Senin, 06 Februari 2012

MARSINGGO - Profil Keteladanan Bung Hatta


Perjalanan almarhum Mohammad Hatta memperlihatkan sosok yang menghayati “kerisihan” pada godaan uang dan kekuasaan, bahkan sampai tingkat yang sedikit “keterlaluan” untuk ukuran masa kini di negeri kita. Pria yang dilahirkan di Batuhampar, 12 Agustus 1902 ini, sejak muda memegang prinsip kejujuran. Maka tak heran jika ia selalu dipercaya menjadi bendahara oleh teman-temannya. Jabatan bendahara Jong Sumatran Bond (JSB) cabang kota Padang pernah ia pegang ketika belajar di MULO (Meer Uitgebreid Lagere School) atau SMP berbahasa Belanda. Jabatan yang mengandalkan kejujuran dan ketelitian itu, ia teruskan ketika ia harus hijrah ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di Prins Hendrik School (Sekolah Menengah Dagang).
Minatnya pada bidang ekonomi, dan juga koperasi, terus terlihat melalui berbagai karangan dan buku. Karenanya, pada tanggal 17 Juli 1953 dalam Kongres Koperasi Indonesia dirinya diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Perhatiannya pada unsur keadilan dalam ekonomi, selain dalam fokusnya pada koperasi, juga terasa dalam kehidupan sehari-hari – dan ciri inilah yang secara konsisten diperlihatkan, hal yang langka di antara para tokoh Indonesia terutama setelah jaman semakin ‘maju.’


27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
Banyak Universitas memberikan gelar Honoris Causa padanya. Selama ia menjabat wakil Presiden (1950-1956) dirinya tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di pelbagai lembaga pendidikan tinggi. Pada 1 Desember 1956, Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pertama. Sejak itulah, praktis ia menjadi warga negara biasa. Beberapa tawaran perusahaan Belanda untuk menjadikan dirinya komisaris ia tolak. Alasannya, sangat sederhana. Seperti alasan orang Jawa, ewuh pakewuh. “Apa kata rakyat nanti..” Hatta tidak mau mengambil tawaran itu karena “malu” dinilai hanya mencari pangkat dan jabatan saja. Ia juga tidak mau dinilai rakyat sebagai orang yang hanya mementingkan diri sendiri dengan tidak mau memperhatikan perkembangan negeri ini. Sikap jujur dan sederhana ia tunjukkan dengan menolak kenaikan uang pensiun yang tidak lagi mampu membiayai keluarganya (dengan istri dan tiga orang anaknya). Bahkan ia juga menolak diberi rumah tambahan yang lebih besar karena takut tak mampu membiayai ongkos perawatan rumah tersebut. Bahkan, World Bank ketika itu pernah menawarkan kedudukan pada Hatta, namun ia tolak. Penolakan itu juga sempat mengecewakan anak-anaknya. Halida, anak bungsunya, mengatakan bahwa ia ingin kuliah ke luar negeri. Namun, keinginan itu tertunda lantaran penolakan Hatta atas posisi yang ditawarkan World Bank.

Bersama Bung Karno
Sikap jujur dan sederhana ia tunjukkan dengan menolak kenaikan uang pensiun yang tidak lagi mampu membiayai keluarganya (dengan istri dan tiga orang anaknya). Bahkan ia juga menolak diberi rumah tambahan yang lebih besar karena takut tak mampu membiayai ongkos perawatan rumah tersebut. Bahkan, World Bank ketika itu pernah menawarkan kedudukan pada Hatta, namun ia tolak.
Pada tahun 1965 Hatta “dipaksa” melihat kesedihan yang mendalam dengan jatuhnya ribuan korban pada peristiwa 30 September. Ketika itu, Hatta berharap ada pengadilan yang digelar untuk Soekarno supaya jangan ada tuduhan-tuduhan terhadapnya tanpa tanggung jawab. Pengadilan ini, menurut Hatta, kelak menjadi pelajaran berharga bagi penguasa selanjutnya di Indonesia. Di sini tampak sikap tokoh Indonesia yang juga langka dalam hal niat membatasi korupsi kekuasaan, sikap yang tampaknya tidak “menurun” pada para penguasa negeri ini, mengingat resistensi yang tinggi terhadap gagasan dan upaya membawa petinggi ke pengadilan.

Berbagai buku dan sumber lain tentang Bung Hatta menunjukkan harapannya yang besar di awal masa pemerintahan Soeharto. Namun juga tampak kekhawatirannya pada perkembangan peran militer dengan jargon dwifungsinya. Hatta juga menekankan perlunya sikap dan cara pihak sipil berpolitik dengan lebih bertanggung jawab.

Soeharto
Kekecewaan pada pemerintahaan Soeharto semakin membesar, tatkala ia menyaksikan peristiwa Malari (Peristiwa Limabelas Januari 1974) dan penyelesaiannya yang menandakan menguatnya pemerintahan yang otoriter. Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) Orde Baru dinilai Hatta tidak memajukan dan meningkatkan kemampuan rakyat.. Namun meski berbeda pendapat dari para penasehat ekonomi utama pemerintahan Soeharto seperti Wijojo, Hatta tetap memberi masukan pada para pembuat keputusan, antara lain dalam bentuk surat antara lain pada Gubernur Bank Indonesia, Radius Prawiro, Emil Salim sebagai Deputi Ketua Bapenas, Frans Seda yang menjabat Menteri Keuangan, Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang dijabat Hamengku Buwono IX. Salah satu pesannya adalah keprihatinannya pada arah kebijakan ekonomi yang ditempuh, yang tidak memperhatikan nasib rakyat.

Pada tahun 1970 Hatta diangkat sebagai Penasehat Presiden Soeharto dan Penasehat Komisi IV, yang diketuai oleh Wiloto. Pengangkatan ini dimaksudkan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Kasus yang mendapatkan saran Hatta antara lain adalah yang menyangkut Pertamina – yang isinya masih belum diketahui secara publik. Rupanya dari bahan-bahan yang ada Hatta telah menangkap gelagat bahwa korupsi sudah menjadi budaya. Seingat Halida, ayahnya tak pernah menerima “tamu khusus”, setiap tamu yang akan datang ke rumahnya selalu ditanya maksud dan tujuannya terlebih dahulu. Hatta lebih sering menerima tamunya di kantor, karena itu “filter” seperti inilah yang membedakan ayahnya dengan banyak pejabat di Indonesia

Emil Salim pernah mengatakan, saat ini tipe kepemimpinan Bung Hatta sangat dibutuhkan. Karena hanya dirinya yang memiliki ciri kepemimpinan berupa penyerahan diri secara total, jujur dan bersih, berkomitmen penuh pada perbaikan nasib dan tingkat hidup rakyat kecil, menegakkan dan menjalankan secara konsekuen nilai-nilai demokrasi kerakyatan, serta mengutamakan rasio ketimbang emosi dan karena itu gandrung pada usaha pendidikan rakyat ketimbang agitasi membangkitkan emosi rakyat .

Kecemasan Bung Hatta pada gelagat korupsi ternyata menjadi kecemasan generasi-generasi berikutnya; korupsi menjadi sumber penyakit bangsa ini, sampai kita mendapat predikat salah satu bangsa terkorup di dunia. Sosok Bung Hatta layak menjadi inspirasi kita, agar kita tidak putus harapan akan adanya pejabat yang dapat konsisten menjalankan sumpah jabatannya serta mandat yang dipercayakan rakyat padanya.

*Sumber : Deliar Noor, Hati Nurani Bangsa - Tokoh Indonesia, dari Makam Bung Hatta - Seratus Tahun Bung Hatta - Berbagai sumber media - Wawancara Halida N.Hatta Jusuf - Wawancara Meuthia Hatta.

Contoh Keteladanan
Bung Hatta dan Kisah Sepatu Bally

Salah satu kisah mengugah dari Bung Hatta yang dikenang masyakarat adalah kisah tentang sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally adalah merek sepatu bermutu tinggi yang berharga mahal. Bung Hatta, ketika masih menjabat sebagai wakil presiden, berniat membelinya. Untuk itulah, maka dia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya.

The Bally Shoe, dari Swiss berdiri sejak 1851
Setelah itu, dia pun berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, apa yang terjadi? Ternyata uang tabungan tidak pernah mencukupi untuk membeli sepatu Bally. Ini tak lain karena uangnya selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu orang-orang yang datang kepadanya guna meminta pertolongan. Alhasil, keinginan Bung Hatta untuk membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga akhir hayatnya. Bahkan, yang lebih mengharukan, ternyata hingga wafat, guntingan iklan sepatu Ball tersebut masih tersimpan dengan baik.

Andai saja Bung Hatta mau memanfaatkan posisinya saat itu, sebenarnya sangatlah mudah baginya untuk memperoleh sepatu Bally, misalnya dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalannya. Barangkali bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia memiliki saham di pabrik sepatu dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat. Bila dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.

Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya—hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek terkenal. Meski memiliki jasa besar bagi kemerdekaan negeri ini, Bung Hatta sama sekali tidak ingin meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain atau negara.

Menurut Jacob Utama, Pemimpin Umum Harian Kompas, segala yang dilakukan Bung Hatta sudah mencerminkan bahwa dia tidak hanya jujur, namun juga uncorruptable, tidak terkorupsikan. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk menodainya dengan melakukan tindak korupsi. Mungkin banyak masyarakat berkomentar, “Iya, lha wong sepatu Bally harganya-kan selangit.”

Bung Hatta & Isteri
Namun lagi-lagi itulah, ternyata bukan hanya sepasang sepatu itu yang tidak mampu dibeli Hatta. Barang lain yang juga tak mampu dibelinya adalah mesin jahit yang juga sudah lama didambakan sang istri. Wah, mengapa bisa begitu? Ya, tak lain karena setelah mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, 1 Desember 1956, uang pensiun yang diterimanya sangat kecil. Bahkan saking kecilnya, sampai-sampai hampir sama dengan Dali, sopirnya yang digaji pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, keuangan keluarga Bung Hatta memang sangat kritis.
Kisah Bung Hatta dan Mesin Jahit. Sewaktu Bung Hatta masih menjadi orang nomor dua di Republik ini, ternyata untuk membeli sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja. Istri beliau - Rahmi Hatta- harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta.

Namun rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp 100 menjadi Rp 1. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Rahmi menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin jahit.

Karena ikut terkena dampak adanya keputusan sanering tersebut, Rahmi kemudian bertanya pada suaminya kenapa tidak segera memberi tahu akan ada sanering. Dengan kalem Bung Hatta menjawab, itu rahasia negara jadi tidak boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri.
Sampai-sampai, pernah suatu saat Bung Hatta kaget melihat tagihan listrik, gas, air, dan telepon yang harus dibayarnya, karena mencekik leher. Menghadapi keadaan itu, Bung Hatta tidak putus asa. Dia semakin rajin menulis untuk menambah penghasilannya. Baginya, biarpun hasilnya sedikit, yang penting diperoleh dengan cara yang halal. Itu sebabnya, mengapa Bung Hatta mengembalikan sisa uang yang diberikan pemerintah untuk berobat ke Swedia. Itu dilakukan, karena sepulang dari Swedia Bung Hatta mendapati bahwa uang tersebut masih bersisa, dan dia merasa itu bukan haknya.

Sungguh mengagumkan. Apa yang dilakukan Bung Hatta adalah karena dia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara. Dalam konteks itu pula, maka Bung Hatta pun tidak berusaha bekerja di berbagai perusahaan meski sebenarnya sangat memungkinkan. Dalam pandangannya, jika dia bekerja pada perusahaan, maka citra seorang mantan wakil presiden akan runtuh. Juga, jika dia menjadi seorang konsultan, maka sebenarnya dirinya sedang terjebak ke dalam bias persaingan usaha yang sarat dengan kepentingan.

Pemikiran yang luar biasa itulah yang dijalankan oleh Bung Hatta. Bung Hatta lebih memilih hidup sederhana demi menjaga nama baik bangsa Indonesia. Bung Hatta telah mengorbankan dirinya bagi negeri ini. Bung Hatta begitu hati-hati menggunakan kekuasaan.

Biodata dari Mohammad Hatta


Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Istri : (Alm.) Rahmi Rachim
Anak : Meutia Farida, Gemala, Halida Nuriah

Gelar Pahlawan :
  • Bapak Koperasi Indonesia pada 17 Juli 1953
  • Pahlawan Proklamator RI tahun 1986

Pendidikan :
  •  Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
  •  Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
  •  Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
  •  Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Karir :
  • Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
  • Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
  • Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
  • Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
  • Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
  • Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
  • Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
  • Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
  • Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
  • Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
  • Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)
  • Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
  • Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
  • Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
  • Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
  • Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
  • Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)
Alamat Rumah Keluarga: Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat.


Foto-foto Bersama Keluarga

 
 
 
 
Sang isteri, Siti Rahmiati Hatta
*mixing: chillinaris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar