Tan Malaka filsuf tersohor Indonesia meninggalkan misteri dari sisi kehidupannya, tapi menghidupkan akal sehat manusia ketimuran dengan karya terbaiknya. Materialisme, Dialektika dan Logika (Madilog). Mahakarya ini menempatkan Tan Malaka sebagai salah satu tokoh filsuf Indonesia, bahkan tidak sedikit orang yang mengatakan Tan Malaka adalah satu-satunya filsuf yang dimiliki oleh Indonesia.
Perjalanan
hidup Tan Malaka melahirkan kontroversi dan tanda tanya di penghujung
hayatnya, karena kaburnya jejak kehidupan Tan Malaka seperti hilang di
telan bumi, hilang yang tak tau rimbanya, mati yang tak tau kuburnya, ia
raib bersama orisinalitas pemikirannya, kabur bersama konsistensi dan
komitmen hidupnya, tetapi kekuatan berpikir yang dimiliki Tan Malaka
disandarkan kepada hasil berpikir ilmiah yang berangkat dari
problematika sosial ke Indonesiaan.
Komitmen
ke Indonesian Tan Malaka mewarnai perantauannya yang melanglangbuana
kebeberapa negara, diawali dengan pendidikan dasarnya di Bukittinggi di
teruskan pendidikan menengah di Harlem Belanda. Bangunan Ke Indonesiaan
Tan Malaka tetap kokoh, terbukti pada tahun 1919 Tan Malaka kembali
untuk cita-cita melepaskan Indonesia dari cengkraman penjajahan kolonial
Belanda, dengan menggalang kekuatan Islam dan Komunis di Sarikat
Indonesia (SI). Walaupun pada tahun 1921 SI pecah dan Tan Malaka
diangkat menjadi ketua Partai Komunis Hindia yang didalam sejarah
disebut dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Strategi,
taktik dan keberanian Tan Malaka memberikan perlawan secara terbuka
terhadap penjajahan Belanda membuat Belanda terusik dan terancam
sehingga Belanda membuangnya ke Amsterdam Belanda. Dalam pembuangannya
Tan Malaka dapat melakukan pelarian ke berbagai negara seperti Rusia
untuk menghadiri konferensi Komunis Internasional (Komintern) keempat di
Moskow, kemudian ia diangkat sebagai wakil Komintern untuk Asia Timur
yang berkedudukan di Kanton Cina, sejak tahun 1923.
Hidup
Tan Malaka dengan status sebagai buangan tetap menghantui pelariannya
karena kerap kali Tan Malaka tertangkap dan juga sering lolos dari
jeratan penangkapan musuh. Tan Malaka baru masuk kembali ke Pulau Jawa
setelah Jepang menduduki Jawa, dengan menggunakan nama samaran ia
menunggu waktu yang tepat bagi rakyat Indonesia untuk memerdekakan diri.
Kehadiran Tan Malaka di Indonesia di ketahui pada tanggal 25 Agustus
1945 sejak itulah ia hidup dengan nama Tan Malaka sampai zaman
mengantarnya kepada kematian pada tahun 1949. Kematian itulah yang
sampai saat ini menjadi misteri Tan Malaka.
JEMBATAN KELEDAI TAN MALAKA
Kata
Jembatan Keledai sangat sering muncul dalam tulisan Tan Malaka di dalam
bukunya yang berjudul Madilog. Penulis sangat kagum dengan perjuangan
Tan Malaka dalam memelihara inggatannya, sebagai akibat dari
keterbatasannya dalam menulis pokok-pokok pikiran penting dari sesuatu
yang ia baca, amati dan ia lihat. Sebagai seorang buronan dalam pelarian
tentu sangat logis kalau pelarian tidak diberatkan oleh beban-beban
seperti catatan ataupun buku, tetapi sosok Tan Malaka tidak pernah
kehilangan akal karena ia mempunyai Jembatan Keledai (ezelbruggetje) yang selalu tersimpan di dalam otaknya.
Tan
Malaka berkata walaupun ia tiada memiliki pustaka, walaupun
buku-bukunya telantar, cerai berai dan lapuk atau hilang di Eropa,
Tiongkok, Lautan Hindia atau hilang di dalam empang rumah tuan Tan King
Tjan di Upper Serangoon Road, Singapura bukan berarti ia kehilangan isi
buku-buku itu dan catatan boleh saja rusak tetapi Tan Malaka tidak
pernah kehilangan akan ilmunya. Maka tidak menjadi mustahil kalau Tan
Malaka memiliki berpuluh-puluh Jembatan Keledainya yang terpelihara dan
terawat dengan baik sampai akhir hayatnya.
MADILOG DAN PEMIKIRAN MISTIK KETIMURAN
Madilog
merupakan karya tersohor Tan Malaka yang mendapatkan pengakuan dari
filsuf dunia, karena kemampuan dan kekuatan berpikir Tan Malaka yang
mampu mengabungkan tiga aliran filsafat yakni Materialisme, Dialektika
dan Logika menjadi satu konsep berpikir. Bila kita membaca Madilog maka
sangat terasa buku ini berkerabat dengan materialisme dialektik
Friedrich Engels yang tak lain merupakan konco sahabat karib dari Karl
Marx yang menyempurnakan filsafat sosial Marx dengan filsafat alam dan
ontologi materialis yang kemudian akan menjadi dasar filosofis
Marxisme-Leninisme). Tan Malaka sendiri secara jujur mengatakan bahwa
Materialisme dan dialektika bukanlah produk asli dari pemikirannya
melainkan diambil dari Engels, Lenin dan tokoh-tokoh lain
Marxisme-Leninisme, tetapi hebatnya Tan Malaka, ia mampu melepaskan
Madilog dari bau-bau Marxisme Leninisme.
Penekanan
kekuatan berpikir Tan Malaka yang menjadi ciri khas dari sosok filsuf
Tan Malaka terletak pada logikanya. Tan Malaka secara khusus membahas
Logika dan Dialektika, beliau menyebutkan bahwa logika tidak dibatalkan
oleh dialektika, melainkan tetap berlaku dalam dimensi mikro. Tan Malaka
justru menunjukkan bahwa pemikiran logis, dengan paham dasar dialektis,
membebaskan ilmu pengetahuan untuk mencapai potensialitas yang
sebenarnya. Tan Malaka melihat dan berkeyakinan bahwa kemajuan umat
manusia dilakukan melalui tiga tahap dari logika mistika lewat filsafat
ke ilmu pengetahuan atau sains.
Penulis
memandang Tan Malaka sangat gelisah dan risau dengan keterbelakangan
kejumudan berpikir masyarakat ketimuran Indonesia oleh logika mistika,
yakni logika gaib dimana orang percaya bahwa yang terjadi di dunia
adalah kekuatan-keuatan keramat alam gaib sehingga ia berharap
kekuatan-kekuatan ghaib tersebutlah yang akan membantu ia terlepas dari
belenggu keterbelakangan dan kepicikan berpikir orang Indonesia saat
itu, menyebabkan pudarnya keberanian dalam mengusir penjajah, dalam
bahasa lain yang lebih populer penulis lebih nyaman menggunakan kata
Tahayul, Khurafat dan Bit’ah (TBC).
Berangkat
dari sebuah fenomena sosial yang akut itu, Tan Malaka berusaha menjadi
aktor perubahan melalui materialisme, dialektik dan logika (Madilog)
yang merupakan cara berpikir sebagai bentuk perlawanan atas cara
berpikir mistik timur untuk mengubah masyarakat Indonesia agar berpikir
lebih rasional. Menurut Tan Malaka pikiran manusia bersifat kreatif
sehingga manusia itu sendiri dapat mengubah dirinya sendiri, tetapi
pikirannya terlebih dahulu harus logis, realistis dan dinamis. Untuk
mengwujudkan pikiran tersebut maka seseorang harus terdidik, agar dapat
menjadi orang terdidik disanalah dibutuhkan peran sekolah. Kesadaran
bersekolah pada saat itu masih sangat rendah, dengan sendirinya
orang-orang terdidik pada saat itu sangat sedikit. Tan Malaka
berpendapat sesuatu tidak berubah dengan sendirinya harus ada usaha
untuk merobahnya.
TAN MALAKA DAN KEISLAMAN
Minangkabau
adalah daerah yang pondasi ke Islamannya sangat kuat, filosofisnya
adalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Sangat tegas
filosofis ini menyabarkan bahwa alam Minangkabau adalah alam yang
bersandikan kepada kitabullah yakni kitab Allah. Adat tidak berdiri
sendiri tetapi adat harus sesuai dengan komitmen ke Islaman. Alam inilah
yang melahirkan sekaligus membesarkan seorang filsuf Tan Malaka. Secara
otomatis tentu Tan Malaka dilahirkan di tengah-tengah keluarga Islam.
Sebagai
seorang anak yang lahir dari keluarga yang taat dalam beragama tentu
Tan Malaka belajar agama seperti menghafalkan Al-Qur’an dan mempelajari
dasar-dasar agama Islam, sebagaimana anak-anak kampung di pelosok
Minangkabau yang belajar di surau-surau, bahkan ia juga sempat aktif
mengajar mengaji anak-anak yang lain. Tan Malaka beberapa kali
menyelesaikan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda.
Tan
Malaka mengatakan pada saat menyaksikan ibunya yang sedang sakit,
menentang malaikat maut sambil menyebut Juz Yasin berkali-kali dan
Bapaknya pingsan di dalam air pada saat mau berwudhuk untuk melaksanakan
sholat, bahkan pada saat di Belanda ia mengatakan sering membeli
sejarah dunia berjilid-jilid yang disana juga ada sejarah Islam, ia juga
mengkaji Islam lewat tulisan-tulisan pengamat Islam bangsa Belanda,
Snouck Hurgronje dan Tan Malaka membandingkan semua itu dengan
karya-karya filosof dan pemikir Eropa.
Penulis
berpendapat walaupun Tan Malaka sangat mengerti Islam tetapi Tan Malaka
memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan Islam. Sistem
filsafatnya terpengaruh oleh sistem filsafat bangsa Barat. Dalam
Madilog, Tan Malaka menulis, agama Yahudi, Nasrani dan Islam memiliki
kedudukan yang sama, Tan Malaka juga berpendapat Tuhan lebih berkuasa
dari hukum alam, akan tetapi selama alam semesta ada selama itu pula
hukum alam berlaku. Menurut hukum alam, materilah yang mengandung
kekuatan. Berdasarkan hukum alam, materi-materi yang ada bergerak,
bersatu, berpisah, tarik-menarik dan lain seterusnya.
Tan
Malaka tidak dapat kita pungkuri adalah filsuf yang kontroversi, ia
lenyap dalam misteri kontroversinya. Tetapi tidak dapat kita picingkan
mata bahwa karya Madilog Tan Malaka adalah mahakarya yang tidak mungkin
lahir dari orang-orang biasa. Madilog berperan mengubah kejumudan
berpikir orang-orang ketimuran yang berimplikasi kepada meningkatnya
nasionalisme kebangsaan untuk mengwujudkan manusia Indonesia yang
merdeka dari penjajahan. Seiring dengan kepergian Tan Malaka yang tak
tau entah dimana kuburnya, namun pemikirannya telah berbuah yakni
Republik Indonesia yang dulu sangat di cita-citakannya. Pada masa depan
Tan Malaka baru harus lahir dari rahim Republik Indonesia, untuk terus
mengisi kemerdekaan guna mengwujudkan Indonesia Jaya. Indonesia yang
adil dan sejahtera.
Naswardi, S.Pd., MM(Ketua Bidang Sosial Ekonomi Dan Kewirausaan DPP IMM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar