Written By bangdex on 6 Mar 2011 | 01:32
Kelompok masyarakat terasing
yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas Jambi menyebut diri Orang
Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang disebut orang terang.
Anak Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka senangi, dan mereka
sangat marah jika disebut orang Kubu, sebutan itu dianggap merendahkan
diri mereka. Dalam percakapan antar warga
masyarakat jambi tentang orang Kubu tercermin dari ungkapan seseorang
yang menunjukan segi kedudukan dan kebodohan, misalnya membuang sampah
sembarangan diumpat “Kubu kau….!”. sebutan lain yang disenangi orang
rimba ialah “sanak”, yaitu cara memanggil seseorang yang belum kenal dan
jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu maka panggilan akrab ialah
“nco” yang berarti kawan.(Soetomo, 1995:58)
Senada dengan diatas Butet Manurung juga mengemukakan bahwa, kubu berarti
Asal Usul Suku Anak Dalam (Orang Rimba)
Tentang asal usul
Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan bermacam cerita/hikayat dari
penuturan lisan yakni: Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam
(Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah,
Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita
Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari
cerita/hikayat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam
berasal dari tiga keturunan:
1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.
Versi
lain asal usul menurut Orang Rimba sendiri dalam Disertasi Muntholib
Soetomo yaitu, seorang yang gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada
suatu hari memperoleh buah gelumpang dan dibawa kerumahnya. Suatu malam
ia bermimpi agar buah gelumpang itu dibungkus dengan kain putih yang
nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah menjadi seorang putri yang
cantik. Putri itu mengajak kimpoi Bujang Perantau, namun Bujang Perantau
berkata bahwa tidak ada orang yang mengawinkan mereka. Putri tersebut
berkata : “Potonglah sebatang kayu bayur dan kupas kulitnya kemudian
lintangkan di sungai, kamu berjalan dari pakal saya dari ujung. Kalau
kiata dapat beradu kening di atas kayu tersebut berarti kita sudah
kawin. Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala
syaratnya, kemudian keduanya menjadi suami isteri.
Dari hasil perkawinan itu
lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri
Gading, Dan Putri Selaro Pinang Masak. Bujang Malapangi, anak tertua
yang bertindak sebagai pangkal waris dan Putri Selaro Pinang masak
sebagai anak bungsu atau disebut juga ujung waris keluar dari hutan
untuk pergi membuat kampung dan masuk islam; ke duanya menjadi orang
Terang. Putri Selaras Pinang Masak menetap di Seregam Tembesi, sedangkan
Bujang Malapangi membuat kampung pertama di sekitar sungai Makekal
pertama di Kembang Bungo, ke dua Empang Tilan, ke tiga di Cempedak Emas,
ke empat di Perumah Buruk, ke lima di Limau Sundai, dan kampong
terakhir di Tanah Garo sekarang.
Hal inilah membuat orang Rimba
menjadikan tokoh keturunan Bujang Malapangi sebagai Jenang (orang yang
dapat diterima oleh orang Rimba dan juga oleh orang lain, selain orang
Rimba yang berfungsi sebagai perantara bagi orang Rimbo yang akan
berhubungan dengan orang lain atau orang lain yang akan berhubungan
dengan orang Rimba). Jenang yang paling berpengaruh dijadikan rajo
(raja), dan segala urusan antara orang Rimba dengan orang luar harus
melibatkan Jenang mereka dan rajo-nya.
Secara mitologi, mereka (Suku
Anak-Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak
yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka,
yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka
bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani,
wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika
zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda.
Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka
(Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan
Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku
Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban.
Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan diantara
sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai
Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan
Tunggul Mangris. (Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998
:55-56)
Versi
Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan
asal usul Suku Anak-Dalam yakni : sejak Tasun 1624 Kesultanan Palembang
dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, memang terus
menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada
tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok
masyarakat anak-dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan
adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas
(Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh
ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan
pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi
berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka
tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito). Konon mereka tentara
bayaran Kerajaan Jambi dari negeri lain.
Versi
lain adalah cerita tentang perang jambi dengan belanda yang berakhir
pada tahun 1904, pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak-Dalam yang
dipimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah cucu Raden Nagasari.
Dalam perang gerilya maka terkenallah Anak-Dalam dengan sebutan Orang
Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah Belanda yang
membawa penyakit jauh senjata api. Orang Belanda disebut Orang Kayo
Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam) (Muchlas,1995).
Lebih lanjut tentang asal-usul “Suku Anak-Dalam” ini juga dimuat pada seri profil masyarakat terasing (BMT, Depsos, 1988) yakni sebagai berikut :
Pada
zaman dahulu kala terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi yang
dipimpin oleh Puti Selaras Pinang Masak dan kerajaan Tanjung Jabung
dipimpin oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, akhirnya
didengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Puti Selaras Pinang
Masak. Raja Pagar Ruyung memerintahkan agar dapat menaklukkan Kerajaan
Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah/berjanji tidak akan
kembali sebelum menang. Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan
Kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan
berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari-hari lamanya, kondisi
mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah
habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh,
untuk kembali ke Kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga
mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup didalam rimba.
Untuk menghindari rasa malu mereka mencari tempat-tempat yang sepi dan
jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama semakin
terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak-Dalam.
Tentang
Suku Anak-Dalam ini (Orang Rimba) Ruliyanto, wartawan Tempo (Tempo,
April 2002:70) menulis bahwa : sejumlah artikel menyebut orang rimba
merupakan kelompok melayu tua dari rumpun Melanesia. Mereka disamakan
dengan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang Dayak,
Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman.
Kelompok melayu tua merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan
(dekat lembah sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia
Selatan tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari
ke hutan ketika kelompok Melayu Muda datang dengan mengusung peradaban
yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.
Menurut
Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002:71) menyebutkan bahwa Orang Rimba
sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan
tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar kota Orang Rimba
mempraktekan silent trade mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi
di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir
hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gongongan
anjing merupakan tanda barang telah ditukar.
Senada
dengan itu Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002:71) (die orang kubu
auf Sumatera) menyatakan Orang Rimba sebagai orang pra melayu yang
merupakan penduduk asli Sumatera demikian pula Paul Bescrta mengatakan
bahwa orang Rimba semua dengan proto melayu (melayu tua) yang ada di
Semen njung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar