Hasan Nasbi A.
Program Manager Indonesian Research and Development Institute, penulis
buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004)
Dr Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner
kesepian. Mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian
dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup
dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia
harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina
dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa
pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.
Sebagai pelarian dan tahanan, Tan tak pernah berhenti
memikirkan nasib Negeri Hindia Belanda. Banyak gagasan yang lahir
selama masa pelarian itu. Namun Tan Malaka tak punya cukup kesempatan
untuk mendialektikakan gagasannya dengan tokoh-tokoh pejuang lain. Ada
perbedaan waktu dan pengalaman sejarah yang membuat Tan Malaka berjarak
dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian berada dalam barisan Partai
Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai dan prinsip
perjuangan Tan sungguh tak bisa diikuti oleh siapa pun. Hatinya terlalu
teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk
diajak sedikit membungkuk.
Kita bisa melihat beberapa contoh bahwa memang sulit
mencari manusia yang bisa mengikuti kekerasan hatinya. Adam Malik,
misalnya, adalah kader Partai Republik Indonesia yang sangat memuja Tan
Malaka. Namun, di tangan Adam Malik, segala persoalan bisa menjadi
superfleksibel. M. Yamin adalah pengikut Tan Malaka yang juga mendirikan
Persatuan Perjuangan pada 1946. Persatuan Perjuangan adalah ikon
diplomasi bambu runcing. Organisasi ini didirikan sebagai antitesis
politik berunding yang dirintis oleh Kabinet Sjahrir I. Tapi,
belakangan, Yamin juga menjadi anggota tim dalam Konferensi Meja Bundar
pada 1949, sesuatu yang secara prinsip ditentang dalam ”Program Minimum”
Persatuan Perjuangan Tan Malaka.
Di tengah kesepian dan kesulitan memperoleh pengikut
yang kukuh itulah ia melahirkan gagasan-gagasan yang jernih, asli,
bahkan mengagetkan. Mungkin gagasan itu tak sepenuhnya bisa diikuti,
tapi jelas penuh inspirasi. Soal pelaksanaannya bisa dicocokkan dengan
keadaan yang berkembang.
Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia
tersebar di banyak buku. Ia tak punya kesempatan untuk menuliskannya
secara tuntas. Gejolak revolusi mengharuskan revolusioner seperti Tan
berada dalam kancah perjuangan fisik ketimbang di belakang meja. Namun,
lewat antara lain buku Menuju Republik Indonesia (1926), Soviet atau
Parlemen (1922), serta Madilog (1942), kita bisa menyatukan mozaik
gagasan republik yang tercerai-berai itu. Tak sulit untuk menyatukan
mozaik ini, karena Tan selalu menunjukkan pola pemikirannya.
Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik
untuk menjelaskan republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti
makhluk yang lemah. Banyak yang mengancamnya. Di dahan yang rendah, dia
harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi dahan yang lebih
tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang
siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Ia hidup
penuh ketakutan dan dengan perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan
Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini. Bebas dari
belenggu dan teror pemangsa.
Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan
besar, ia akan bebas menjarah padi di saat sawah sedang menguning.
Burung gelatik, yang sesaat lalu terlihat seperti makhluk yang lemah,
bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada ampun.
Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia. Padinya habis
disantap sekawanan gelatik.
Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka
bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu
dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa
lain. Inilah prinsip Indonesia merdeka.
Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya
bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, atau
paling jauh berpikir tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka sudah maju
beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek
Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina,
pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.
Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia Belanda harus
menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak
menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka
adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah
organisasi.
Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap parlemen.
Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif,
legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara
orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan
kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan
(eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang
sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika
aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh
(parlemen).
Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual
pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian
lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah
dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah.
Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat,
seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan
sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan
yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka
wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk
berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan.
Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan
Malaka bisa menepuk dada. Dia akan menyuruh kita menyaksikan sebuah
negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh, seperti Inggris,
kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk
berperang menginvasi negara lain.
Akhirnya, parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari
sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para
jago berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher
menonjol keluar. Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan
tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.
Singkatnya, keberadaan parlemen dalam republik yang
diimpikan Tan Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen dengan
tegas memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia kematangan
berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan
kepada Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat
keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang
pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pasti bermuara di
parlemen.
Lalu seperti apa wujud negara tanpa parlemen itu?
Penjelasannya memang bisa memakan halaman yang sangat banyak.
Sederhananya, negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah
organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan
sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa atau pengawas, dan sebagai badan
peradilan.
Anda bisa membayangkan organisasi yang berskala
nasional seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bangunan
organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa
diandaikan seperti itu. Tidak ada pemisahan antara si pembuat aturan dan
si pelaksana aturan. Di dalam organisasi yang sama pasti ada semacam
dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan atau komisi
pemeriksa. Begitulah kewenangan dibagi, tapi tidak dalam badan yang
terpisah.
Bagaimana mengontrol organisasi agar tak menjadi
tirani kekuasaan? Di sinilah desain organisasi harus dimainkan. Ritual
pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu
lama, agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah tidak
berubah menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat terendah
sampai tingkat tertinggi, harus dilakukan dalam jarak yang tak terlalu
lama. Waktu dua tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para
pejabat organisasi. Jika kerja mereka tak memuaskan, kongres organisasi
akan menjatuhkan mereka.
Barangkali banyak pembaca yang mengatakan bangunan
kenegaraan seperti di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar.
Sebab, sudah demikian lama otak kita dicekoki oleh trias politika ala
Montesquieu. Jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif dianggap
tak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa partai politik,
organisasi kemasyarakatan, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
merupakan lembaga yang tak demokratis.
Di luar itu, bisa jadi pula ada yang mengatakan
gagasan Tan Malaka naif dan tak bisa diikuti. Pendapat itu pun wajar.
Seperti pernyataan penulis di awal tulisan ini, tak ada yang bisa dengan
total mengikuti Tan Malaka. Selain terlalu lurus, Tan Malaka pasti tak
bisa lepas dari belenggu zamannya. Namun tak ada salahnya kita menulis
ulang semangat dalam gagasan kenegaraan Tan Malaka. Dalam Thesis, Tan
meminta rakyat Indonesia tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru.
Yang penting adalah cara dan semangat berpikirnya. Ibarat seorang guru
matematika, Tan tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuah
perhitungan, tapi menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil
hitungan yang benar.