Juni Soehardjo, PENGAMAT
REGULASI MEDIA DIGITAL
Sumber
: SINDO, 25 Februari 2012
Setiap hari dalam 24 jam
pengguna jejaring sosial melakukan interaksi dengan pemberitaan media massa.
Interaksi bisa dilakukan dengan memberikan komentar, kritik, dukungan, bahkan
memberikan sudut pandang baru.
Tidak
sedikit jurnalis dan media yang memanfaatkan input untuk pengembangan berita.
Ini fenomena global,tidak terkecuali di Indonesia. Pekan lalu Dewan Pers
menggelar diskusi dengan tajuk Penggunaan Konten Media Sosial oleh Jurnalis. Di
antara hasil yang menarik, sebanyak 32% jurnalis responden menggunakan akun
jejaring sosial untuk menulis informasi personal, 40% untuk menulis informasi
mengenai berita menarik di media masing-masing, 41% tentang kegiatan kerja yang
tengah dilakukan.
Selain itu, sebanyak 58% responden memanfaatkan Facebook sebagai sumber berita, sedangkan 46% memanfaatkan konten percakapan di Twitter dalam peliputannya. Kemesraan antara jejaring sosial dan jurnalisme di Indonesia memiliki beberapa faktor kuat yang mendukung hubungan tersebut. Pertama, Indonesia adalah negara pengguna jejaring sosial dengan peringkat yang tinggi di dunia— baik melalui Twitter maupun Facebook maupun brand jejaring sosial lainnya.
Data dari www.socialbakers.com menunjukkan pada Januari 2012 ini, pemilik akun Facebook di Indonesia sebanyak 43,1 juta,di atas Brasil, tetapi di bawah India yang secara mengejutkan melampaui Indonesia. Kedua, larisnya penjualan gadget seperti smartphoneyang memungkinkan orang Indonesia untuk masuk ke dalam jejaring sosial yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa.
Smartphoneyang berada pada tingkat harga mahal seperti Blackberry maupun pada harga murah seperti Nexian terjual semakin banyak.Kondisi ini diperkuat dengan telendesitas telekomunikasi Indonesia yang hampir mencapai 90% dari populasi di Indonesia apabila dilihat dari kartu SIM yang beredar. Kadin Indonesia memperkirakan pada 2014 penetrasi sebuah smartphone yang sangat terkenal akan mencapai 30% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 252 juta orang.
Menurut Jeffrey I Cole, Direktur Centre for Digital Future, dalam lima tahun ke depan penggunaan komputer meja (desktopPC) serta laptop akan digunakan hanya sekitar 4-6% dari keseluruhan pengguna komputer. Hal ini karena tablet merupakan suatu alat yang lebih nyaman dan mudah dibawa daripada komputer meja dan laptop.
Dia memperhitungkan bahwa tablet sebagai alat penggunaan komputer akan menjadi pilihan utama sejak pertengahan dasawarsa 2010-an ini. Mengapa topik ini penting untuk diperhitungkan dalam perhitungan jurnalistik masa depan,alasannya adalah tak lain karena dominasi tablet akan menciptakan perubahan besarbesaran dalam bagaimana, kapan, dan mengapa orang (Amerika Serikat) masuk ke internet.
Walaupun dia menggunakan Amerika Serikat sebagai contoh, pola yang sama juga berlaku di Asia dan Eropa. Masih menurut perhitungan Kadin Indonesia, penjualan komputer di Indonesia hingga 2015 diperkirakan akan mencapai 43,9 juta yang berarti penetrasi nasional komputer akan mencapai 18.3%. Angka tersebut baru merupakan perkiraan penjualan komputer, belum gadget lainnya.
Dengan menggunakan perhitungan Cole, secara sederhana dapat dibayangkan kemungkinan meledaknya penggunaan tablet dan smartphone di Indonesia dalam tiga tahun ke depan. Mengingat Indonesia sudah mencanangkan masterplan percepatan perluasan pembangunan ekonomi, penyediaan infrastruktur telekomunikasi yang merupakan platform internet di mana gadgetini beroperasi akan segera dibangun dalam waktu dekat ke daerah-daerah terpencil dan merambah ke Indonesia sebelah timur.
Pada saat yang sama, Cole juga memperhitungkan bahwa dalam lima tahun media massa dalam bentuk cetak akan mengalami penyusutan besarbesaran. Yang bertahan dari penyusutan besar-besaran ini adalah media massa cetak yang saat ini memiliki sirkulasi terbesar atau terbit mingguan. Kaum jurnalis memahami kondisi genting tersebut dan segera mencari jalan keluar antara lain dengan menjangkau komunitas yang mereka layani.
Dahulu persebaran berita berpola satu arah yakni dari jurnalis kepada masyarakat dalam bentuk tercetak maupun elektronik. Namun, dengan berkembangnya teknologi yang memungkinkan warga biasa melaporkan apa yang terjadi di sekitarnya atau setidaknya meneruskan berita yang didapatnya dari orang lain dengan shared-link dan video, pola persebaran berita berubah menjadi interaktif atau dua arah.
Jurnalis mengendus kesempatan ini dan sekarang mencari serta menerima feedback dari komunitas yang menggunakan jejaring sosial dan mempelajari apa yang menjadi kecenderungan masyarakat melalui jejaring sosial sehingga berita yang ia turunkan menjadi lebih update dan relevan dengan komunitasnya.
Dalam kapasitas pelaporan suatu peliputan bersifat realtime, jejaring sosial mempertajam gerakan protes seperti Occupy Wall Street ataupun Arab Spring sehingga menjamin setiap perkembangan dari protes ini tetap dapat diliput. Pada waktu polisi atau aparat keamanan memblokir akses dan menahan para jurnalis profesional,para pemrotes bersama- sama dengan para mahasiswa mengawal gerakan ini melalui sosial.
Di sini terlihat kecenderungan masa depan di mana jurnalisme atau pers akan lebih terdesentralisasi, bersifat real-time,berkarakteristik kerja sama,serta di bawah pengampuan (curate) warga. Hubungan mesra antara jejaring sosial dan jurnalisme ini juga menimbulkan pertanyaan baru: di manakah posisi jurnalis sebagai penyedia informasi di dalam masyarakat yang sudah pandai menggunakan gadget dan karenanya melek informasi ini?
Bagaimana dengan penerapan prinsip jurnalistik yang bersifat imparsial, tepat, dan akurat dalam menggunakan jejaring sosial sebagai sumber informasi? Bagaimana cara baru persebaran konten ini akan memengaruhi kualitas dan kedalaman dari kualitas jurnalisme? Apakah jejaring sosial dapat dikategorikan sebagai perusahaan media massa? Semoga kemesraan antara jurnalisme dan jejaring sosial ini dikawal oleh para pemangku kepentingan sehingga memberikan nilai tambah bagi dunia. ●
Selain itu, sebanyak 58% responden memanfaatkan Facebook sebagai sumber berita, sedangkan 46% memanfaatkan konten percakapan di Twitter dalam peliputannya. Kemesraan antara jejaring sosial dan jurnalisme di Indonesia memiliki beberapa faktor kuat yang mendukung hubungan tersebut. Pertama, Indonesia adalah negara pengguna jejaring sosial dengan peringkat yang tinggi di dunia— baik melalui Twitter maupun Facebook maupun brand jejaring sosial lainnya.
Data dari www.socialbakers.com menunjukkan pada Januari 2012 ini, pemilik akun Facebook di Indonesia sebanyak 43,1 juta,di atas Brasil, tetapi di bawah India yang secara mengejutkan melampaui Indonesia. Kedua, larisnya penjualan gadget seperti smartphoneyang memungkinkan orang Indonesia untuk masuk ke dalam jejaring sosial yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa.
Smartphoneyang berada pada tingkat harga mahal seperti Blackberry maupun pada harga murah seperti Nexian terjual semakin banyak.Kondisi ini diperkuat dengan telendesitas telekomunikasi Indonesia yang hampir mencapai 90% dari populasi di Indonesia apabila dilihat dari kartu SIM yang beredar. Kadin Indonesia memperkirakan pada 2014 penetrasi sebuah smartphone yang sangat terkenal akan mencapai 30% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 252 juta orang.
Menurut Jeffrey I Cole, Direktur Centre for Digital Future, dalam lima tahun ke depan penggunaan komputer meja (desktopPC) serta laptop akan digunakan hanya sekitar 4-6% dari keseluruhan pengguna komputer. Hal ini karena tablet merupakan suatu alat yang lebih nyaman dan mudah dibawa daripada komputer meja dan laptop.
Dia memperhitungkan bahwa tablet sebagai alat penggunaan komputer akan menjadi pilihan utama sejak pertengahan dasawarsa 2010-an ini. Mengapa topik ini penting untuk diperhitungkan dalam perhitungan jurnalistik masa depan,alasannya adalah tak lain karena dominasi tablet akan menciptakan perubahan besarbesaran dalam bagaimana, kapan, dan mengapa orang (Amerika Serikat) masuk ke internet.
Walaupun dia menggunakan Amerika Serikat sebagai contoh, pola yang sama juga berlaku di Asia dan Eropa. Masih menurut perhitungan Kadin Indonesia, penjualan komputer di Indonesia hingga 2015 diperkirakan akan mencapai 43,9 juta yang berarti penetrasi nasional komputer akan mencapai 18.3%. Angka tersebut baru merupakan perkiraan penjualan komputer, belum gadget lainnya.
Dengan menggunakan perhitungan Cole, secara sederhana dapat dibayangkan kemungkinan meledaknya penggunaan tablet dan smartphone di Indonesia dalam tiga tahun ke depan. Mengingat Indonesia sudah mencanangkan masterplan percepatan perluasan pembangunan ekonomi, penyediaan infrastruktur telekomunikasi yang merupakan platform internet di mana gadgetini beroperasi akan segera dibangun dalam waktu dekat ke daerah-daerah terpencil dan merambah ke Indonesia sebelah timur.
Pada saat yang sama, Cole juga memperhitungkan bahwa dalam lima tahun media massa dalam bentuk cetak akan mengalami penyusutan besarbesaran. Yang bertahan dari penyusutan besar-besaran ini adalah media massa cetak yang saat ini memiliki sirkulasi terbesar atau terbit mingguan. Kaum jurnalis memahami kondisi genting tersebut dan segera mencari jalan keluar antara lain dengan menjangkau komunitas yang mereka layani.
Dahulu persebaran berita berpola satu arah yakni dari jurnalis kepada masyarakat dalam bentuk tercetak maupun elektronik. Namun, dengan berkembangnya teknologi yang memungkinkan warga biasa melaporkan apa yang terjadi di sekitarnya atau setidaknya meneruskan berita yang didapatnya dari orang lain dengan shared-link dan video, pola persebaran berita berubah menjadi interaktif atau dua arah.
Jurnalis mengendus kesempatan ini dan sekarang mencari serta menerima feedback dari komunitas yang menggunakan jejaring sosial dan mempelajari apa yang menjadi kecenderungan masyarakat melalui jejaring sosial sehingga berita yang ia turunkan menjadi lebih update dan relevan dengan komunitasnya.
Dalam kapasitas pelaporan suatu peliputan bersifat realtime, jejaring sosial mempertajam gerakan protes seperti Occupy Wall Street ataupun Arab Spring sehingga menjamin setiap perkembangan dari protes ini tetap dapat diliput. Pada waktu polisi atau aparat keamanan memblokir akses dan menahan para jurnalis profesional,para pemrotes bersama- sama dengan para mahasiswa mengawal gerakan ini melalui sosial.
Di sini terlihat kecenderungan masa depan di mana jurnalisme atau pers akan lebih terdesentralisasi, bersifat real-time,berkarakteristik kerja sama,serta di bawah pengampuan (curate) warga. Hubungan mesra antara jejaring sosial dan jurnalisme ini juga menimbulkan pertanyaan baru: di manakah posisi jurnalis sebagai penyedia informasi di dalam masyarakat yang sudah pandai menggunakan gadget dan karenanya melek informasi ini?
Bagaimana dengan penerapan prinsip jurnalistik yang bersifat imparsial, tepat, dan akurat dalam menggunakan jejaring sosial sebagai sumber informasi? Bagaimana cara baru persebaran konten ini akan memengaruhi kualitas dan kedalaman dari kualitas jurnalisme? Apakah jejaring sosial dapat dikategorikan sebagai perusahaan media massa? Semoga kemesraan antara jurnalisme dan jejaring sosial ini dikawal oleh para pemangku kepentingan sehingga memberikan nilai tambah bagi dunia. ●