sesuai dengan barih balabeh adat nagari yang bersangkutan.
Keempat, tanah ulayat rajo (TUR) atau kawasan yang belum dikandonoi yang berwenang mengatur pemanfaatannya adalah para penghulu pucuak atau pangulu tuo yang dianggap tak rajo kaganti rajo, rajo di sini bukan kerajaan, tetapi kebenaran bukan pula pemiliknya tetapi pengawasnya.
Tanah seperti ini adanya di daerah rantau Minangkabau. Kalau dalam daerah inti luhak nan tigo umumnya tanah sudah bertuan. Jika kita berangkat dari ketentuan barih balabeh alam Minangkabau, maka luhak bapangulu, rantau baandiko, alam barajo, lareh ba urang gadang atau ’luhak berpenghulu, rantau berandiko, alam beraja, laras berorang gedang’, maka setiap daerah itu sudah jelas pemilik hak ulayatnya.  

Tanah ulayat di Minangkabau tidak boleh dijual, karena hasil jualan itu hukumnya haram. Hukum tanah ulayat itu menurut syara’ termasuk wakaf zdurriyyi (wakaf untuk salingka kaum) wakaf untuk keturunan—kalau diambil atau dijual hukumnya haram, (sumber: Prof Dr Syamsul Bahri Khatib Bangso Rajo, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar dan fatwa ulama dari Bukittinggi dan Pariaman, 2011).
Sebab, tanah ulayat itu tidak ada wasiat satu patah kata pun dalam tambo adat Minangkabau dari nenek moyang dulu untuk dijual, tetapi untuk dimanfaatkan aianyo nan buliah diminum, buahnyo nan buliah dimakan, nan batang tatap tingga atau airnya yang boleh diminum, buahnya yang boleh dimakan, yang batang tetap tinggal’.
Artinya, yang berlaku adalah hak manfaat dan hak garap baik oleh pihak pertama ataupun oleh pihak kedua. Sebab, tanah ulayat itu dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando atau dijual tidak dimakan beli, dijual tidak dimakan sandra’.

Dengan kata lain, tanah ulayat itu tidak boleh beralih status haknya kepada siapa pun selain pada penguasa semula yang sudah sundut bersundut dan turun temurun. Kecuali hak gadai yang empat. Pertama, maik tabujua tangah rumah (mayat terbujur tengah rumah). Kedua, gadih gadang indah balaki  (gadis sudah dewasa tidak punya suami). Ketiga, rumah gadang katirisan (rumah gadang ketirisan). Keempat, mambangkik batang tarandam  (membangkit batang terendam). (Maaf, uraian tata cara gadai yang empat ini sangat panjang tidak boleh diartikan sepotong-sepotong).  

Lalu, apakah hak masyarakat atas tanah ini masih ada? Dasar hukum terhadap pengakuan hak masyarakat hukum adat dapat dilihat pada Pasal 18 B Ayat 2 dan Pasal 28 I Ayat 3 UUD 1945, Pasal 51 Ayat 1 huruf b UU RI No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 6 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan hukum dan peraturan tersebut, maka masyarakat hukum adat dapat diakui oleh negara bila mempunyai empat syarat konstitusinal dan memperoleh legal standing. Empat syarat konstitusional itu adalah: pertama, sepanjang masih hidup; kedua, sesuai dengan perkembangan masyarakat; ketiga, sesuai dengan prinsip NKRI; dan keempat, diatur dalam undang-undang.

Menurut Prof Dr Maria SW Sumandjono SH MCL MPA (2001) bahwa kriteria penentuan masih ada atau tidak adanya hak atas tanah ulayat dapat dilihat dari tiga hal: pertama, adanya masyarakat hukum adat yang mempunyai ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; kedua, adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai hak obyek hak ulayat; ketiga, adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan tertentu.

Sumadjono menjelaskan, penentuan tentang keberadaan hak ulayat dilakukan oleh pemerintah daerah (pemda) dengan mengikutsertakan masyarakat hukum adat, lembaga adat, LSM, dan instansi terkait dengan sumber daya alam. Kebaradaan tanah ulayat dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah, dan bila batas-batasnya dapat ditentukan menurut tata cara pendaftaran tanah, dan tanah dicatat dalam daftar tanah. Terhadap tanah ulayat tidak diterbitkan sertifikat. Pengaturan lebih lanjut hak ulayat ini dilakukan dengan peraturan daerah (perda).

Menurut ahli hukum adat Indonesia Prof AP Perlindungan SH bahwa hak masyarakat atas tanah sama umurnya dengan manusia di atas tanah tersebut. Mereka sudah tinggal atau sudah menggarap tanah tersebut berpuluh-puluh tahun secara turun temurun. Akan aneh sekali katanya, ”Bila negara atau pemerintah bertanya mana bukti tertulis bila masyarakat itu punya hak atas tanah? Pertanyaan ini tidak masuk akal,” katanya.
”Hak mereka bukan ditentukan karena tertulisnya, tetapi ditentukan karena masyarakat adat itu sendiri yang sudah menguasai atau menggarap secara turun temurun. Sekarang negara atau pemerintah kalau memang ingin masyarakat itu mendapat pengakuan tertulis, segera saja akui hak mereka secara tertulis. Sebab yang berhak mengeluarkan bukti tertulis itu adalah negara atau pemerintah. Artinya, negara sudah melindungi mereka secara hukum, itu kewajiban (wajib) negara bukan sunat (sunat) negara,” katanya.   

Apakah hak masyarakat atas tanah mereka? Ketentuan adat Minangkabau sudah jelas diterangkan dalam tambo alam Minangkabau. Ka rimbo babungo kayu, ka sungai babungo pasie, ka sawah babungo ampiang, ka guo babungo ngalau, ka ateh babungo ambun, ka tambang babungo ameh, ka lawik babungo karang ’ke rimba berbunga kayu, ke sungai berbunga pasir, ke sawah berbunga emping, ke goa berbunga ngalau, ke atas berbunga embun, ke tambang berbunga emas’. Bungo atau bunga artinya hak bea untuk pengulu yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakannya. Besarnya hak bea ini ditentukan dalam adat sapuluah tariak ciek atau 10 persen dari hasil bersih yang diperoleh.

Jika tidak sepakat dengan sapuluah tariak ciek, dapat pula digunakan hukum baduan, patigan, parampatan. Artinya, hasilnya dibagi dua atau dibagi tiga atau dibagi empat. Hasil pembagian itu adalah hak masyarakat adat yang dipegang oleh penghulu. Jika ada pengulu yang tidak transparan membagi uang dengan anak kemenakannya, maka ini diselesaikan secara adat antara mamak dengan kemenakan atau kusuik bulu paruah manyalasaikan (kusut bulu paruh menyelesaikan).
Karena hak itu sudah melakat kepada pemiliknya atau hak bamiliak harato ba nan punyo (hak bermilik harta ada yang punya), maka tidak ada pihak lain yang boleh mencampuri urusan orang sekaum atau orang sesuku atau orang berdunsanak kecuali anggota kaum itu mengajukan ke pihak berwajib ada indikasi penipuan oleh penghulunya. Artinya, hasil dari pembagian hak itu tidak ada negara atau nagari yang dirugikan kecuali anak kemenakannya yang merasa dirugikan. (*)
[ Red/Redaksi_ILS ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar