Rabu, 14 November 2012

BP Migas Bubar, Pemerintah Harus Segera Buat Aturan



JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Budiman Sujatmiko menyatakan setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Menurut Budiman, pembubaran tugas dan wewenang BP Migas ini merupakan langkah yang tepat karena selama ini BP Migas dinilai tidak memperlihatkan dukungan kepada perusahaan minyak dan gas dalam negeri.

"Secara otomatis, putusan MK tersebut membubarkan tugas dan wewenang BP Migas. Ini merupakan langkah yang tepat bila melihat keberadaan BP Migas selama ini tidak memperlihatkan dukungan kepada perusahaan minyak dan gas dalam negeri,” ujarnya kepada Kompas.com via BlackBerry Messenger, Rabu (14/11/2012).

Budiman mengungkapkan, hampir seluruh kontrak blok produksi diberikan kepada perusahaan minyak dan gas asing, seperti blok Mahakam pada waktu lalu. Hal ini juga akan terjadi pada kontrak migas yang masih berjalan atau yang akan berakhir serta juga yang terkait dengan negosiasi kontrak yang sedang berlangsung di BP Migas. Dengan demikian, kepastian hukum oleh pemerintah dibutuhkan saat ini.

Menurutnya, dalam menghadapi persoalan ini, pemerintah harus tegas menunjukkan keberpihakan pada kedaulatan energi bangsa dengan cara tidak perlu mempertahankan lagi kontrak-kontrak pertambangan migas yang akan berakhir dan menegosiasikan kembali kontrak yang sedang berjalan.

Seperti diketahui, MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Menurut MK, pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.
Mahkamah Konstitusi menilai, UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. MK dalam pertimbangannya mengatakan hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai pihak pemerintah atau yang mewakili pemerintah, dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam UU Migas, bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi.

Karena itu, Budiman menyatakan, pemerintah harus segera membuat aturan hukum untuk mengisi kekosongan hukum terkait pengaturan mengenai kewenangan unit minyak dan gas agar tidak ada kegaduhan di dalam pengelolaan minyak dan gas yang saat ini sedang berjalan.

Ini blok migas yang disarankan tidak perlu diperpanjang kontrak.
-    Blok Siak (operator PT Chevron Pasific Indonesia, CPI) habis kontrak 2013.
-    Gebang (Pertamina-Costa) habis kontrak pada 2015.
-    Blok Mahakam (Total), ONWJ (PHE), Attaka (Inpex), dan Lematang (Medco) habis kontrak pada 2017.
-    Tuban (Pertamina-Petrochina), Ogan Komering (Pertamina-Talisman), North Sumatra Offshore B (Exxon Mobil), Southeast Sumatra(CNOOC), Tengah (Total), NSO Extention (ExxonMobil), Sanga-Sanga (Vico Indonesia), dan West Pasir dan Attaka (CPI), habis kontrak pada 2018.
-    Bula (Kalrez Petrolum), Seram Non Bula (Citic), Pendopo dan Raja (Pertamina-Golden Spike), dan Jambi Merang (JOB Pertamina-Hess) habis kontrak pada 2019.
-    South Jambi B (ConocoPhilips), Malacca Strait (Kondur Petroleum), Brantas (Lapindo), Salawati (Pertamina-Petrochina), Kepala Burung Blok A (Petrochina), Sengkang (Energy Equity), dan Makassar Strait Offshore Area A (Chevron Indonesia Company) habis kontrak pada 2020.
-    Blok Rokan (CPI), Bentu Sengat (Kalila), Muriah (Petronas), dan Selat Panjang (Petroselat) pada 2021.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar