Oleh Anwari WMK
Tatkala hendak memperebutkan kursi kekuasaan, mendadak sontak para aktor politik berbicara tentang rakyat. Mereka beradu akting di ruang publik dengan mengusung citra diri sebagai pejuang sejati mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kompetisi memperebutkan kekuasaan itu, rakyat lalu dijunjung setinggi langit. Personalitas seorang politikus tiba-tiba diwarnai aura kepedulian tanpa batas dalam hal mewujudkan kedaulatan rakyat. Tetapi jelas, semuanya hanyalah aksi di atas panggung. Semuanya hanyalah lipstik dan polesan. Tak lebih dan tak kurang.
Apa yang bisa kita catat selama ini ialah timbulnya paradoks dalam perpolitikan nasional. Pada satu sisi, politik merupakan panggilan kebangsaan, dan karena itu tak pernah bergeser menjadi profesi. Dengan terjun ke dunia politik, seseorang sesungguhnya berada dalam satu titik kesadaran untuk menghibahkan diri sepenuhnya memenuhi panggilan kebangsaan. Maka, para politikus adalah pejuang yang mengusung misi besar memajukan dan memakmurkan bangsa. Tapi pada lain sisi, politik di Indonesia menjadi ladang berburu pekerjaan. Tata kelola politik dilumuri pamrih materi. Tak mengherankan pada akhirnya, politikus di negeri ini menjadi monster pemburu rente yang korup. Dengan sendirinya, politikus di Indonesia merupakan figur yang antoganistik.
Pemimpin Partai
Hingga perpolitikan nasional menerobos masuk ke dalam kurun waktu pasca-Orde Baru, sandiwara pembelaan terhadap rakyat tampak menonjol pada saat Pemilu Legislatif maupun tatkala berlangsung Pemilu Presiden. Politikus yang ambisius duduk di parlemen atau yang begitu obsesif meraih jabatan presiden, menebar janji untuk sepenuhnya membahagiakan rakyat. Kampanye Pemilu lantas menjadi sebuah siklus yang riuh redah oleh corong penyebaran janji. Sebagai imbalannya, sang politikus meminta dukungan suara dari rakyat, melalui pencontrengan di bilik-bilik suara.
Kini, sebuah cerita baru bergulir. Sandiwara pembelaan terhadap rakyat pun mewarnai perebutan kursi ketua umum sebuah partai politik. Contohnya, perebutan jabatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golongan Karya (Golkar). Dalam Musyawarah Nasional ke-8 di Pekanbaru, Riau (5-8 Oktober 2009), empat orang politikus tampil sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra dan Yuddy Chrisnandi. Mereka sama-sama berbicara tentang rakyat serta melontarkan resep politik bagaimana menyekahterakan rakyat. Begitu artikulatifnya pembicaraan tentang rakyat dalam Munas ke-8 itu, tak berlebihan jika dikatakan inilah sensasi baru dalam jagat perpolitikan nasional.
Memang, Munas atau Muktamar partai-partai selain Golkar telah pula membicarakan nasib rakyat. Tetapi, hanya dalam Munas ke-8 Golkar pembicaraan tentang rakyat membahana dari kandidat ketua umum. Derajat pembicaraan tentang rakyat dalam konteks Munas ke-8 Partai Golkar sama artikulatifnya dengan pembicaraan tentang rakyat selama masa kampanye Pemilu. Padahal, para kandidat Ketua Umum Partai Golkar itu tak sedang berhadapan dengan rakyat secara vis-à-vis—seperti pada musim Pemilu.
Rakyat dalam Perspektif
Hanya saja, pembicaraan tentang rakyat dalam konteks ini berada dalam perspektif yang sumir. Pembacaan secara saksama terhadap konstatasi yang dilontarkan empat kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar secara keseluruhan justru tanpa kejelasan esoterisme. Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “rakyat” dalam berondongan kata-kata empat kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar, tak lebih hanyalah retorika. Kata “rakyat” dalam pelataran ini masih terpaku pada pengertian yang dangkal. Tak ada kedalaman konsepsi yang mendasari segenap pembicaraan tentang rakyat.
Dalam Kompas edisi 5 Oktober 2009, Yuddy Chrisnandi berbicara tentang rakyat sehubungan dengan penurunan suara Partai Golkar pada Pemilu Legislatif 2009. Nomenklatur “rakyat” terpatri ke dalam narasi kalimat Yuddy seperti ini: ”Suara Partai Golkar turun disebabkan faktor kepemimpinan yang tidak solid dan merakyat, mengabaikan kekuatan lain, serta merasa puas pada capaian sebelumnya. Pemimpin seharusnya mampu menggerakkan seluruh jajaran turun ke bawah serta menjaga persatuan sehingga terbangun soliditas. Pemilu lalu semua berjalan sendiri. Reposisi politik Partai Golkar juga tidak jelas, partai pemerintah atau oposisi yang senantiasa mendukung cita-cita rakyat. Kader yang membela rakyat malah diperingatkan. Akibatnya, Golkar dilupakan rakyat.”
Dalam konteks ideologi, Yuddy juga berbicara tentang rakyat dengan narasi kalimat seperti ini: Golkar itu nasionalis religius kerakyatan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengukuhkan sebagai partai religius. Komitmen Golkar melindungi NKRI dari pertentangan ideologi, separatisme, atau SARA dengan membingkai kebhinnekaan. Pembangunan nasional harus ditujukan untuk rakyat. Tujuan ini mulai melemah. Golkar juga bukan partai agama yang berpihak hanya pada Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau satu golongan. Karena itu, harus berjuang semaksimal mungkin agar semua peraturan diterima secara adil oleh seluruh rakyat.”
Hutomo Mandala Putra juga menggunakan nomenklatur “rakyat” demi mengklarifikasi mengapa akhirnya ia maju sebagai kandidat Ketua Umum Partai Golkar. Kata Hutomo Mandala Putra, ”Saya membawa visi-misi lebih jelas tentang karya-kekaryaan dan ekonomi rakyat. Golkar selama ini hanya dimanfaatkan elite politiknya. Ke depan, Golkar harus lebih membantu rakyat mewujudkan cita-citanya. Golkar juga harus lebih tegas menjaga kedaulatan bangsa. Saat Orde Lama, kita bertambah Papua. Orde Baru, bertambah Timtim. Tapi, saat Reformasi kehilangan Timtim, Sipadan, Ligitan.”
Saat menyinggung kemestian-kemestian baru yang niscaya dilakukan Golkar, Hutomo Mandala Putra berbicara tentang rakyat dengan konstruk kalimat seperti ini: “Golkar harus mewujudkan cita-cita rakyat secepatnya, tidak perlu menunggu Pemilu. Sudah saatnya kita berkarya sekarang ini. Karena itu, sejak awal saya tidak ingin terlibat praktik ”dagang sapi” atau pragmatisme. Saya harus mengedepankan program-program yang harus dilaksanakan Golkar di daerah-daerah jika ingin menang di 2014.”
Dalam wawancara dengan harian Seputar Indonesia (6 Oktober 2009), Hutomo Mandala Putra berbicara tentang konsep Trikarya untuk keperluan membesarkan Golkar. Salah satu poin dalam konsep Trikarya itu berbunyi: “Partai Golkar harus dijadikan kendaraan politik rakyat untuk mewujudkan harapannya”. Dua poin yang lain adalah: (1) Keharusan bagi Golkar menjadi partai independen, mandiri dan dinamis, serta (2) Partai Golkar mewujudkan wajib belajar 12 tahun secara gratis untuk sekolah negeri dan pelayanan kesehatan gratis yang berkualitas.
Sungguh pun demikian, pembicaraan tentang rakyat tak menukik pada kedalaman filosofi. Di sini, pembicaraan tentang rakyat bernuansa banalitas. Itu karena, masih bertahan relasi subyek-obyek di dunia politik. Para aktor politik tak habis-habisnya memosisikan diri sebagai subyek. Sementara rakyat, disudutkan sebagai obyek. Itulah mengapa, pembicaraaan tentang rakyat terjebak ke dalam logika formal, bukan resultante dari dialektika lahir batin bersama rakyat itu sendiri. Maka, pembicaraan tentang fungsi partai politik sebagai kendaraan politik bagi rakyat jelas masih sebatas utopia. “Kendaraan politik bagi rakyat” hanyalah isu temporer menghadapi Munas. Maka, dengan cepat isu ini bakal berlalu bersama angin.
Jakarta, 7 Oktober 2009
Tatkala hendak memperebutkan kursi kekuasaan, mendadak sontak para aktor politik berbicara tentang rakyat. Mereka beradu akting di ruang publik dengan mengusung citra diri sebagai pejuang sejati mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kompetisi memperebutkan kekuasaan itu, rakyat lalu dijunjung setinggi langit. Personalitas seorang politikus tiba-tiba diwarnai aura kepedulian tanpa batas dalam hal mewujudkan kedaulatan rakyat. Tetapi jelas, semuanya hanyalah aksi di atas panggung. Semuanya hanyalah lipstik dan polesan. Tak lebih dan tak kurang.
Apa yang bisa kita catat selama ini ialah timbulnya paradoks dalam perpolitikan nasional. Pada satu sisi, politik merupakan panggilan kebangsaan, dan karena itu tak pernah bergeser menjadi profesi. Dengan terjun ke dunia politik, seseorang sesungguhnya berada dalam satu titik kesadaran untuk menghibahkan diri sepenuhnya memenuhi panggilan kebangsaan. Maka, para politikus adalah pejuang yang mengusung misi besar memajukan dan memakmurkan bangsa. Tapi pada lain sisi, politik di Indonesia menjadi ladang berburu pekerjaan. Tata kelola politik dilumuri pamrih materi. Tak mengherankan pada akhirnya, politikus di negeri ini menjadi monster pemburu rente yang korup. Dengan sendirinya, politikus di Indonesia merupakan figur yang antoganistik.
Pemimpin Partai
Hingga perpolitikan nasional menerobos masuk ke dalam kurun waktu pasca-Orde Baru, sandiwara pembelaan terhadap rakyat tampak menonjol pada saat Pemilu Legislatif maupun tatkala berlangsung Pemilu Presiden. Politikus yang ambisius duduk di parlemen atau yang begitu obsesif meraih jabatan presiden, menebar janji untuk sepenuhnya membahagiakan rakyat. Kampanye Pemilu lantas menjadi sebuah siklus yang riuh redah oleh corong penyebaran janji. Sebagai imbalannya, sang politikus meminta dukungan suara dari rakyat, melalui pencontrengan di bilik-bilik suara.
Kini, sebuah cerita baru bergulir. Sandiwara pembelaan terhadap rakyat pun mewarnai perebutan kursi ketua umum sebuah partai politik. Contohnya, perebutan jabatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golongan Karya (Golkar). Dalam Musyawarah Nasional ke-8 di Pekanbaru, Riau (5-8 Oktober 2009), empat orang politikus tampil sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra dan Yuddy Chrisnandi. Mereka sama-sama berbicara tentang rakyat serta melontarkan resep politik bagaimana menyekahterakan rakyat. Begitu artikulatifnya pembicaraan tentang rakyat dalam Munas ke-8 itu, tak berlebihan jika dikatakan inilah sensasi baru dalam jagat perpolitikan nasional.
Memang, Munas atau Muktamar partai-partai selain Golkar telah pula membicarakan nasib rakyat. Tetapi, hanya dalam Munas ke-8 Golkar pembicaraan tentang rakyat membahana dari kandidat ketua umum. Derajat pembicaraan tentang rakyat dalam konteks Munas ke-8 Partai Golkar sama artikulatifnya dengan pembicaraan tentang rakyat selama masa kampanye Pemilu. Padahal, para kandidat Ketua Umum Partai Golkar itu tak sedang berhadapan dengan rakyat secara vis-à-vis—seperti pada musim Pemilu.
Rakyat dalam Perspektif
Hanya saja, pembicaraan tentang rakyat dalam konteks ini berada dalam perspektif yang sumir. Pembacaan secara saksama terhadap konstatasi yang dilontarkan empat kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar secara keseluruhan justru tanpa kejelasan esoterisme. Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “rakyat” dalam berondongan kata-kata empat kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar, tak lebih hanyalah retorika. Kata “rakyat” dalam pelataran ini masih terpaku pada pengertian yang dangkal. Tak ada kedalaman konsepsi yang mendasari segenap pembicaraan tentang rakyat.
Dalam Kompas edisi 5 Oktober 2009, Yuddy Chrisnandi berbicara tentang rakyat sehubungan dengan penurunan suara Partai Golkar pada Pemilu Legislatif 2009. Nomenklatur “rakyat” terpatri ke dalam narasi kalimat Yuddy seperti ini: ”Suara Partai Golkar turun disebabkan faktor kepemimpinan yang tidak solid dan merakyat, mengabaikan kekuatan lain, serta merasa puas pada capaian sebelumnya. Pemimpin seharusnya mampu menggerakkan seluruh jajaran turun ke bawah serta menjaga persatuan sehingga terbangun soliditas. Pemilu lalu semua berjalan sendiri. Reposisi politik Partai Golkar juga tidak jelas, partai pemerintah atau oposisi yang senantiasa mendukung cita-cita rakyat. Kader yang membela rakyat malah diperingatkan. Akibatnya, Golkar dilupakan rakyat.”
Dalam konteks ideologi, Yuddy juga berbicara tentang rakyat dengan narasi kalimat seperti ini: Golkar itu nasionalis religius kerakyatan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengukuhkan sebagai partai religius. Komitmen Golkar melindungi NKRI dari pertentangan ideologi, separatisme, atau SARA dengan membingkai kebhinnekaan. Pembangunan nasional harus ditujukan untuk rakyat. Tujuan ini mulai melemah. Golkar juga bukan partai agama yang berpihak hanya pada Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau satu golongan. Karena itu, harus berjuang semaksimal mungkin agar semua peraturan diterima secara adil oleh seluruh rakyat.”
Hutomo Mandala Putra juga menggunakan nomenklatur “rakyat” demi mengklarifikasi mengapa akhirnya ia maju sebagai kandidat Ketua Umum Partai Golkar. Kata Hutomo Mandala Putra, ”Saya membawa visi-misi lebih jelas tentang karya-kekaryaan dan ekonomi rakyat. Golkar selama ini hanya dimanfaatkan elite politiknya. Ke depan, Golkar harus lebih membantu rakyat mewujudkan cita-citanya. Golkar juga harus lebih tegas menjaga kedaulatan bangsa. Saat Orde Lama, kita bertambah Papua. Orde Baru, bertambah Timtim. Tapi, saat Reformasi kehilangan Timtim, Sipadan, Ligitan.”
Saat menyinggung kemestian-kemestian baru yang niscaya dilakukan Golkar, Hutomo Mandala Putra berbicara tentang rakyat dengan konstruk kalimat seperti ini: “Golkar harus mewujudkan cita-cita rakyat secepatnya, tidak perlu menunggu Pemilu. Sudah saatnya kita berkarya sekarang ini. Karena itu, sejak awal saya tidak ingin terlibat praktik ”dagang sapi” atau pragmatisme. Saya harus mengedepankan program-program yang harus dilaksanakan Golkar di daerah-daerah jika ingin menang di 2014.”
Dalam wawancara dengan harian Seputar Indonesia (6 Oktober 2009), Hutomo Mandala Putra berbicara tentang konsep Trikarya untuk keperluan membesarkan Golkar. Salah satu poin dalam konsep Trikarya itu berbunyi: “Partai Golkar harus dijadikan kendaraan politik rakyat untuk mewujudkan harapannya”. Dua poin yang lain adalah: (1) Keharusan bagi Golkar menjadi partai independen, mandiri dan dinamis, serta (2) Partai Golkar mewujudkan wajib belajar 12 tahun secara gratis untuk sekolah negeri dan pelayanan kesehatan gratis yang berkualitas.
Sungguh pun demikian, pembicaraan tentang rakyat tak menukik pada kedalaman filosofi. Di sini, pembicaraan tentang rakyat bernuansa banalitas. Itu karena, masih bertahan relasi subyek-obyek di dunia politik. Para aktor politik tak habis-habisnya memosisikan diri sebagai subyek. Sementara rakyat, disudutkan sebagai obyek. Itulah mengapa, pembicaraaan tentang rakyat terjebak ke dalam logika formal, bukan resultante dari dialektika lahir batin bersama rakyat itu sendiri. Maka, pembicaraan tentang fungsi partai politik sebagai kendaraan politik bagi rakyat jelas masih sebatas utopia. “Kendaraan politik bagi rakyat” hanyalah isu temporer menghadapi Munas. Maka, dengan cepat isu ini bakal berlalu bersama angin.
Jakarta, 7 Oktober 2009