Senin, 28 Mei 2012

Kecamatan Sungai Puar


Selamat Datang - Selamat Datang 
Partai Politik - Partai Politik
Sejarah Nagari - Sejarah Nagari
Menjadi Pemimpin -Menjadi Pemimpin
Nagari Sungai Pua -Nagari Sungai Pua Sungai Puar
Perkawinan  - Perkawinan
Gambar - gambar
Laras Sungai Puar - Laras Sungai Puar
Sungai Pua Bangun sekolah - Sungai Pua Bangun sekolah
Aia Tajun - Aia Tajun
Seputar Minangkabau - silsilah-kerajaan-minangkabau 
Sejarah Kabupaten Agam - sejarah-kabupaten-agam.html

                                                                


Pergolakan PRRI - https://kolektorsejarah.wordpress.com/
                                             Perjuangan Bangsa Indonesia - Indonesia melawan penjajah
                                            Masuknya Islam di Sumatra Barat - Sejarah-Islam-di-Sumatera-Barat-II  
                                            Geografis nagari Sungai Pua -  http://www.agamkab.go.id/



Rabu, 23 Mei 2012

Keluarga Besar Gobah Sungai Puar

From Marsinggo








 Hei kalian anak cucu Suku Koto Gobah : Hiduplah kalian dengan damai, carilah prestasi yang membanggakan dan bisa membawa keharuman nama kaum ,sanak saudara . Semoga Tuhan memberkati kita semua...........










    
  


Sungai Pua  saisuak- Sungai Pua saisuak
Urang Minang - Urang Minang 
Bukittingi - bukittinggiwisata.com
 

Sabtu, 19 Mei 2012

Lagi pidato

From Marsinggo



Eh semua keponakkan, kalian harus mematuhi ,kata orang tua kalian . Kalau kalian mampu, senangkan hati orang tuamu . Jangan bikin masalah yang menyusahkan pikiran orang tua  . Ini bagi semua kalian , baik laki2 maupun wanita , cucu Dahniar Gobah.




Jakarta tempo dulu  - Jakarta tempo dulu 
Media Indonesia - http://www.mediaindonesia.com/
Metro TV - http://metrotvnews.com/
surya syam google +  - https://plus.google.com/101048332958491405123/posts


               Ini Foto Pernikahan Ibu Dahniar dan Papa Syamsuddin Rasul di Gobah  Tahun 1938

e


Papa :

Anak2 Papa hanya bisa berpesan : Kalian  hidup rukun damai dan melangkah di jalan yang diridhoinya.Semoga Tuhan memberkati kita semua .Amin ...........





 Ini anak cucu dan menantu serta 2 orang cicit Ibu Dahniar/papa Syamsuddin


                                                      







Djawa Tempo Doeloe  -  http://djawatempodoeloe.multiply.com/photos/album/
Minangkabau Klasik - lagu-minang-klasik.htm  
"BENTENGSTELSEL"  -  http://niod.x-cago.com/maleise_kranten/article.do?
Sociopolitico - http://sociopolitica.wordpress.com/
Sejarah - abdul-qahhar-mudzakkar- 
Carito rakyat - Asal-Mula-Nama-Nagari-Minangkabau#

Aku dan Ponakan - Aku dan Ponakan
 Moch Wirgan - Moch Wirgan
Sejarah Hinda Belanda - http://www.scholieren.com/werkstukken/72708
Jawa tempo dulu - http://djawatempodoeloe.multiply.com/photos/album/254

Rabu, 16 Mei 2012

Republik dalam Mimpi Tan Malaka


Hasan Nasbi A.
Program Manager Indonesian Research and Development Institute, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004)
Dr Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner kesepian. Mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.
Sebagai pelarian dan tahanan, Tan tak pernah berhenti memikirkan nasib Negeri Hindia Belanda. Banyak gagasan yang lahir selama masa pelarian itu. Namun Tan Malaka tak punya cukup kesempatan untuk mendialektikakan gagasannya dengan tokoh-tokoh pejuang lain. Ada perbedaan waktu dan pengalaman sejarah yang membuat Tan Malaka berjarak dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian berada dalam barisan Partai Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai dan prinsip perjuangan Tan sungguh tak bisa diikuti oleh siapa pun. Hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk diajak sedikit membungkuk.
Kita bisa melihat beberapa contoh bahwa memang sulit mencari manusia yang bisa mengikuti kekerasan hatinya. Adam Malik, misalnya, adalah kader Partai Republik Indonesia yang sangat memuja Tan Malaka. Namun, di tangan Adam Malik, segala persoalan bisa menjadi superfleksibel. M. Yamin adalah pengikut Tan Malaka yang juga mendirikan Persatuan Perjuangan pada 1946. Persatuan Perjuangan adalah ikon diplomasi bambu runcing. Organisasi ini didirikan sebagai antitesis politik berunding yang dirintis oleh Kabinet Sjahrir I. Tapi, belakangan, Yamin juga menjadi anggota tim dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949, sesuatu yang secara prinsip ditentang dalam ”Program Minimum” Persatuan Perjuangan Tan Malaka.
Di tengah kesepian dan kesulitan memperoleh pengikut yang kukuh itulah ia melahirkan gagasan-gagasan yang jernih, asli, bahkan mengagetkan. Mungkin gagasan itu tak sepenuhnya bisa diikuti, tapi jelas penuh inspirasi. Soal pelaksanaannya bisa dicocokkan dengan keadaan yang berkembang.
Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku. Ia tak punya kesempatan untuk menuliskannya secara tuntas. Gejolak revolusi mengharuskan revolusioner seperti Tan berada dalam kancah perjuangan fisik ketimbang di belakang meja. Namun, lewat antara lain buku Menuju Republik Indonesia (1926), Soviet atau Parlemen (1922), serta Madilog (1942), kita bisa menyatukan mozaik gagasan republik yang tercerai-berai itu. Tak sulit untuk menyatukan mozaik ini, karena Tan selalu menunjukkan pola pemikirannya.
Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti makhluk yang lemah. Banyak yang mengancamnya. Di dahan yang rendah, dia harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi dahan yang lebih tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Ia hidup penuh ketakutan dan dengan perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini. Bebas dari belenggu dan teror pemangsa.
Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas menjarah padi di saat sawah sedang menguning. Burung gelatik, yang sesaat lalu terlihat seperti makhluk yang lemah, bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia. Padinya habis disantap sekawanan gelatik.
Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip Indonesia merdeka.
Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, atau paling jauh berpikir tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina, pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.
Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi.
Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen).
Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan.
Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk dada. Dia akan menyuruh kita menyaksikan sebuah negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh, seperti Inggris, kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk berperang menginvasi negara lain.
Akhirnya, parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar. Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.
Singkatnya, keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan Tan Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen dengan tegas memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia kematangan berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan kepada Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pasti bermuara di parlemen.
Lalu seperti apa wujud negara tanpa parlemen itu? Penjelasannya memang bisa memakan halaman yang sangat banyak. Sederhananya, negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa atau pengawas, dan sebagai badan peradilan.
Anda bisa membayangkan organisasi yang berskala nasional seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bangunan organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan seperti itu. Tidak ada pemisahan antara si pembuat aturan dan si pelaksana aturan. Di dalam organisasi yang sama pasti ada semacam dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan dibagi, tapi tidak dalam badan yang terpisah.
Bagaimana mengontrol organisasi agar tak menjadi tirani kekuasaan? Di sinilah desain organisasi harus dimainkan. Ritual pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama, agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah tidak berubah menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, harus dilakukan dalam jarak yang tak terlalu lama. Waktu dua tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tak memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka.
Barangkali banyak pembaca yang mengatakan bangunan kenegaraan seperti di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar. Sebab, sudah demikian lama otak kita dicekoki oleh trias politika ala Montesquieu. Jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif dianggap tak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa partai politik, organisasi kemasyarakatan, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan lembaga yang tak demokratis.
Di luar itu, bisa jadi pula ada yang mengatakan gagasan Tan Malaka naif dan tak bisa diikuti. Pendapat itu pun wajar. Seperti pernyataan penulis di awal tulisan ini, tak ada yang bisa dengan total mengikuti Tan Malaka. Selain terlalu lurus, Tan Malaka pasti tak bisa lepas dari belenggu zamannya. Namun tak ada salahnya kita menulis ulang semangat dalam gagasan kenegaraan Tan Malaka. Dalam Thesis, Tan meminta rakyat Indonesia tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru. Yang penting adalah cara dan semangat berpikirnya. Ibarat seorang guru matematika, Tan tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuah perhitungan, tapi menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil hitungan yang benar.
 

Jumat, 11 Mei 2012

Syukuran PDRI dan Hari Bela Negara di Bukittinggi

SENIN (22/1) malam yang hangat, walau rintik hujan masih turun dari langit Bukittinggi.
Wajah-wajah tua keriput yang sembringah, penuh senyum dan gelak tawa, saling bersalaman dan berangkulan di antara sesama mereka.Aroma sukacita begitu kental di ruang utama Istana Bung Hatta di kota Bukittinggi.

Sebagian besar dari mereka yang memenuhi ruang utama Istana Bung Hatta itu adalah para pejuang kemerdekaan/mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) -- termasuk mereka yang ikut dalam Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang dipimpin Ketua Mr. Syafruddin Prawiranegara. Seakan semua hati tengah berbunga dan kembang menebar harum semerbak serta tengah bersiul dan bernyanyi riang. Semua mereka tengah berbahagia karena tidak ada lagi himpitan potongan beban sejarah bangsa yang mereka pikul sendiri selama bertahun-tahun dan bahkan puluhan tahun.

Kelihatan hadir di Istana Bung Hatta itu Gubernur Sumatera Barat H. Gamawan Fauzi Dahlan Dt. Rajo nan Sati SH, MM, Wakil Gubernur Prof. Dr. H. Marlis Rahman M.Sc, Ketua DPRD Sumatera Barat H. Leonardi Harmainy, tuan rumah Walikota Bukittinggi Jufri/Wakil Walikota Ismet Amzis, beberapa bupati/walikota (diantaranya, Bupati Padangpariaman Muslim Kasim, Bupati Tanahdatar Shadiq Pasadiqoe, Bupati Solok Selatan Syafrizal, Bupati Pesisir Selatan Nasrul Abit, Wakil Bupati Limapuluhkota Irfendi Arbi, walikota Solok Syamsul Rahim, dan beberapa yang lainnya)). Pun hadir sejumlah tokoh masyarakat Sumatera Barat. Di antaranya, Bachtiar Chamsyah yang juga Menteri Sosial, mantan gubernur Sumatera Barat/mantan Menneg Pertanahan/mantan Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasiobal) Hasan Basri Durin, ketua Gebu Minang Asril Tanjung, dan sejumlah tokoh Minang perantauan.

Juga hadir anak-anak dan keluarga almarhum mantan ketua PDRI Mr. Syafruddin Prawiranegara, Farid Prawiranegara dan saudara-saudaranya. Teristimewa, kelihatan Gubernur Riau H. Rusli Zainal SE, ketua DPRD Riau Drh. H. Chaidir, dan beberapa tokoh Riau seperti sejarawan Universitas Riau Prof. Soewardi MS, Kol. Abbas Jamil, Kol. Hemron Saheman, dan lainnya. Dari Jambi hadir Gubernur Zulkifli dan rombongan. Juga hadir sejarawan terkemuka Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat/mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) Prof. Dr. Taufik Abdullah MA dan Brigjen TNI Purn. Dr. Saafroeddin Bahan MA, yang menjadi pembicara dialog interaktif bersama sejarawan Dr. Mestika Zet MA.
Juga kelihatan mantan srikandi parlemen RI dari PPP, Ny. Aisyah Amini. Dan, masih ada sejumlah lainnya yang tidak mungkin dapat dijajar di sini satu persatu.

Pada syukuran PDRI/perayaan HBN esok harinya, Selasa (23/1), juga di ruang utama Istana Bung Hatta Bukittinggi, selain Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukkam) dan Menteri Pertahanan diwakili Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Budi Susilo Soepandji, juga hadir Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris -- ketiganya pentolan dari Sumatera Barat yang berada di pentas nasional. Berbeda dengan syukuran PDRI/perayaan HBN Selasa (23/1), silaturrahmi PDRI/HBN Senin (22/1) malam terasa lebih Sumatera Barat daripada Sumatera Tengah, dan perlu dipikirkan perayaan hari PDRI/HBN tahun 2007 lebih menonjolkan provinsi tetangga yang semula tergabung dalam sumatera Tengah sebagai basis PDRI dan pemerintahan Ketua Syafruddin -- seperti dikemukakan Gubernur Riau H. Rusli Zainal SE dan sejarawan Universitas Riau Prof. Soewardi MS.

BEGITU spesial arti/makna pengakuan pemerintah terhadap keberadaan dan peranan PDRI -- dan peranan pejuang yang ambil bagian di dalamnya -- sebagai bagian sejarah Indonesia paling menentukan dalam perjalanan bangsa ini, dan sekaligus penetapan hari pencetusan PDRI, 19 Desember 1948, menjadi Hari Bela Negara (HBN).

Pengakuan atas PDRI dan penetapan hari pencetusan PDRI menjadi HBN, tidak sekedar membuat tekanan psikhologis terhadap pejuang di Sumatera Tengah (kini menjadi provinsi-provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi) memikul teralu berat beban sejarah nasional itu, tapi, peristiwa skala nasional yang selama ini dilokalkan itu ibarat siriah alah dilatak-an ke tampuaknyo/pinang alah dilatak-an di tangkainyo. Kata Presiden Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono, PDRI sudah diletakkan secara benar/proposional dalam sejarah bangsa Indonesia.

Ketika memberikan sambutan pada peringatan dan syukuran hari ulang tahun (HUT) PDRI tanggal 19 Desember 1948 yang mulai tahun 2006 diperingati sebagai Hari Bela Negara (HB), di Istana Bung Hatta Bukittinggi, Selasa (23/1), Menteri Koordinator Politik/Hukum/Keamanan (Menko Polhukkam) Laksamana TNI Purn. Widodo AS menegaskan, penerbitan Keputusan Presiden (Kepres) No. 28 Tahun 2006 sekaligus menujukkan, peranan historis PDRI dan para pejuangnya tak hanya diakui/diluruskan/didudukkan secara proporsional dalam sejarah bangsa Indonesia, tapi, sudah diletakkan pada tempat yang terhormat dalam sejarah bangsa Indonesia. Semangat bela negara dan nilai-nilai luhur dalam perjuangan PDRI itu, kata Widodo, masih relevan bagi bangsa Indonesia saat ini dan ke depan. Saat bangsa Indonesia belum sepenuhnya keluar dari krisis multidimensi -- termasuk krisis moral/akhlak dan tidak saling percaya.

Justru pesan moral PDRI, selain mengisi kevakuman kepemimpinan nasional dan kelanjutan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, adalah semangat ambil bagian menyelamatkan negara Indonesia, saling percaya/mendukung di antara pemimpin -- termasuk kesetiaan tentara rakyat di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman pada PDRI, dan dukungan rakyat terhadap pemimpin dan pejuang yang melancarkan perang gerilya -- walau rakyat dalam berbagai kesulitan dan keterbatasan, sebagaimana dipaparkan sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah MA ketika seminar nasional di Universitas Andalas Padang akhir Juni 2005 lalu, yang kemudian dijadikan dasar akademik pertimbangan Presiden SBY -- begitu sebagian besar rakyat Indonesia akrab menyebut nama presiden -- dalam penetapan hari pencetusan PDRI sebagai HBN. Usulan hari PDRI menjadi HBN merupakan gagasan orisinal Gamawan Fauzi, lebih dari sebatas pengakuan terhadap PDRI dan para pelakunya yang diluruskan/didudukkan dalam sejarah bangsa Indonesia.

Kegembiraan masyarakat Sumatera Tengah -- khususnya Sumatera Barat terhadap Kepres 28 Tahun 2006 menjadikan hari hari PDRI diperingati setiap tahun sebagai HBN, seperti dikutarakan Ketua Dewan Harian 45 Sumatera Barat Kol. Djamaris Yoenoes, dapat disetarakan dengan dengan kegembiraan rakyat provinsi Jawa Timur yang di antara momentum perjuangan rakyat di sana diabadikan menjadi Hari Pahlawan 10 November dan kebahagiaan rakyat provinsi Jawa Tengah yang di antara momentum perjuangan rakyat di sana diabadikan menjadi Hari Tentara nasional Indonesia (TNI) 5 Oktober. Para pejuang yang khususnya terlibat dalam PDRI dan seluruh rakyat yang mendukung/berkorban demi mempertahankan kemerdekaan waktu itu tak mengharapkan pamrih apa pun. Pengakuan/penghormatan terhadap PDRI dan penghargaan terhadap para pejuang yang terlibat lebih bernilai dari pamrih material.

WALAU tidak diundang -- undangan datang Senin (2/1) pukul 13.30 WIB setelah pukul 10.00 WIB setelah sebelumnya Cucu Magek Dirih menelfon Davi Kurnia (Sekretaris Pribadi Gubernur), tapi, sejak semula diberitahu langsung oleh Gubernur Gamawan, Cucu Magek Dirih merencanakan dapat menghadiri silaturahmi/syukuran PDRI dan HBN di Istana Bung Hatta di Bukittinggi itu. Cucu memang ingin menyaksikan wajah-wajah sembringah para pejuang yang selama ini memikul sendiri bagian beban sejarah bangsa indonesia tersebut. Dan, memang itulah yang kemudian disaksikan Cucu pada silaturrahmi Senin (22/1) malam di Istana Bung Hatta Bukittinggi. Para pejuang yang umumnya sudah tua dan usur memadati ruang utama Istana Bung Hatta -- mereka bahkan bertahan mengikuti silaturrahmi sampai menjelang pukul 24.00 WIB malam. Kelihatan, betapa mereka bersukacita karena sudah diakui dan dihargai.

Cucu Magek Dirih ikut berbahagia menyaksikan para pejuang yang hadir dalam silaturrahmi di Istana Bung Hatta Bukittinggi -- mungkin lebih banyak mereka yang tidak berkesempatan datang langsung pada acara itu -- berbahagia. Cucu Magek Dirih pun merasa sangat tersanjung karena dalam sambutan tanpa teks dalam silaturrahmi itu, Gubernur Gamawan menyebut nama Cucu Magek Dirih bersama Rektor universitas Andalas Prof. DR. Ir. Musliar Kasim M.Sc dan Ketua Umum Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (PP LKAAM) H. Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie, sebagai di antara orang yang dipandangnya telah ikut berperan dalam pengajuan pengakuan terhadap PDRI dan perjuaangan hari PDRI menjadi HBN. Mungkin Cucu Magek Dirih memang ikut dalam drafting dan memaksimalkan akses ke Itana Negara, tapi, tidak menyangka Gubernur Gamawan begitu menghargai.
***

H. Sutan Zaili Asril (Padang Ekspres OnLine)