Penyebab utama mengapa Indonesia tidak pernah bangkit, walaupun
telah memiliki kemerdekaan dan kebebasan politik, adalah karakter feodal
dari para pemimpin. Para pemimpin kebanyakan berasal dari kalangan
priyayi, tradisional maupun modern, yang merasa tidak punya kewajiban
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam sistem feodal
atau neofeodalisme, kekuasaan berasal dari hubungan biologis dan
romantisme historis, dan legitimasi pencitraan semu, di mana rakyat
hanya diperlukan pada saat pemilu dan sekedar penggembira. Dalam budaya
feodal/neofeodalisme ini, pemimpin tidak memiliki kewajiban sakral,
tidak memiliki noblesse oblige dan tidak memiliki semangat bushido untuk
berjuang dan berkorban guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
kemajuan bangsanya.
Di negara-negara yang maju di Asia Timur,
para pemimpinnya memiliki kewajiban sakral dan semangat bushido untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, baik karena alasan ideologis
(China), semangat nasionalisme dan kemandirian (Jepang dan Malaysia),
dan alasan survival (Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan).
***
Alasan
kedua, mengapa Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan
mayoritas rakyatnya adalah karena adanya the creeping back of
neocolonialism atau kembalinya neokolonialisme. Para pejuang kemerdekaan
kita sejak tahun 1908 dan para pendiri Republik Indonesia, berjuang dan
berkorban melawan berbagai bentuk imperialisme dan kolonialisme. Bung
Karno dalam pidatonya di depan Pengadilan Negeri Bandung tahun 1930
(“Indonesia Menggugat”) dan Bung Hatta dalam bukunya “Indonesie Vrij”
secara rinci menjelaskan bahaya dan kerusakan yang diakibatkan oleh
sistem imperialisme dan kolonialisme. Karena perjuangannya, Bung Hatta
ditahan dan diadili di Negeri Belanda, Bung Karno bahkan pernah
dipenjara selama beberapa tahun di Penjara Sukamiskin, Bandung.
Dalam
kurun yang lebih pendek, hanya satu tahun, dan tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan pengorbanan para pejuang kemerdekaan, saya diberikan
kesempatan oleh sejarah, ditahan di penjara Sukamiskin karena menentang
rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1978/1979.
Kembalinya
neokolonialisme tersebut dipersiapkan secara matang oleh kekuatan di
luar Indonesia sejak akhir tahun 1950-an, dan dibantu oleh orang
Indonesia sendiri, yaitu kelompok ekonom Mafia Berkeley atau Mafia Orde
Baru. Sangat memprihatinkan ternyata puluhan tahun kemudian,
kolonialisme itu kembali dalam bentuk yang baru dan bahkan dengan
sengaja dibantu oleh orang-orang Indonesia sendiri yang membuka pintu
bagi penetrasi neokolonilisme.
Pada saat Konferensi Meja Bundar
tahun 1949 di Den Haag, Belanda, Soekarno-Hatta menyetujui pembayaran
utang Hindia Belanda oleh Indonesia, asalkan Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Tetapi persetujuan itu hanya taktik, karena dalam
kenyataannya pemerintah Soekarno-Hatta tidak pernah melaksanakan
pembayaran utang tersebut karena bertolak belakang dengan prinsip
keadilan.
Namun sangat disayangkan, setelah Soekarno jatuh,
pemerintah Orde Baru melalui Mafia Berkeley melakukan negosiasi ulang
tentang utang-utang Indonesia pada tahun 1969. Mereka sepakat untuk
mencicil utang warisan pemerintah Hindia Belanda. Artinya, mereka
sepakat untuk membayar biaya penjajahan pemerintah Hindia Belanda,
termasuk untuk menumpas gerakan-gerakan perlawanan para pahlawan seperti
Cik Ditiro dan rakyat Aceh, oleh Pattimura dan rakyat Ambon dan biaya
untuk menindas rakyat Indonesia.
Sejak saat itulah, tidak peduli
siapa Presidennya, siapa partai yang berkuasa, Mafia Ekonom Orde Baru
dengan sengaja mendesain kebijakan ekonomi Indonesia sekedar menjadi
subordinasi dan alat dari kepentingan internasional. Itulah yang kami
sebut sebagai neokolonialisme.
Padahal Indonesia merupakan negeri
yang sangat kaya, baik dari segi sumber daya alam, keragaman budaya dan
sumber daya manusia. Indonesia memiliki banyak sekali cawan-cawan emas
(golden bowls) dalam bentuk kekayaan sumber daya alam bernilai ratusan
miliar dolar. Tetapi karena para pemimpinnya bermental orang terjajah
(inlander), cawan-cawan emas itu cuma dipakai untuk mengemis uang
pinjaman recehan kepada lembaga multilateral seperti Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Uang pinjaman harus “ditukar” dengan
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang sesuai dengan garis
neoliberal dan kebijakan Washington Consensus -- kebijakan yang
dirancang oleh IMF-Bank Dunia untuk kepentingan negara-negara maju.
Undang-Undang Migas, Undang-Undang Privatisasi Air dan Undang-Undang
Privatisasi BUMN adalah contoh Undang-Undang yang dibuat dengan
iming-iming uang pinjaman dari lembaga multilateral. Dengan kata lain,
kebijakan ekonomi Indonesia telah “diijonkan” dan “digadaikan” demi uang
pinjaman. Tidak ada lagi kedaulatan dalam bidang ekonomi. Itulah bentuk
baru dari neokolonialisme.
***
Penyebab ketiga mengapa
Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat dan
semakin tertinggal dari negara lain adalah kepemimpinan yang lemah dan
tidak efektif. Kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif tersebut adalah
cerminan dari visi dan karakter yang lemah, sehingga mudah goyang dan
berubah-ubah hanya karena adanya perubahan kepentingan taktis, perubahan
opini, dan respons pencitraan situasional.
Kita telah berulang
kali menggantungkan harapan pada janji-janji para pemimpin, namun kita
juga telah berulang kali kecewa karenanya. Ketika berkampanye,
calon-calon pemimpin dengan bersemangat menyatakan pro-rakyat,
pro-peningkatan kesejahteraan dan pro-kepentingan nasional. Tetapi
begitu mereka terpilih untuk berkuasa, pemimpin-pemimpin tersebut
langsung “balik badan” untuk kemudian merangkul kembali pikiran-pikiran
lama dan oligarki lama yang tidak akan pernah membawa rakyat Indonesia
lebih sejahtera dan bangsa kita menjadi bangsa besar di Asia.
Begitu
berkuasa, “perubahan dan terobosan” ke arah yang lebih baik segera
ditukar dengan “kesinambungan dan stabilitas status quo”. Dengan
demikian, mereka hanya sekedar meneruskan “Jalan Lama” yang selama 40
tahun telah mengantarkan Indonesia menjadi negara gagal (failed state)
dan sekedar menjadi subordinasi kepentingan internasional. Hasil
akhirnya, bukan projobs (peningkatan lapangan kerja), bukan progrowth
(pertumbuhan), dan bukan propoor (pengentasan kemiskinan), melainkan
“prosotan” (kemerosotan) kesejahteraan rakyat.
Indonesia gagal
menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun didukung rezim
otoriter selama 32 tahun. Selain ketinggalan dari segi pendapatan per
kapita, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki
distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, serta
memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh. Padahal
negara-negara seperti Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, China, dan
Thailand tidak memiliki sumber daya alam yang besar seperti Indonesia.
Di
bawah pengaruh dan kekuasaan Mafia Ekonom Orde Baru, utang yang besar
dan habisnya kekayaan alam dan hutan yang rusak, ternyata hanya
menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$ 1.000 dan pemenuhan
kebutuhan dasar sangat minimal serta ketergantungan mental maupun
finansial terhadap utang luar negeri.
Jika “Jalan Lama” yang
terbukti gagal tersebut diteruskan, jangan bermimpi bahwa mayoritas
rakyat Indonesia akan sejahtera dan Indonesia akan menjadi bangsa besar
di Asia. Tidak usah berharap Indonesia akan menjadi The Next Malaysia
atau The Next Korea atau bahkan The Next China. Tetapi justru
sebaliknya, besar kemungkinan Indonesia hanya akan menjadi The Next
Filipina. Hanya Indonesia dan Filipina yang selalu mengikuti dengan
patuh resep-resep gagal ala Washington Consensus, di samping
negara-negara di Amerika Latin pada tahun 1970-2000.
Negara-negara
Asia Timur yang mampu tumbuh tinggi (double digit), berhasil
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya,
justru mengambil jalan yang tidak selalu sejalan, bahkan sering
bertentangan dengan Washington Consensus. Pertanyaannya, masihkah ada
harapan untuk meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat kita dan
membawa Indonesia menjadi salah satu negara besar di Asia? Apakah jika
ada pemimpin baru otomatis akan terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat
dan Indonesia akan menjadi negara besar di Asia?
Pemimpin baru
yang memiliki karakter dan visi yang kuat dan kepemimpinan yang efektif
jelas sangat dibutuhkan. Tetapi jika pemimpin baru tersebut tetap
menempuh “Jalan Lama”, jalan yang telah gagal membawa kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat selama 40 tahun, maka akhirnya rakyat akan kembali
“dikhianati” dan “ditinggalkan” hanya untuk menyenangkan kelompok status
quo, oligarki lama, dan kepentingan penguasa Adidaya. Pemimpin baru
dengan “Jalan Lama” hanyalah pemimpin yang akan memperkokoh
neokolonialisme, memicu proses kemerosotan dan kemiskinan struktural.
Tanpa
“Jalan Baru”, pemimpin baru tidak lebih dari sekedar pengendara mobil
bekas yang akan berlomba di sirkuit balap dunia Formula-1 di Asia Timur
yang sangat kompetitif.
Komite Bangkit Indonesia dibentuk untuk
memperjuangkan “Jalan Baru”, jalan anti neokolonialisme, jalan yang
lebih mandiri, yang akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan mayoritas
rakyat Indonesia.
Kedaulatan ekonomi harus kita rebut. Sebagai
negara berdaulat, Undang-Undang dan kebijakan ekonomi tidak akan kita
“gadaikan” dan “ijonkan” demi utang recehan. Hanya dengan kedaulatan dan
kemandirian, kita akan berdaulat dalam bidang pangan dan energi, serta
menarik manfaat sebesar-besarnya dari kekayaan sumber daya alam,
keragaman budaya, dan sumber daya manusia Indonesia.
“Jalan Baru”
adalah jalan yang akan berlandaskan pada kebhinekaan, keragaman budaya,
dan pluralisme. Dengan landasan itu, Komite Bangkit Indonesia akan
mendorong renaissance kebudayaan Indonesia sehingga tercipta suatu
masyarakat yang lebih kreatif dan inovatif (innovative and creative
society), bukan hanya sekedar masyarakat terbuka (open society) yang
sering hanya menjadi korban dari globalisasi. Masyarakat yang lebih
kreatif dan inovatif akan mampu menarik manfaat sebesar-besarnya dari
kekuatan dan kejayaan masa lalu, serta menarik pengalaman dan manfaat
dari kebudayaan antar bangsa.
Masyarakat yang lebih kreatif dan
inovatif hanya mungkin terbentuk melalui pembaharuan dan perbaikan
kualitas pendidikan formal maupun informal. Kebangkitan Jepang
(reformasi Meiji), kebangkitan Korea, Malaysia, dan China dimulai dengan
investasi besar-besaran dalam sumber daya manusia. Merekalah yang
kemudian menjadi motor dari perubahan, kemajuan dan kebangkitan
negara-negara tersebut. Mereka kemudian didukung dengan sistem yang
sangat kompetitif di dalam negeri, tetapi saling mendukung ketika
menghadapi persaingan global. Dalam kaitan itu, akses terhadap
pendidikan yang berkualitas harus terbuka terhadap semua lapisan
masyarakat yang cerdas dan potensial, tidak hanya bagi kelompok yang
mampu.
Komite Bangkit Indonesia akan berjuang agar demokrasi
Indonesia membawa manfaat bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat, bukan hanya sekedar demokrasi “pilih-memilih” (prosedural).
Akibat pilihan “Jalan Lama” yang terbukti gagal dan kelemahan
kepemimpinan pasca reformasi, anasir-anasir lama dan status quo ingin
mencoba mendaur ulang sistem otoriter dengan iming-iming peningkatan
kesejahteraan. Iming-iming tersebut hanya ilusi dan fatamorgana karena
pengalaman di bawah sistem otoriter, Indonesia justru ketinggalan
dibandingkan negara Asia Timur lainnya, memiliki distribusi pendapatan
yang paling timpang, stok utang paling besar serta memiliki landasan
struktural dan industri yang sangat rapuh.
Komite Bangkit
Indonesia tidak akan membalikkan putaran jarum sejarah, karena daur
ulang sistem otoriter hanyalah ilusi yang sangat menyesatkan. Komite
Bangkit Indonesia akan melawan setiap upaya untuk mengembalikan sistem
otoriter, dan justru sebaliknya, akan memperjuangkan agar demokrasi
semakin kokoh dan membawa manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Komite Bangkit Indonesia
akan memperjuangkan penegakan hukum yang adil, tanpa pilih kasih, serta
berpihak kepada kepentingan publik dalam hal pemberantasan KKN,
penegakan Hak Asasi Manusia, dan pelestarian lingkungan. Dalam kaitan
dengan itu, Komite Bangkit Indonesia menilai bahwa reformasi birokrasi,
bukan hanya sekedar kenaikan gaji – tetapi juga mencakup perbaikan
sistem rekrutmen, struktur insentif, sanksi hukum dan administratif,
serta sistem promosi dan training. Semua itu merupakan prasyarat utama
untuk meningkatkan efektivitas pemerintah dan melawan korupsi dan
nepotisme.
***
Komite Bangkit Indonesia akan menentang
dominasi negara yang melahirkan sistem dan pemerintahan otoriter. Namun
pada saat yang bersamaan, Komite Bangkit Indonesia menentang dominasi
sektor swasta yang dapat menciptakan monopoli/oligopoli baru dalam
bidang ekonomi. Dominasi sektor swasta yang oligopolistik sama
berbahayanya dengan dominasi negara, terutama dalam hal-hal yang
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Neoliberalisme dan
fundamentalisme pasar bebas tidak ada tempatnya dalam “Jalan Baru”
kebangkitan Indonesia. Ekonomi pasar bebas harus diimbangi dengan
dukungan sistem sosial bagi yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan
cita-cita founding fathers Republik Indonesia.
Dengan
memanfaatkan momentum 100 tahun kebangkitan Indonesia (1908-2008),
Komite Bangkit Indonesia akan melakukan rangkaian program penyadaran,
diskusi publik, dengar pendapat dengan meninggalkan “Jalan Lama” yang
telah gagal setelah 40
tahun, menuju “Jalan Baru” kebangkitan
Indonesia. Rangkaian program tersebut akan mencakup berbagai bidang,
termasuk ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan.
Marilah kita hapuskan segala bentuk neokolonialisme dari bumi Indonesia!
Tinggalkan “Jalan Lama”, yang gagal membawa kemakmuran dan kesejahteraan!
Kita rebut kembali kedaulatan politik dan ekonomi!
Hanya dengan “Jalan Baru”, kemakmuran dan kesejahteraan akan kita capai!
Hanya dengan “Jalan Baru”, Indonesia akan segera bangkit