ISU kenaikan harga BBM telah berhasil membuat tegang
suasana Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Hal tersebut disebabkan
oleh guncangan gelombang demonstrasi dengan segala pernak-perniknya
mulai dari pemblokiran jalan hingga keanarkisan. Dampak yang sangat
terasa adalah sulitnya banyak warga untuk mengakses jalanan yang menjadi
arena demonstrasi. Alasannya bukan sekadar karena jalan yang ditutup,
melainkan juga khawatir akan adanya tindakan kekerasan yang dapat
membahayakan mereka ketika melintasi arena itu. Bukan fiktif belaka,
memang, ketika demonstrasi memanas, alias massa dan petugas kemanan
telah sama-sama memijaki titik ricuh, lemparan batu dan peluru akan
melayang ke sembarang arah dan jatuh bebas ke mana pun, termasuk pada
kendaraan umum dan penumpang di dalamnya. Walhasil, beberapa instansi
memulangkan stafnya lebih awal sebelum demo menjadi anarkis, atau bahkan
meliburkannya dengan alasan keamanan. Bahkan, tanpa dimungkiri, ada
juga orangtua yang melarang anaknya pergi ke sekolah atau kuliah.
Demikian, Jakarta di satu sisi menjadi begitu ngeri, menakutkan, akibat
demonstrasi yang terjadi.
Mari menilik puncak sementara demonstrasi kenaikan harga BBM pada 30
Maret lalu. Disebut ‘puncak sementara’ karena ada kemungkinan gelombang
demo ini bergulir lagi dan mencapai puncak-puncak selanjutnya. Hal itu
disebabkan oleh konsekuensi dari keputusan hasil sidang paripurna yang
sekadar menunda kenaikan harga BBM dengan bahasa revisi pada pasal 7 UU
tentang APBN 2012 dengan penambahan ayat 6a. Pasal 7 ayat 6a tersebut
berbunyi
‘Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu
berjalan selama enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari
15 persen, maka pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan
penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya’. Ayat
ini, seperti dilansir Metro TV, merupakan sebuah tiket bagi pemerintah
untuk tetap menaikkan harga BBM. Jika harga BBM dinaikkan, meskipun
diisukan ‘tidak’ kecuali setelah enam bulan ke depan, para demonstran
hanya akan merasa dikhianati. Mereka akan merasa apa yang mereka
suarakan sama saja tidak didengar, tuntutan mereka tidak ditanggapi.
Lantas, demonstrasi pun bisa terjadi kembali, dengan gelombang yang
sama, atau bahkan lebih besar lagi. Tentu, misi utama yang dibawa oleh
para demonstran adalah membela hak rakyat kecil. Kenaikan harga BBM
sangat memengaruhi kenaikan harga kebutuhan lainnya dan berarti akan
semakin mempersulit rakyat kecil yang selama ini sudah menderita dalam
keterbatasan daya beli. Tiket itu memungkinkan demonstrasi akan terjadi
lagi. Jakarta akan kembali menjadi kota yang mengerikan dan
menegangkan bagi sebagian penduduknya, terutama yang tidak pro dengan
demo.
Lalu, apakah demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi agar harga BBM
tidak dinaikkan masih diperlukan? Toh, demonstrasi yang kemarin terjadi
tidak lantas membuat keinginan mereka, demonstran, lugas dikabulkan.
Justru, dampak negatif seperti ketakutan massal dan ketegangan kota
kian dirasakan bagi mereka yang tidak terlibat dalam demo.
Jawabnya, ‘YA’, demonstrasi dalam hal menyikapi kebijakan atau dalam
rangka menyampaikan aspirasi pada pemerintah masih diperlukan. Ada tiga
catatan penting yang perlu dipahami dalam hal ini, yaitu pemahaman bagi
pihak yang tidak terlibat atau bahkan kontra demo, pemahaman bagi para
pelaku demo, dan bagi pihak yang menjabat sebagai wakil rakyat, petinggi
negara, maupun pemerintah Indonesia.
Bagi pihak masyarakat yang tidak terlibat demo, atau bahkan kontra
terhadap demo, memiliki kecenderungan negatif menanggapi demo yang
terjadi. Aksi para demonstran, terutama yang besar-besaran seperti 30
Maret 2012 lalu hanya membuat mobilitas terganggu, bikin macet. Selain
itu, demonstrasi hanya mampu meneriakkan suara ‘perlawanan’ terhadap
kebijakan pemerintah seperti “Bela rakyat kecil! Turunkan harga BBM!
Turunkan SBY-Boediono!” dan lain sebagainya, tanpa memberikan usulan
solusi konkrit kepada pihak yang mereka teriaki. Demonstrasi yang
diangap-anggap sebagai jalan penyelesaian masalah krusial malah
menyebabkan masalah lain melalui rusaknya pintu tol, merobohkan pagar
dan pintu gerbang gedung DPR, membakar kendaraan, dan bermacam aksi
keras maupun anarkis lainnya. Demonstran, khususnya mahasiswa, sering
dicap telah kehilangan intelektualnya karena melakukan aksi-aksi yang
tidak berhubungan dengan materi apa yang sedang diperjuangkan.
“Mahasiswa kok main otot. Harusnya otak dong!” Ya, begitulah kira-kira
tanggapan pihak yang tidak terlibat, atau bahkan kontra, demonstrasi.
Namun, perlu dipahami bahwasannya demonstrasi merupakan salah satu cara
yang efektif dalam menyampaikan aspirasi. Memang, sekilas terkesan
sia-sia ketika ternyata hasil tak sebanding dengan kekacauan yang telah
disebabkan. Akan tetapi, inilah perjuangan. Demonstrasi memegang fungsi
penting sebagai kontrol pemerintah, penggertak pemerintah bahwa ada
banyak masyarakat yang menanti keadilan dan siap melawan
kesemena-menaan. Meskipun sebagian dari kita menganggap demonstrasi
bukan solusi masa kini karena aspirasi bisa disampaikan melalui aksi
yang lain semacam tulisan, namun, tulisan pada dasarnya hanyalah aksi
individu. Tulisan hanyalah gagasan dan hasil pemikiran yang disampaikan
oleh orang per orang. Banyak masyarakat akan membaca, dan mungkin juga
presiden dan para pejabat negara. Tapi, tak ada efek yang cukup kuat
dari tulisan sebagai penggertak pemerintah. Dalam kasus-kasus
ketidakadilan sebuah kebijakan penting, tulisan yang merupakan aksi
individu sebaiknya disertai tindakan kebersamaan semacam demonstrasi.
Sebab, analogi klasik sebatang lidi berlaku di sini. Sendiri tak akan
lebih mampu membersihkan sampah di halaman dibandingkan jika lidi-lidi
itu diikat menjadi satu, menjadi sapu.
Mengenai kerugian yang disebabkan oleh demonstran seperi perusakan pagar
DPR, harusnya ini justru menjadi bahan telaah kritis bagi kita.
Alangkah mudahnya pagar elite milik para pejabat itu dirobohkan. Apakah
konstruksi yang digunakan benar-benar kuat? Apakah selama ini korupsi
juga terjadi dalam pembiayaan pembuatan pagar dengan menggunakan
sebagian kecil saja uang dari anggaran pembetulan pagar dan sisanya
dinikmati sendiri. Ya, ini memang sekadar asumsi. Namun, setidaknya kita
harus mampu menelaah dengan lebih kritis lagi.
Kepada para pelaku aksi, hendaknya demonstrasi diimbangi dengan aksi
nyata lainnya. Demontrasi memang media juang untuk mewujudkan tujuan.
Namun, bukan satu-satunya media. Misalnya saja dalam isu kenaikan harga
BBM ini, demonstran, khususnya mahasiswa, seharusnya mampu memberikan
solusi alternatif bagi rakyat kecil. Contohnya, pemanfaatan sumber daya
alam lain untuk bahan bakar, atau peningkatan kualitas sumber daya
manusia agar memiliki daya beli yang lebih baik. Dengan demikian,
masyarakat tidak akan terpengaruh lagi dengan kenaikan harga BBM karena
mereka sudah tidak bergantung padanya, dan mereka sudah memiliki daya
beli yang baik. Program ini tentunya tidak mudah karena beraliran
‘pemerataan kesejahteraan’. Oleh karena itu, kita butuh metode aksi
besar-besaran. Organisasi, khususnya pemuda dan mahasiswa, yang memiliki
cabang di seluruh Indonesia seperi Aliansi BEM Seluruh Indonesia,
KAMMI, HMI, dll. menyeragamkan gerakan untuk melakukan upaya tersebut di
setiap wilayahnya. Bukan hanya ketika berteriak menantang pemerintah
saja yang perlu bersatu, tapi dalam melakukan upaya dan solusi
alternatif juga perlu persatuan agar hasilnya maksimal. Dengan kata
lain, aksi perlu dimodifikasi, demo dilengkapi aksi nyata yang solutif.
Kepada pemerintah dan pejabat negara, sebaiknya mau dan mampu mendengar
apa yang menjadi suara rakyatnya, juga mampu berpihak pada rakyat yang
diwakilinya di gedung mewah DPR RI. Jadikan aspirasi rakyat sebagai
masukan, kontrol atas kerja yang telah dilakukan. Bersyukurlah bahwa
Bapak Ibu Pejabat semua masih memiliki rakyat yang peduli dengan
negaranya. Bersikaplah dengan baik karena Bapak Ibu sekalian menjadi
sorotan. Bersidanglah dengan kritis namun santun karena Bapak Ibu pun
menjadi tontonan rakyat. Jika merasa lelah, ingatlah bahwa rakyat akan
tetap mendukung selama Bapak Ibu ada di jalan yang benar. Jangan
semena-mena karena demonstrasi bisa terjai kapan saja, kontrol mahasiswa
dan rakyat bisa dalam bentuk apa saja. Karena pada Bapak dan Ibu lah
kami wakilkan suara kami bagi kesejahteraan Indonesia.
Demonstrasi, sampai kini, masih perlu dilakukan. Sebab, demo merupakan
salah satu cara yang efektif sebagai media penyampai aspirasi dan
penggertak pemerintah akan kebijakan yang tidak adil. Namun dengan
catatan, para demonstran, khususnya mahasiswa, juga harus melakukan aksi
besar-besaran dalam bentuk yang lain, yang bersifat peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Dan bagi pemerintah, jangan pandang
negatif demo yang terjadi karena inilah kontrol bagi kerja Bapak Ibu
untuk negara. Demo, tetap perlu dilakukan.
Endang Sriwahyuni
Mahasiswa Sampoerna School of Education
(//rfa)