Written By bangdex on 25 Feb 2011 | 19:31
Pengaruh Kekuasaan Sriwijaya |
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy")
adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan
banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang
dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan,
dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya
berarti "kemenangan".Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini
berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa
ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.
Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada
abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan
beberapa
peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa
di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan
Dharmasraya.
Sriwijaya menjadi simbol
kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit
di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi
referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit
ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang
adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Candi Muara Takus |
Sekitar tahun 1993,
Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking
(terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang).Namun sebelumnya
Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di
provinsi Jambi sekarang),dengan catatan Malayu tidak di kawasan
tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat
Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat
kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau
sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing
serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan
candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou
(Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara
Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I,
berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Kekaisaran Sriwijaya telah ada
sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit
pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta
Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua
kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian
kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang
berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah
menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga
Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang
tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan
runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa
Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya
tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Pagoda di Thailand peninggalan Sriwijaya |
Ekspansi kerajaan ini
ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua
pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di
abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan
banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja
Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di
Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8
berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer,
memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama. Di akhir abad
ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula
wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad
ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di
masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah
utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga
menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835.
Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan
Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi
Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.
Untuk memperkuat posisinya atas
penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan
diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan
utusan beserta upeti. Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah
jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi
Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut,
pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya
Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota
yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Patung Emas |
Sriwijaya juga
berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti
Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan
sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di
selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja
Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma,
namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan
penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada
masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan
utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada
kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian
pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti
Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
sebagai raja San-fo-ts'i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada
tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
MASA KEEMASAN
Mata Uang Sriwijaya |
Kemaharajaan
Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada
kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur
perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai
pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang,
memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti
arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[
dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan
Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan
lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang
melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut berperan
dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan
disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram
yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau
1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir
Dharmawangsa Teguh.
MASA KERUNTUHAN
Candi Waat di Thailand Selatan |
Tahun
1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel,
India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya,
berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah
menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan
raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman.
Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah
berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I
tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap
berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan
adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.
Namun demikian pada masa ini
Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola, dari kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079 Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian
mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton.
Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao
disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan
utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar
tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan
San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan
negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia,
dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya di
tahun 1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni
Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan
melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang
kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan
Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Candi Gumpung di Muaro Jambi |
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua
menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang
sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia
menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang
meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi
terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan
telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya,
walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang
berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton
telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari
mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian
menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja
Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti
Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang
terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang
menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak
menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan
kawasan Sriwijaya.
Setelah Sriwijaya jatuh,
kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara
resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-OrientTidak
terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana
asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai
Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès
mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i",
sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno
merujuk pada kekaisaran yang sama.
STRUKTUR PEMERINTAHAN
Pembentukan satu negara kesatuan
dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari
beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi. Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra
(pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai
jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.
HUBUNGAN DENGAN DINASTI SAILENDRA
Candi Borobudur |
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa
pada beberapa prasasti diantaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa,
prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India.
Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra.
Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan sampai sekarang.
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya
(Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di
selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke
Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke
Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari
Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan
dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna
diantaranya prasasti Sojomerto.
WARISAN SEJARAH
Meskipun Sriwijaya hanya
menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan
masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh
Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu
bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas
persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan
berjaya di masa lalu.
Di samping
Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai
sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan
identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi
Sumatera Selatan, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni
budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang
sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan
kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya
telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan
nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun
1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando
militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan),
Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV,
Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan
Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan
demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan
Sriwijaya yang gemilang.
sumber : wikipedia indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar